Karomah Kiai As’ad: Hafal Nama Santri, Nama Wali Santri, dan Pekerjaannya

Kisah Karomah Kiai As'ad Jelang Istrinya Akan Wafat

KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo adalah salah satu ulama’ besar yang dimiliki Indonesia. Peran keulamaan dan kebangsaannya diakui semua kalangan, baik umat di bawah dan kaum elite di negara. Sosoknya tegas, pemberani, dan juga penuh kasih sayang. Santrinya bukan saja warga Situbondo dan sekitarnya, tapi merata seluruh Nusantara, bahkan tidak sedikit dari Malaysia, Brunai, Singapura, dan lainnya.

Kiai As’ad lahir di Makkah, tahun 1897. Ayahnya, KH Syamsul Arifin adalah ulama’ besar yang zuhud, wara’, ‘abid, dan bersahabat dengan KH Hasyim Asy’ari. Tidak salah kemudian kalau Kiai As’ad dipilih gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan, untuk menyampaikan isyarah (perlambang) terkait berdirinya organisasi para ulama kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Isyarah itu berupa tasbih, tongkat, dan ayat-ayat al-Qur’an disampaikan dengan penuh khidmat oleh Kiai As’ad. Sejarah mencatat dan mengakui, sosok Kiai As’ad berjasa besar dalam berdirinya NU, apalagi totalitas perjuangan Kiai As’ad untuk NU tak pernah diragukan.

Setelah menerima isyarah itulah, Kiai Hasyim Asy’ari akhirnya semakin membulatkan tekadnya dalam mendirikan organisasi bagi kalangan kaum ulama’. Lahirlah nama Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926. Kalau untuk NU, Kiai As’ad tak pernah tanggung-tanggung. Bahkan santrinya yang tidak mau ikut NU, maka tidak akan diakui sebagai santrinya, baik di dunia sampai akhirat. Itulah totalitas cinta Kiai As’ad kepada NU.

Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo yang diasuhnya memiliki ribuan santri dari berbagai daerah di Nusantara. Karomah Kiai As’ad hadir, yakni tahu semua santrinya. Dalam hal ini, beliau pernah mengatakan:

“Santri saya ini 21.746 jumlahnya. Saya tahu namanya satu per satu. Semuanya saya tahu dimana rumahnya, baik dari Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumatra, Kalimantan, Irian Jaya, Malaysia, Singapura, Brunai, dan lainnya. Siapa nama orang tuanya, bekerja sebagai apa orang tuanya. Kalau kalian masih ragu, saya siap dites. Kalau jawaban saya keliru, saya berhenti dari kiai/guru.”

Apa yang ditegaskan Kiai As’ad ini juga wujud totalitas Kiai As’ad dalam mendidik santrinya. Para santri bukan hanya dididik ilmu saja, diajari akhlaq, juga didoakan setiap saat oleh sang kiai. Itulah sosok Kiai As’ad yang kini santrinya tersebar menjadi pejuang/dai di berbagai pelosok Nusantara. Tidak sedikit juga yang kemudian menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat penting negeri ini.

Kiai As’ad  wafat di usia 93 pada 4 Agustus 1990. Dua hari setelah Kiai As’ad meninggal, Rais Aam PBNU K.H. Ahmad Siddiq pernah mengusulkan agar Kiai As’ad dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tapi usulan tersebut tidak ditindaklanjuti, apalagi saat itu NU di bawah kepemimpinan Gus Dur mengambil sikap oposisi terhadap rezim Soeharto. Kiai As’ad dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 3 November 2016 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016. Butuh puluhan tahun hingga Kiai As’ad resmi ditetapkan sebagai pahlawan. (Abu Umar/Bangkitmedia.com).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *