Ketika Menjelaskan Thariqoh, Kewalian Mbah Maimoen Tampak Nyata

mbah maimoen zubair

Disamping sebagai ulama’, Syaikhona KH Maimoen Zubair juga diberikan kasyaf oleh ALLOH.

Kisah berikut menunjukkan bahwa Syaikhona juga merupakan ahli kasyaf.

Suatu ketika seorang Kyai yang merupakan seorang tokoh masyarakat mengantar santri-santrinya untuk mondok ke Sarang. Dalam perjalanan, Sang kyai bertanya kepada salah seorang santri (sebut saja Karmin).

“Min, Kyai Maimoen iku thoriqohan ora? (Kyai Maimoen itu ikut thoriqoh gak?)” tanya sang Kyai.

“Kirangan, Kyai. Sak ngertose kulo Mbah Yai niku enjang jamaah kaleh santri, terus ngaos, nemoni tamu, istirahat, jamaah dhuhur, ngaos (ibnu aqil), nemoni tamu, jamaah maleh, ngaos, nemoni tamu, jamaah meleh ngaos, nemoni tamu, jamaah. Kadang-kadang tindakan. Kundur dalu jam 3 Enjang. Subuhe geh tetep jamaah, geh tetep ngaos,” jawab santri.

(Entahlah kyai. Setahu saya, Mbah Kyai itu kalau pagi jama’ah dengan santri, terus ngaji, menemui tamu, istirahat, jamaah dhuhur, ngaji (kitab Ibnu Aqil), menemui tamu (lagi), jama’ah lagi, menemui tamu, jama’ah lagi, ngaji lagi, menemui tamu, jama’ah. Kadang-kadang beliau pergi, Pulang jam 3 dini hari. Subuh ya tetap jama’ah dan tetap ngaji lagi,” jawab santri)

“Oh.. yo nak coro aku sak gede-gedene kyai nak durung thoriqohan ki yo durung sempurno,” kata Kyai menanggapi jawaban santri.

(Oh… kalau menurut saya, sebesar-sebesarnya kyai kalau belum ikut thariqoh itu ya belum sempurna,” kata kyai menanggapi jawaban santri)

Setelah sekian jam menempuh perjalanan rombongan sampai dalem Mbah Maimoen. Mereka salam kemudian dipersilahkan duduk.

Mbah Moen yang biasanya kalau ada tamu baru masuk langsung nimbali abdine “cung-cung”, namun kali ini tidak.

Saat itu juga Mbah Moen langsung menjawab pertanyaan yang diutarakan tokoh tersebut kepada santri saat dalam perjalanan.

“Thoriqoh iku urusane karo ati. Ora perlu di ketok-ketokke. Aku yo thoriqohan. Aku yo mursyid wong bapakku mursyid. Santri-santriku nek bar subuh tahlil ping 300 iku amalane thoriqoh ahli hadits,” kata Mbah Moen.

(Thoriqoh itu urusannya dengan hati. Tidak perlu diperlihatkan. Aku ini ya ikut thoriqoh. Aku ya mursyid, lha bapakku juga mursyid. Santri-santri kalau habis subuh ya tahlil sampai 300, itu amaliyah thoriqoh ahli hadits.”)

“Lha nek jare tokoh masyarakat kok isek nyekso manuk. Ngene-ngene. Jenenge opo iku? Nglipiki?” kata Mbah Moen sambil menggerakkan tangan yang menggambarkan orang yang sedang nglipiki burung dara.

(Lha, kalau katanya jadi tokoh masyarakat, kok masih menyiksa burung. Begini-begini. Namanya apa itu? Nglipiki?”)

“Makrifat iku ono loro. Siji minallah. Loro songko jin. Monggo aku mlebu seng ndi?”

(Makrifat itu ada dua. Pertama dari Allah, kedua dari jin. Ayoo, aku masuk yang mana?”)

Semua yang hadir terdiam dan tercengang dengan kasysyaf Mbah Moen.

Sepulang kejadin itu tokoh tersebut tidak lagi mainan burung dara. Hobinya diganti dengan memelihara burung lain yang hanya dikurung dalam sangkar.

***
Dari Pekalongan saya berangkat ke Sarang sekitar pukul 10.30 malam. Sampai di Sarang pas shubuh. Kemudian menuju ndalem Yai seperti biasa, seolah ingin menunggu Yai shubuhan. Shubuhan di Mushola saya tidak mampu menahan air mata. Setelah wiridan selesai, saya masuk ke Ndalem Yai, ingin menghirup lagi udara yang dulu keluar masuk di paru-paru Yai. Setelah itu, jam tujuh langsung pulang ke Pekalongan.

Entah mengapa kali ini saya tidak kuat bertemu putra-putra Syaikhina. Ingin rasanya memeluk beliau-beliau, sebagaimana dulu saya bersama Yai. Saya hanya sampaikan salam kepada putra-putra Yai. Semoga salam saya diterima.

8 Oktober 2019.

Penulis: Kanthongumur, santri Mbah Maimoen.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *