Fiqh di tangan Kiai Sahal tidak kering, tapi sebaliknya, hidup, dinamis, bahkan mampu menjadi sumber inspirasi bagi agenda transformasi sosial yang dicita-citakan Islam yang ingin mewujudkan keadilan sosial dalam semua aspek kehidupan, khususnya bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan gender.
Fiqh di tangan Kiai Sahal menjadi disiplin ilmu yang inklusif dan bisa berdialog dengan lintas disiplin ilmu yang lain, baik ilmu yang normatif, seperti tafsir, hadis, akidah, dan tasawuf, maupun yang empiris, seperti astronomi, sosiologi, antropologi, sejarah, dan politik.
Fiqh di tangan Kiai Sahal menyatu dlm denyut nadi kehidupan umat, tidak sebaliknya, menyendiri, tereliminasi, dan terdemarkasi. Menyatu berarti menyapa, mengkaji, merespons, menawarkan pemikiran dan langkah, dan bergerak secara simultan sebagai solusi problem sosial.
Fiqh di tangan Kiai Sahal tidak bergerak ke arah liberalisme atau konservatisme. Fiqh di tangan Kiai Sahal konsisten meramu dalam pola wasathiyyah (moderasi) antar teori-praktek, nash fiqh-maqasidus syariah, ritual-sosial, dan vertikal-horisontal. Hal terlihat dari lima ciri utama fiqh sosial: kontekstualisasi teks fiqh, beralih dari madzhab qauli ke Manhaji, verifikasi Ushul dan furu’, menjadikan fiqh sebagai etika sosial (bukan hukum positif negara), dan mengenalkan pemikiran filosofis, khususnya dalam masalah sosial budaya.
Fiqh di tangan Kiai Sahal menempatkan fiqh klasik yang dikaji di pesantren sebagai khazanah pemikiran yang kaya dan sumber inspirasi. Khazanah pemikiran tersebut dikombinasikan dengan khazanah pemikiran kontemporer untuk menghadirkan solusi bagi problem sosial kontemporer. Kaidah المحافظة علي القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح konsisten diterapkan Kiai Sahal sehingga fiqh sosial yang dilahirkan diterima oleh semua kalangan, pesantren, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, media, dan birokrasi.
(Jamal Ma’mur Asmani, Dosen IPMAFA Pati)