Ketika Keranda Melaju Cepat Antarkan Jenazah Gus Umar Mangkuyudan. Upacara pemakaman KH. Muhammad Umar Fauzi (Gus Umar Fauzi) berjalan khidmat. Ketika keranda melaju cepat, Ribuan orang dari berbagai lapisan dan profesi membanjir halaman dan jalan-jalan di sekitar pesantren Al Muayyad Mangkuyudan. Dari kyai sampai santri, dari mubaligh sampai jamaah, dari perwakilan Pemkot sampai RT/RW, dari pengusaha besar sampai pedagang kaki lima.
Sambutan demi sambutan melaju mengisahkan perjuangan dan kebaikan kyai Muda tamatan Lirboyo dan Pesantren Sunan Pandanaran tersebut. Puncaknya sesi mahasinul mayyit yang disampaikan dengan linangan air mata oleh kerabat, rekan berjuang dan guru almarhum, Kyai Abdul Karim, pengasuh PP Az Zayadi Solo, yang juga guru presiden Joko Widodo.
Usai doa, oleh pak dhe almarhum, Kyai Ma’mun Muhammad Mura’i, keranda jenazah pun dibawa keluar oleh para kyai muda, para santri, dan murid-murid Almarhum. Setelah dihadapkan ke orangtua dan keluarga besar, jenazah lalu dibawa ke pemakaman Pulo yang berjarak sekitar 1,7 km dari Pondok.
Dan seperti tradisi pesantren, khususnya Mangkuyudan, untuk tokoh yang paling dihormati, keranda jenazah tidak dibawa dengan mobil ambulan, melainkan dipikul para santri dan pelayat sambil melaju berlari mengumandangkan tahlil. Suasana terasa begitu mengharukan dan memilukan. Tak sedikit pula ibu-ibu dan jamaah bapak-bapak yang berlinang air mata.
Tradisi mengusung jenazah sambil berlari ini baru saya kenal ketika mondok di Mangkuyudan. Di kampung saya di Brebes juga jenazah biasa diusung oleh para pelayat ke makam. Tetapi hanya sambil jalan agak cepat sambil memdzikirkan tasbih tahmid tahlil dan takbir, bukan berlari kencang sambil meneriakkan tahlil. Dan jenazah ulama pertama yang saya ikut berlari memanggulnya adalah Mbah Kyai Muhammad bin Sulaiman, seorang ulama sepuh Ahlul Quran dari pesantren Tegalsari Solo, kerabat dan juga Guru kyai saya, Kyai Abdul Rozaq Shofawi. Kalo gak salah sekitar tahun 1991-1992, ketika saya masih kelas 1 MA.
Pengalaman berikutnya saat mengusung jenazah Mbah Kyai Ahmad Musthofa (Mbah Daris) Pendiri dan Pengasuh PP Al-Qurany yang letaknya persis di belakang Pesantren Al-Muayyad. Mbah Daris itu adalah teman mondok, dan Imam rawatib di Masjid Al-Muayyad sepeninggal Mbah Kyai Umar.
Daaan.. Entahlah, entah karena diusung bersama-sama, entah karena rasa haru, duka dan sekaligus cinta yang mengiringi kepergian guru tercinta atau karena si Mayyit shalih itu yang sudah sangat merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, sehingga seringkali mengusung jenazah para kyai itu tidak terasa berat, bahkan, tak jarang seakan kitalah yang malah merasa terseret energi gerak keranda menuju tempat peristirahatan terakhirnya itu.
Saya sendiri, Alhamdulillah, tadi siang masih kebagian menyalatkan jenazah, entah pada kali yang ke berapa. Sebab sebelumnya saat sampai di Batang, melalui komunikasi WA dengan teman-teman, saya mendapat informasi, pukul 11.30 sedang dilakukan shalat jenazah gelombang ke-35. Dan masih terus berlangsung hingga saya tiba di pondok pada pukul 13.00 WIB.
Ketika keranda melaju cepat suasana sudah penuh sesak saat saya sampai di gerbang pondok. Saya juga masih sempat bersalaman dengan para guru dan rekan-rekan alumni, baik kakak kelas maupun adik kelas. Tak hanya yang berasal dari Solo raya, tetapi juga dari DKI, Jabar, Banten, dan masih banyak lagi. Seakan ada magnet berenergi besar yang menarik para alumni ini untuk datang jauh-jauh bertakziah. Juga untuk berlari-lari mengusung jenazah putra guru mereka, kyai mereka.
Dan ikatan magnetik itu bernama Cinta… Cinta yang terbangun secara mendalam di atas relasi suci Kyai dan Santri. Kyai yang dengan tulus mendidik mereka, membimbing mereka, mendoakan mereka, nirakati mereka, tanpa kenal lelah, tanpa kenal waktu. Karena dalam dunia pesantren tidak ada istilah mantan santri atau mantan kyai. Ikatan itu terbangun lahir batin dunia akhirat.
Sampai kapan pun,. pesantren adalah RUMAH bagi para santri, tak peduli sudah berapa puluh tahun pun mereka boyongan. Selamanya, kyai adalah orang tua dan guru bagi para santri, tak peduli sudah sepintar dan setinggi apa pun gelar dan pangkat yang kemudian diraih sang santri..
Ya, ikatan kuat itu berakar dari cinta yang dibalut ketulusan… Berbatang khidmah.. berdahan doa… beranting ilmu… dan berbuah keberkahan.
Sugeng Kondur Gus.. Kami akan selalu menyayangimu…
Demikian ulasan khusus terkait Ketika Keranda Melaju Cepat Antarkan Jenazah Gus Umar Mangkuyudan.
Penulis: Ahmad Iftah Sidiq, alumni Pesantren Al-Muayyadl Solo.