Oleh: Abdul Adzim Irsad, alumnus Universitas Ummul Quro, Makkah.
Mbah Maimoen Zubair itu salah satu kekasih Allah yang paripurna, beliau wafat di era milenial. Ketika membincangkan Mbah Maimoen Zubair, ternyata sangat asyik nan menarik, seperti asyiknya membincangkan KH Abdurahman Wahid. Salah satu kesamaan antara KH Abdurahman Wahid dan KH Maimoen Zubair, terletak pada kecintaan terhadap pesantren dan kecintaan terhadap NKRI. Keduanya penjaga marwah NU dan NKRI, dengan pendekatan santun, ramah dan damai.
Dan, keduanya sudah memasuki dunia tasawuf tingkat tinggi. Nah, salah satu ciri khas orang sufi tingkat tinggi itu adalah “kalau beribadah untuk diri sendiri, mereka benar-benar memilih yang paling ideal berat, tetapi kalau berfatwa kepada umat, mereka mencari yang paling ringan”. Juga, sangat memuliakan sesama, dan memberikan manfaat sebanyak-banyak kepada sesama hamba Allah SWT di bumi.
Tidak heran jika Mbah Maimoen dalam ceramahnya menyampaikan bahwa ulama Nusantara itu memiliki kesamaan dengan tuntunan Rasulullah SAW. Jika Rasulullah SAW menyatukan Arab dalam satu nusa dan satu bangsa. Satu bahasa Bahasa Arab, maka Indonesia menyatukan Satu Nusa santu bangsa dan satu bahasa bahasa Indonesia. Jika Rasulullah SAW merubahah Arab yang bercerai berai menjadi satu bahasa Arab, maka Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa menyatu dan melebur menjadi bangsa Indonesia.
Setiap khaul Gus Dur, biasanya Mbah Maimoen Zubair Dahlan selalu hadir dan memberikan sambutan. Ketika haul ke-9, KH Maimoen Zubair juga memberikan sambutan. Begitu cintanya Mbah Maimoen kepada Gus Dur, walaupun pada masa hidupnya, keduanya kadang kurang sreg. Tetapi, ketidak sreg-an, itu merupakan bentuk nyata perbedaan kedua wali tingkat tinggi di dalam menjaga umat. NU, menjaga umat yang dalam tubuh PKB, sementara Mbah Maemun menjaga umat yang berkumpul di PPP. Namun, keduanya menyatu dalam tubuh NU dan NKRI.
Keduanya memang tidak kembali. Sejatinya, keduanya telah bertemu kembali di dunia alam barzah. Keduanya sedang berncandaria membincangkan masyarakat yang sedang berdebat dan mencari keramat dunia. Di dalam kitab Al-Tadzkirah, Imam Alqurtubi menerangkan bahwasanya orang-orang sholih itu di dalam kuburnya bisa saling berkunjung. Gus Dur dan KH Mbah Maimoen, berjauhan kuburnya. Tetapi, bagi keduanya sangat dekat. Setiap saat bisa jagongan, membincangkan orang-orang yang ngaku-ngaku mendoakan saat proses pemakamanya.
Waliyullah Sederhana
Tidak ada Kyai yang memulikan durriyah Rasulullah SAW, seperti KH Abdurahman Wahid. Tidak ada seorang Kyai, yang mengajarkan memulikan keturunan Rasulullah SAW, melebihi KH Maemun Zubair. Ini sama persis dengan kisahnya Sayyidina Umar Ibn A-Khattab ra, yang menikahi Ummi Kulsum ra binti Ali Ibn Abi Thalib ra. Kala itu Umi Kulsum masih berusia 5 tahun. Namun, Umar Ibn Al-Khattab ra, menikahi bukan untuk di kumpuli (seperti hubungan suami istri), melaikan ingin merawat cucu Rasulullah SAW, dan menjadi bagian dari keluarga Rasulullah.
KH Maimoen Zubair, begitu memulikan Durriyah Rasulullah SAW, beliau sowan kepada Sayyid Ahmad Ibn Muhammad Ali Al-Maliki, dan mencium tangannya. Juga, sowan ke Sayyid Alawi Ibn Abbas Ibn Alawi Al-Maliki, mencium tangan. Bahkan, Mbah Maemun juga memulikan semua durriyah Rasulullah SAW, dimanapun berada.
Gus Dur dan Kyai Maemun sudah sampai pada tahapan istimewa. Kedua Kyai itu menyatu di dalam tubuh NU, satu-satunya organisasi yang hingga sekarang memiakan keturunan Rasulullah SAW, membela negara kesatuan Republik Indonesia, membela umat, membela durriyah Rasulullah, menjaga Aswaja (Ahlussunah Waljamaah), dan mengaa persatuan dan kestuan umat islam dengan tidak menyakiti sesama.
Gus Dur pernah mati-matian menjawa marwah Habaib. Ketika Hasan Basri mengatakan “keturunan Rasulullah SAW, sudah tidak ada lagi. Karena Rasulullah SAW, tidak memiliki anak laki-laki. Jadi, kalau ada yang mengatakan dan mengaku keturunan Nabi, berarti itu ngaku-ngaku”. Satu-satunya orang yang membela mati-matian Durriyah Rasulullah SAW di Indonesia adalah Gus Dur.
Cukup banyak dari Ulama Nusantara sekaligus waliyullah asal Jawa yang di makamkan di Ma’la Makkah. Dalam catatan saya yang terhimpun dalam kitab “Qurratul Aini fi A’lami Indonesia fi Al-Baladi Al-Harami”, ada sekitar 20 ulama Indonesia yang pernah hidup di tanah suci Makkah. Sebagian mengajar Alquran, sebagian lagi mengajar dan khotib dan Imam di Masjidilharam, sebagian lagi menjadi penulis, sebagian lagi turut serta mendirikan Madrasah Darul Ulum Al-Diniyah, Madrah Indonesia Makkah, dan yang terahir adalah SIM (Sekolah Indonesia Makkah).
Mencium Tangan Gus Dur dan Mbah Maimoen
Keduanya memiliki hubungan dan kesamaan dalam ilmu. Satu-satunya Kyai Nusantara yang pernah saya cium keningnya adalah KH Maimoen Zubair Dahlan. Saya mencium tangan bolak balik (ngalab berkah), karena belum puas, saya-pun mencium keningnya. Bukan karena ngalamak (tidak punya adab), tetapi karena begitu kagum, takdim, dan cinta kepada Mbah Maimoen Zubair.
Usai sowan dan mencium tangan dan kening. Saya-pun tidak pernah menganti profil whatshap dengan profil lain, karena merasa bangga nan bahagia, seorang yang penuh dosa, bisa salaman dan bersentuhan dengan KH Maimoen Zubair. Satu kalimat yang sangat sangat saya sukai dari beliau, yaitu ketika beliau bertanya“sampeyan dari mana? Saya menjawab “saking Malang (dari malang). Beliau tersenyum dan berkata “lho…kok adoh”.
Sebenarnya, sejak saya di Makkah sering berjumpa dengan beliau. Bisanya beliau selalu di dampingi oleh Muhtaram salah satu santri asal Gresik. Biasanya Mbah Maimoen ngledek “sampeyan dari Jawa Timur ya, pasti PKB? Kemudian beliau melanjutkan “kalau saya ngak pati NU, jadi ngak diakui PKB”. Kalimat itulah yang saya ingat hingga sekarang.
Ketika masih hidup, Mbah Maimoen Dahlan selalu menjadi rebutan banyak orang, ini sangat mirip dengan Gus Dur.
Semua orang ingin dekat dengannya, semua santri ini memberikan khidmah terbaik kepadanya. Dalam tulisan sebelum saya kutip pernyataan KH Bahrul Munir yang rasan-rasan di hati (bathin) tentang Gus Dur, tiba-tiba Mbah Maimoen menjawab “wah, kalau Gus Dur, saya ngak berani, karena Gus Dur itu adalah titisan Mbah Hasyim Asy’ary”. Kemudian KH Bahrul Munir bathin tentang Sayyid Muhammad. Tiba-tiba Mbah Maimoen Zubair Dahlan menjawab “kalau Sayyid Muhammad itu punjure (pusat) Sayyid”.
Belum lagi cerita Muhtaram santri setia yang mengantarkan Haji dan umrah setiap tahun Mbah Maimoen. Konon, sewaktu istrinya Muhtaram mendekati kelahiran. Mbah Maimoen Zubair meminta kepada Muhtaram agar mengantarkan dirinya berangkat umrah ke Makkah. Kemudian Muhtaram menjawab “Mbah, saya tidak bisa, karena minggu-mingu ini, istri saya akan melahirkan (ngalarani). Kemudian Mbah Maemun mengatakan kepada Muhtaram “yo wes, ayo kita doakan agar segera melahirkan, biar bisa mengantar saya ke Makkah”.
Tidak menunggu lama. Setelah Mbah Maimoen mendoakan, keesokan harinya istri Muhtaram melahirkan. Betapa terkejutnya Muhtaram dan keluarga. Betapa dahsyatnya doa Mbah Maimoen Zubair. Setelah kelahiran anaknya, muhtaram lega. Sehingga beliau bisa mengantarkan Mbah Maimoen Zubiar Dahlan ke Makkah mendampingi Mbah Maimoen Zubair menunaikan umrah. Kisah ini pernah ditururkan oleh H. Mahron kakak kandung Muhtaram.
Malang, 08/08/2019