KH Sholeh Darat Semarang (1830-1903 M) dikenal sebagai ahli tasawuf di Indonesia. Ini dibuktikan dengan karya-karyan Kiai Sholeh Darat yang banyak mengkaji ilmu tasawuf, khususnya dari kitab Imam al-Ghazali. Sebut saja karya Kiai Sholeh Darat berjudul Majmū‘at al-sharī‘ah al-kāfiyah li al-‘awām, Matn al-Ḥikam, dan Munjiyāt Meṭik saking Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, ketiga sangat jelas membahas ilmu tasawuf. Imam al-Ghazali menjadi referensi utama Kiai Sholeh Darat dalam karya-karyanya.
Makanya, seorang peneliti asal Belanda bernama Martin van Bruinessen menjelaskan bahwa pada masanya, Kiai Sholeh Darat dikenal para kiai sebagai Al-Ghazālī As-Ṣhagīr (Imam Al-Ghazzali Kecil), (Lihat Bruinessen, “Saleh Darat,” dalam Dictionnaire Biographique Des Savants et Grandes Figures Du Monde Musulman Périphérique, Du XIXe Siècle À Nos Jours, ed. Marc Gaborieau et al., vol. 2 (Paris: CNRS-EHESS 1998: 25-26.) Sebagaimana telah dilakukan Imam Al-Ghazali (w 505 H), Kiai Soleh menekankan aspek ketunggalan yang tak terpisahkan antara syariah dan tarekat di dalam menjalankan Islam (Nur Ahmad, 2017).
Dari sini sangat terlihat bahwa hubungan antara Kiai Sholeh Darat dan Imam al-Ghazali ini sangat erat. Walaupun masa hidupnya sangat jauh, tetapi keduanya sangat dekat dalam karya dan laku hidupnya. Kiai Sholeh Darat hidup pada abad ke-19, sedangkan Imam al-Ghazali hidup pada abad ke-12. Tujuh abad terpaut antar keduanya, tetapi tasawuf menjadi titik temu jalan hidup keduanya dalam mendakwahkan Islam.
Ada kisah masyhur di kalangan Komunitas Pecinta Mbah Sholeh Darat (Kopisoda) Semarang tentang Mbah Sholeh Darat dan Imam al-Ghazali. Ketika sedang menulis kitab Munjiyāt Meṭik saking Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, Mbah Kiai Sholeh Darat ditemani Imam al-Ghazali secara langsung dan nyata.
Saat itu, para santri menerima tamu dengan pakaian ala Arab. Tamu ini diterima dengan baik oleh para santri dan dipersilahkan menuju ruang pribadi Mbah Kiai Sholeh Darat. Dari kejauhan, para santri mendengarkan sayup-sayup suara dan pembicaraan antara Mbah Kiai Sholeh Darat dan tamunya dengan berbahasa Arab.
Perbincangan antara keduanya sampai larut malam. Para santri ternyata masih tetap “berjaga” di asrama. Sampai begitu larut malam, tamu itu baru pamit pulang. Para santri melihat Mbah Kiai Sholeh Darat mengantarkan tamu itu dengan penuh hormat.
Sampai tamu itu kemudian pergi di kegelapan malam, para santri memberanikan diri untuk bertanya tentang tamu yang tak pernah dikenal itu.
Mbah Kiai Soleh Darat menjelaskan bahwa tamu itu adalah Imam al-Ghazali. Kedatangannya untuk merestui Mbah Kiai Sholeh Darat yang sedang menulis kitab tasawuf yang bersumber dari kitab Ihya’ Ulumuddin.
Para santri yang berjaga malam itu kaget, seolah tak percaya mereka bisa bertemu Imam al-Ghazali. Padahal, Imam al-Ghazali sudah wafat ratusan tahun. Itulah karomah Imam al-Ghazali, sekaligus karomah Mbah Kiai Sholeh Darat. Keduanya adalah kekasih Allah yang dikaruniai banyak hal dalam hidup.
Mbah Kiai Sholeh Darat juga menganjurkan para santrinya untuk tasawul dengan Imam al-Ghazali, sehingga dimudahkan Allah dalam ngaji kitab tasawuf, khususnya kitab Ihya Ulumuddin. (Abu Umar/Bangkitmedia.com)