Karomah Kiai Abbas: Bedug Masjid Agung Cirebon Membuat Geger

KH. Abbas Abdul Jamil adalah putra sulung dari pasangan KH. Abdul Jamil dan Nyai Qari’ah. Kiai Abdul Jamil memiliki putra-putra dari istri Nyai Qari’ah yang berakhiran “AS”; Kiai Abbas, Kiai Anas, Kiai Ilyas dan Kiai Akyas. KH. Abbas Abdul Jamil atau orang lebih akrab menyebutnya Kiai Abbas, dilahirkan pada hari Jum’at 24 Dzulhijah 1300 H/1879 atau 1883 Masehi di Desa Pekalangan, Cirebon dan Wafat pada hari Ahad waktu Shubuh tanggal 1 Rabi’ul Awwal 1365/1946 Masehi.

Suatu hari Kiai Abbas kecil berkeinginan mondok di pesantren. Waktu demi waktu berlalu, Kiai Abbas yang masih relatif kecil mengutarakan keinginannya kepada sang ayah untuk mondok. Meski ayahnya sendiri adalah seorang Kiai yang alim dan mengajar ke para santri, namun anggapan bahwa belum dikatakan mondok karena belajar kepada orangtuanya sendiri membuat Kiai Abbas yang masih kecil mantap untuk pergi mondok, beliau merasa ingin mencari ilmu dan bertabarruk kepada para Kiai dari pondok-pondok yang lain.

Bacaan Lainnya

Karena desakan yang besar dari anaknya, akhirnya KH. Abdul Jamil mengabulkan: “Yawis lamon arep mondok, pamita Sira maring dulur ira ning Masjid Agung Cirebon,” Ya sudah kalau kamu ingin mondok, mintalah restu kepada kerabatmu yang ada di Masjid Agung Keraton Cirebon.

Dengan langkah tegap, tatapan tajam ke depan, Abbas kecil berjalan kaki menyusuri rel kereta api berangkat pagi dari rumahnya menuju Masjid Agung Cirebon. Hari itu adalah hari Jum’at. Tepat pukul 12 siang kurang 10 menit, bedug Masjid Agung Cirebon pun berbunyi bersamaan dengan datangnya Kiai Abbas kecil.

Salah seorang habib yang merupakan imam dan khathib Masjid Agung tersebut pun berteriak: “Heh… sapa kuh sing wani-wani nabuh bedug, kurang 10 menit!” Siapa yang berani-beraninya menabuh bedug, (padahal waktu masuk shalat) kurang 10 menit!

Tak ada satu pun jama’ah yang hadir yang menjawab, karena memang tidak ada yang merasa menabuh bedug, habib itu pun bertanya di hadapan jamaah: “Siapa saja orangnya yang masuk masjid bersamaan dengan bunyi bedug tadi, suruh dia menghadap saya.”

Para jama’ah pun saling menoleh, tidak ada yang merasa masuk masjid berbarengan dengan bedug berbunyi. Tapi salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menjawab: “Maaf, Habib. Ada satu orang yang dimaksud, tapi dia cuma anak kecil, kulitnya hitam, nampak lusuh dan pakaiannya tidak rapi.”

Bocah cilik gan bagen,” Biarin, meskipun anak kecil! Jawab sang habib.

Akhirnya Kiai Abbas kecil pun diminta menghadap sang habib, dan ia ditanya: “Sira kuh sapa, sing endi?” Kamu itu siapa dan berasal dari mana?

Dijawab dengan tegas ala anak kecil: “Kula Abbas, putrane Abdul Jamil Buntet.” Saya Abbas, putranya Abdul Jamil Buntet.

Langsung saja sang habib merangkulnya sembari menangis, dan berkata: “Masya Allah, sira kuh arane Abbas, putrae Kiai Abdul Jamil Buntet? Sedulur isun?!” Masya Allah, kamu Abbas putranya Kiai Abdul Jamil Buntet? Keluarga saya?!

Akhirnya Kiai Abbas kecil pun disuruh sang habib untuk naik mimbar, dan berkhutbah. Meski kecil, ia sudah sangat fasih berbicara di hadapan orang banyak. Berkhutbah dengan lancarnya bak khathib yang sudah sangat berpengalaman.

Bedug masjid yang berbunyi sendiri itu, sebagai pertanda dan penyambutan ada tamu orang yang besar, KH. Abbas bin KH. Abdul Jamil Buntet. “Mungkin yang menabuh bedug dan menyambut itu adalah para malaikat,” cerita tutur salah satu santri Pesantren Buntet, mengakhiri kisahnya.

Masih banyak lagi kisah-kisah Kiai Abbas yang menunjukkan kewalian-Nya. Selain seorang Kiai tetapi beliau seorang panglima perang 10 November 1945. Beliau di juluki oleh Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari sebagai singa Jawa Barat. Jasa-jasa Kiai Abbas sangat berharga bagi bangsa ini. (Sholikul Hadi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *