Ketika Kiai Wahab Berdebat Dengan Kiai Bisri.
KETIKA KIAI WAHAB HASBULLAH DAN KIAI BISRI SYANSURI BERDEBAT
Kiai Sahal Mahfudz, pengasuh pesantren Maslakul Huda, Pati, pernah bercerita tentang perdebatan fikih antara Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri. Keduanya termasuk pendiri Nahdhatul Ulama (NU), sama-sama murid Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri sangat mumpuni dalam ilmu fikih. Kiai Wahab ahli usul fikih.
Mereka, bersama sejumlah kiai lain, terlibat dalam diskusi tentang Yayasan Yamualim di Semarang, yang mengurus ibadah haji dan berada di bawah naungan NU. Kiai Bisri menentang pendirian yayasan tersebut karena tergolong “muamalat yang tidak jelas”. Usaha Yayasan Yamualim boleh jadi mengandung unsur syubhat.
Di pihak lain, Kiai Wahab mendukung eksistensi Yayasan Yamualim. Pertimbangannya, omset yayasan cukup besar. Yayasan juga sangat diperlukan NU. Dalam perdebatan tersebut, Kiai Wahab sempat nyeletuk. “Pekih iku,” ujarnya, “nek rupek yo diokeh-okeh.” Terjemahannya, fikih itu kalau sempit ya diupayakan agar longgar.
Apakah kalimat ini merupakan pikiran pribadi Kiai Wahab sendiri? Jawabannya “tidak”. Sudah disebutkan bahwa Kiai Wahab adalah ahli usul fikih. Karena itu, ia sangat memahami kaidah-kaidah fikih. Salah satu kaidah fikih berbunyi, al-amru idza dhaqa ittasa’a (suatu perkara jika sempit diperluas). Versi redaksi lain: al-asy-ya’ idza dhaqat ittasa’at (jika terjadi kesempitan, maka hal-hal yang sempit itu diperluas). Kaidah al-masyaqqah tajlibut taysir (kesulitan membawa kemudahan) juga mengandung makna dan maksud yang sama.
Intinya, semua kaidah itu menyatakan bahwa hukum fikih boleh dilonggarkan demi kemaslahatan dan untuk menghindari mafsadat dan mudarat. Ada toleransi dalam “penerapan” hukum fikih sesuai dengan konteks situasi dan kondisi. Toleransi ini dalam ilmu usul fikih disebut rukhshah (kelonggaran) atau takhfif (keringanan).
Takhfif ada tujuh jenis. Pertama, takhfif isqath, yaitu keringanan berupa gugurnya hukum suatu perbuatan. Contohnya, kewajiban beribadah haji gugur karena adanya ‘udzur.
Kedua, takhfif tanqish, yaitu keringan berupa pengurangan kadar perbuatan yang dihukumi. Misalnya, saat berpergian jauh, kita boleh meng-qashar salat wajib. Jumlah rakaat salat dikurangi. Salat asar yang empat rakaat di-qashar menjadi dua rakaat saja.
Ketiga, takhfif ibdal, yaitu keringan berupa penggantian (subtitusi) perbuatan yang dihukumi. Contohnya, apabila air sulit ditemukan, wudu boleh diganti dengan tayamum. Dalam kondisi sakit, posisi berdiri dalam salat boleh diganti dengan posisi duduk, posisi berbaring, bahkan juga boleh diganti dengan isyarat, sesuai dengan level kesulitan badaniah akibat sakit yang diderita.
Keempat, takhfif taqdim, yaitu keringanan berupa melakukan perbuatan yang dihukumi sebelum waktu yang ditetapkan. Salat wajib boleh dilakukan secara jamak taqdim saat kita bepergian jauh. Demi kemaslahatan penerima zakat dan keefektifan pengumpulan dan distribusinya, zakat fitrah boleh ditunaikan mulai malam pertama bulan Ramadan, tidak harus menunggu hingga malam terakhir Ramadan.
Kelima, takhfif ta’khir, yaitu keringan berupa melakukan perbuatan yang dihukumi setelah waktu yang ditetapkan berakhir. Contohnya adalah salat jamak ta’khir dalam kondisi bepergian jauh.
Keenam, takhfif tarkhis, yaitu keringanan berupa kelonggaran, dalam arti penurunan standar atau idealitas hukum suatu perbuatan. Ada ulama yang membolehkan mengonsumsi barang najis apabila barang najis tersebut dibutuhkan sebagai obat dan apabila tidak ada obat lain yang dinilai bisa menyembuhkan penyakit yang diderita. Saat mengerjakan salat di atas kendaraan yang bergerak, kewajiban menghadap kiblat dilonggarkan.
Ketujuh, takhfif taghyir, yaitu keringan berupa perubahan tata cara ibadah. Salat khauf, maksudnya salat wajib secara berjamaah yang dilakukan dalam kondisi berbahaya yang diliputi ketakutan (karena perang), boleh dilakukan dengan tata cara yang “tidak normal”. Normalnya, dalam salat berjamaah, semua makmum harus mengikuti gerakan imam, dari awal hingga akhir salat. Kenormalan tersebut dalam salat khauf boleh dilanggar.
Adanya takhfif menunjukkan bahwa meskipun tegas, agama Islam sebenarnya lentur, luwes, dan fleksibel. Begitu pula hukum Islam. Ketentuan fikih boleh dilonggarkan dalam penerapannya, bahkan juga boleh dilanggar, apabila terdapat kebutuhan untuk itu. Kondisi darurat membolehkan dilanggarnya larangan (al-dharurat tubihul mahdzhurat). Maka, penerapan fikih tidaklah kaku. Karakter fikih adalah realistis dan kontekstual.
Itulah yang barangkali hendak disampaikan Kiai Wahab saat berdebat dengan Kiai Bisri tentang status hukum Yayasan Yamualim. Kiai Bisri terlalu berhati-hati sehingga tidak menggunakan peluang-peluang kemudahan yang disediakan hukum Islam.
Namun demikian, pendapat Kiai Bisri tentu tidak salah, tidak pula sah untuk disalah-salahkan. Sebab, al-ijtihad la yunqadh bil ijtihad. Sebuah pendapat fikih tidak dibatalkan oleh pendapat fikih lain. Pendapat Kiai Bisri dan pendapat Kiai Wahab memiliki argumentasinya sendiri-sendiri, juga mengandung unsur kebenarannya sendiri-sendiri. Islam mendorong penggunaan akal secara maksimal dan karena itu menghargai keragaman hasil ijtihad. “Tuhan,” kata Quraish Shihab, “menghendaki kita untuk berbeda.”
Penulis: Lev Widodo, alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
____________
Semoga artikel Ketika Kiai Wahab Berdebat Dengan Kiai Bisri ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..
simak juga artikel terkait di sini
simak juga video terkait di sini