Karomah Tongkat Sunan Bonang dan Asal-usul Sumur Srumbung
Kanjeng Sunan Bonang adalah salah satu tokoh besar Islam di Indonesia yang tergabung dalam Wali Songo. Beliau lahir pada tahun 1465 M dari pasangan Sunan Ampel dan Dewi Condrowati atau yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Bonang adalah nama sebuah desa di Kabupaten Rembang. Nama kecil Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makhdum Ibrahim.
Sunan Bonang dikenal sosok ulama’ yang cerdas. Bahkan kecerdasannya tersiar sampai ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke India. Di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu itu, ada seorang pendeta yang tinggal di Hindustan, dia bernama Sangkya Kitri. Kemashuran nama Kanjeng Sunan Bonang lantaran kepintarannya dalam ilmu agama Islam yang dimilikinya, juga sampai ke telingganya. Sang pendeta pun takjub, mengapa banyak orang yang beralih dari agamanya dan berganti memeluk Islam, hingga membuat agama itu bisa berkembang begitu pesat di Tuban, Jatim di mana Kanjeng Sunan Bonang berada. Ketakjuban sekaligus kebencian pun akhirnya menyeruak menguasai pikirannya.
Dirinya lalu mengasingkan diri di tempat yang sangat sepi dan terpencil sampai beberapa bulan lamanya. Di tempat itu, selain menjalankan ritual agama yang dipercayai, Sangkya Kitri juga belajar dengan cara membaca berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus buku berbagai judul. Hatinya sudah terlanjur meradang. Manakala semua buku yang dia tahu sudah dilalap habis, dirinya ingin beradu pintar sekaligus sakti dengan Kanjeng Sunan Bonang.
Seiring berjalannya waktu, ambisi untuk mempelajari semua buku dari bermacam disiplin ilmu itu sudah habis ia baca. Sangkya Kitri pun mulai mempersiapkan diri untuk berlabuh ke pelabuhan Tuban dengan naik kapal. Perbekalan yang banyak pun dia persiapkan. Dan pastinya ratusan buku yang telah dia pelajari itu, juga ikut dibawanya. Air laut yang tenang, membuat perjalanan Sangkya Kitri tak menemui hambatan berati. Dia pun dengan tenangnya mengemudikan kapalnya.
Nah, manakala perjalanan telah mendekati pantai Tuban, tiba-tiba ombak besar menghadang. Sang Pendeta tak lagi bisa mengemudikan perahunya dengan baik. Besarnya ombak, mengalahkan segalanya. Kapal yang dia naiki terombang-ambing oleh ombak dan akhirnya hancur setelah menabrak batu karang. Ratusan buku dan perbekalan yang ada dalam kapal pun tercerai berai, hanyut terbawa air laut. Tapi Allah SWT masih berbaik hati sama Sangkya Kitri. Pendeta ini dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki dan baju yang sudah compang-camping, terus menyelamatkan diri dengan cara berenang dan akhirnya sampailah dia ke pinggir pantai.
Pendeta itu terdampar ke Pesisir Tuban dan akhirnya bertemu dengan Sunan Bonang. Dengan merahasiakan identitasnya, Sunan Bonang bertanya kepada pendeta tersebut tentang asal usulnya. Sang pendeta pun bercerita perjalanannya yang mengerikan. Dia menyatakan keinginannya untuk mengadu kesaktian dan ilmu pengetahuan kepada Sunan Bonang.
Sunan Bonang setuju dan siap untuk mengadu ilmu namun pendeta itu menolak lantaran semua kitab-kitabnya telah tenggelam. Dia berjanji jika kitabnya ditemukan dia siap adu tanding dengan Sunan Bonang.
Akhirnya Sunan Bonang menancapkan ujung tongkatnya ke tanah. Keluarlah air beserta kitab-kitab pendeta itu. Kemudian sang pendeta heran, lalu dia bertanya, kamu siapa?
Sunan Bonang menjawab mengatakan bahwa “Saya adalah murid Sunan Bonang.”
Pendeta tersebut tidak tahu bahwa yang berbicara dengannya adalah Sunan Bonang. Jawaban Sunan Bonang malah membuat pendeta tersebut gemetar ketakutan karena terkejut murid Sunan Bonang mempunyai kesaktian sebesar itu. Pendeta itu berpikir pasti seseorang yang bernama Sunan Bonang punya kesaktian yang lebih tinggi lagi.
Kemudian pendeta tersebut meminta ampun dan meminta agar permohonan maafnya disampaikan pada Sunan Bonang. Selang beberapa lama barulah sang pendeta mengetahui sendiri bahwa pemuda tadi adalah Sunan Bonang, akhirnya pendeta tersebut meminta agar dirinya diangkat menjadi murid dan masuk Islam.
Kisah pun tak berhenti sampai di sini. Air yang terus-menerus keluar dari tanah pasir itu, akhirnya berubah menjadi sumur. Nah, agar air yang keluar tidak terus-menerus meluber, Kanjeng Sunan Bonang memerintahkan Sangkya Kitri untuk dibuatkan srumbung, semacam pagar agar air tak terus meluber ke tanah sekaligus menjaganya. Uniknya, sumur yang hanya sepuluh meter jaraknya dari tepian pantai Tuban itu, airnya tak terasa asin, melainkan tawar sebagaimana air sumur yang jauh dari wilayah pantai. Sumur srumbung ini berada di desa Sidomulyo, Kec. Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Kisah ini sudah lama berlalu. Tapi kharomah air sumur masih tetap terasa sampai sekarang. Ini terbukti dari banyaknya warga yang datang dari berbagai daerah untuk mengambil airnya yang tak pernah kering meski datang musim kemarau.
Tentu saja, semua dari Allah SWT. Tapi dengan wasilah air sumur itu, Allah memberikan ijabah kepada hamba-Nya yang berdoa dan meminta.
Demikian Karomah Tongkat Sunan Bonang dan Asal-usul Sumur Srumbung. Semoga bermanfaat.
(Abu Umar)