Saya berkawan dengan Paulus waktu kami sama menimba ilmu di SD Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Nama lengkapnya saat itu Paulus Rumahenga. Ya, dia penganut Kristen, itu gampang ditebak dari namanya. Pada 1975 kami berpisah, ia pindah sekolah.
Kini, setelah 44 tahun berpisah, saya bertemu lagi dengan kawan saya ini dalam acara halal bil halal sekaligus reuni di restoran Situ Gintung, Ciputat. Di antara banyak kawan SD yang berkumpul di sana, Paulus adalah orang yang paling ingin saya temui. Sejak berpisah di SD dulu, saya belum pernah bertemu dia lagi.
‘’Di mana Paulus,’’ tanya saya pada kawan-kawan usai kami saling bersalaman.
‘’Dia lagi salat,’’ kata seorang kawan sambil menunjuk arah mushalla kecil di restoran taman itu. Beberapa kawan SD saya lalu terlihat keluar dari mushalla itu. ‘’Paulus emang paling lama zikir,’’ timpal kawan yang lain.
Ya, Paulus Rumahenga kini telah salat dan berganti nama menjadi Paul Faisal Rumahenga. Dia dan satu kakaknya sudah menjadi Muslim, sementara kedua orangtua mereka masih setia dengan agama lama. Maka, ketika Paulus keluar dari mushalla dengan bekas wudhu tampak di wajahnya, saya menghambur memeluknya. Ada rasa kangen dari masa lalu terbang ke langit bersama aroma air tawar Situ Gintung.
Paulus atau Paul kemudian banyak bercerita, antara lain sejak lima tahun terakhir dia jadi lebih gemar salat. Sejumlah cobaan dalam hidupnya membuat dia merasa disayang Allah, terbukti dari keasyikannya bersujud pada Zat Yang Maha Esa. Saya sempat mendengar dia berkata perlahan di samping saya: ‘’Kayaknya kalau sudah sujud ingin yang lamaaaaa …’’
Saya tidak bertanya banyak kepada Paulus ada apa di balik keasyikannya berlama-lama sujud kepada Sang Maha Pencipta. Saya juga menghindar dari bertanya apa pandangannya tentang Islam, terutama ketika simbol agama ini di saat Pilpres yang baru lalu dibawa-bawa ke ranah politik untuk tujuan politik tertentu.
Dari semua jawabannya tentang diskusi yang berkembang di antara kami yang berkumpul di restoran itu — mulai dari isu Presiden Jokowi menjual Indonesia ke Cina, Prabowo adalah calon presiden pilihan ulama dan umat Islam, isu komunisme yang mulai bangkit di Indonesia, sampai isu reklamasi Teluk Jakarta yang bakal dihuni imigran gelap asal Tiongkok — saya yakin Paulus sedang menjalankan prnsip Islam ‘’washatiyyah’’ yang penuh ajaran tentang toleransi dan moderasi dalam bersikap.
Awal ceritanya begini …
Kawan-kawan kami, Ismiyati , Indriyani, Nur Supiyantini, Hesthie, gencar sekali bertanya mengapa Jokowi malah mengundang maskapai asing untuk beroperasi di Indonesia hanya gara-gara ingin menurunkan harga tiket pesawat yang melambung tinggi jelang lebaran. Lalu saya jawab, itu tandanya Jokowi bukan pengikut komunisme seperti yang dituduhkan banyak orang di medsos. Orang komunis tidak mungkin membiarkan mekanisme pasar dan kapitalisme bekerja bebas di negerinya. Kaum komunis cenderung menyamakan harga sesuai ajaran ideologi mereka, sebaliknya Jokowi justru pro mekanisme pasar.
Jawaban saya malah mendapat serangan baru dari kawan-kawan masa kecil saya. Kata Ismiyati dengan nada sengit, dari cara Jokowi mengundang maskapai asing, apalagi jika dari Cina, itu semakin membuktikan presiden mau menjual Indonesia kepada Cina. Bikin jalan tol dijual ke Cina, bikin infrastruktur dijual ke Cina, katanya sengit.
‘’Orang-orang Cina juga mulai menguasai Indonesia, lihat saja di Sulawesi, Papua, Kalimantan, dan lain-lain,’’ lanjutnya.
‘’Iis sudah survei ke Sulawesi, Kalimantan, ngecek berita ini? Kamu dapat berita ini dari mana?’’ tanya saya.
‘’Ya dari HP lah. Kan banyak video bilang begitu,’’ kata Ismiyati.
Saya sadar, kawan-kawan saya banyak yang terpapar berita hoax. Buat apa rakyat Cina berbondong-bondong ke Sulawesi, jika negeri mereka sangat mungkin lebih indah dari Sulawesi dan Kalimantan. Jika pun Sulawesi, Kalimantan, atau bahkan semua bagian Indonesia mengundang daya tarik, pastilah kebudayaan lokal Cina, bahasa, juga keluarga, lebih menarik buat warga Cina yang dituduh melakukan migrasi gelap ke Indonesia untuk tetap tinggal di daratan Cina ketimbang di hutan belantara Kalimantan atau pelosok Sulawesi yang Anda sendiri sebagai warga Indonesia belum tentu mau tinggal di sana.
‘’Tapi saya tidak percaya Cina ingin menguasai Indonesia, apalagi ada isu jika Cina investasi di luar Jakarta, tenaga kerjanya juga diboyong dari Tiongkok. Itu bohong. Paling-paling yang mereka bawa tenaga ahlinya, bukan pekerja kasarnya,’’ jelas Paulus yang kebetulan pekerjaannya adalah membangun konstruksi dan gedung-gedung tinggi. ‘’Saya tahu persis cara kerja mereka. Tak mungkin investor Cina sampai bawa pekerja kasar ke sini. Menggaji pekerja kasar Indonesia lebih murah dibanding menggaji pekerja yang sama asal Cina,’’ katanya.
Dari semula membahas soal investor Cina ini, diskusi jadi melebar ke mana-mana hingga sampailah pada topik kebencian terhadap keturunan Cina di Indonesia. Tapi Paulus segera menyambar dengan mengatakan bahwa Islam yang baru dipeluknya justru mengajarkan persamaan hak, kesetaraan di antara umat manusia, juga cara berbisnis yang baik. Jadi, bagaimana mungkin dengan nilai-nilai Islam, kita malah membenci orang lain seperti Cina.
Paulus memang baru bergabung dengan Islam, tapi dia lebih bisa menangkap rasionalitas ajaran dan kehangatan spiritualitas agama ini ketimbang banyak saudaranya yang lain yang bahkan sejak lahir sudah beragama Islam.
‘’Pokoknya gue benci banget ama Cina,’’ kata Ismiyati.
‘’Tapi Syafii Antonio, menantunya Arifin Ilham, kan semua juga keturun Cina?’’ kata saya.
‘’Ya, tapi mereka sudah Islam, jadi bukan Cina lagi,’’ jelas Ismiyati.
Saya dan Paulus hanya bisa tertawa. Tapi kemudian saya sedih. Berita-berita yang berseliweran di media sosial, terutama yang berbau hoax, benar-benar telah menguasai dan merasuki pikiran banyak kawan saya.
Penulis: KH Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta