Keteguhan Hati Jurnalis Muda NU Ahmad Khoirul Anam

Keteguhan Hati Jurnalis Muda NU Ahmad Khoirul Anam

Keteguhan Hati Jurnalis Muda NU Ahmad Khoirul Anam.

Obituari jurnalis muda NU, Dr. Ahmad Khoirul Anam.

Masih kaget dan sangat kehilangan sahabat terkarib Dr. A Khoirul Anam. Kami adalah angkatan pertama santri KH Abdurrahman Wahid, Gus Dur, di Pesantren Ciganjur bahkan sebelum pesantren berdiri.

Masih ingat di tahun 2003, aku dan Anam semangat mendatangi lingkaran diskusi NU di Jakarta. Kami pernah jalan kaki dari Ciganjur ke Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Cililitan, hanya untuk mengalami gelora pemikiran anak muda NU yang saat itu sedang alami musim semi.

Ketika Pesantren Ciganjur resmi dibuka, aku dan Anam, juga ajengan Ahmad Ginanjar Sya’ban menjadi penghuni pertama Pesantren Luhur tersebut. Sejak saat itu, hubunganku dengan tokoh muda ini menjadi “hubungan intim tapi penuh kontestasi”.

Anam pernah bilang, “Aku mendukungmu dengan mengritikmu..” Dan selama pergulatan kami di bawah pendidikan Gus Dur, itulah yang terjadi. Sesuatu yang bagiku rasional, baginya tak rasional. Dia selalu menjadi anti-tesisku. Namun kuakui, dia adalah pemimpin. Punya karakter kepemimpinan. Itulah mengapa, dia terpilih sebagai Lurah Pondok, sedang aku hanya Koordinator Kajian.

Dari dulu, aku selalu mendorongnya menjadi budayawan, sebab pernah beberapa kali nulis esai budaya di media. Logikanya yang “nyeleneh” membuatku menyebutnya potensial menjadi The Next Cak Nun. Tapi mungkin pilihannya lain. Dia lebih memilih menjadi jurnalis, berawal di Harian Duta Masyarakat, dan berlabuh di NU Online, tempatnya menjadi tokoh muda NU hingga akhir hayat.

Masih teringat artikel pertama kami di Kompas. Tulisannya berjudul “NU dan Oposisi Kultural”. Sedang tulisanku, “Politik NU Pascapilpres”, sekitar 2004. Itu satu momen istimewa kami, sebagai orang yang datang ke Jakarta dan bermimpi jadi penulis nasional.

Ketika dia menempuh doktoral, aku sangat mendukung. Dia bilang, “Men, aku belajar dari senior-senior kita yang punya kelemahan di gelar akademik”. Aku dukung dan kupuja-puji disertasinya saat dibedah Kemenag.

Sampai menjelang akhir hayat, dia masih mengritikku yang saat ini “tak menempuh jalur NU”. Kujawab, “Bro, yang diurusi Gus Dur itu selain NU ya negara. Jadi biarlah saat ini aku di sini”. Dia pun menjawab, “Yowes, nanti di tikungan kita ketemu dan ngopi-ngopi..”

Nah, selayak kontestasi kami selama puluhan tahun. Aku persiapkan “tikungan nasional” itu. Kami, santri-santri Gus Dur, memang terpanggil ikut mengelola negara.

Sayang sebelum itu tercapai, Gusti Alloh sudah memanggilnya. “Beliau, memang terlalu sayang padamu, Men..”😢

Jakarta, 25 Juni 2021.

Sahabatmu, Syaiful Arif.

*Demikian tentang Keteguhan Hati Jurnalis Muda NU Ahmad Khoirul Anam yang ditulis sahabatnya, Syaiful Arif, semoga bermanfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *