Wong Jowo sering mendengar piwulang Jimat Kalisodo, melalui lakon pewayangan ketika menceritakan Raja Puntadewa, sebagi jimat berbentuk kitab yang sangat ampuh. Wayang kulit itu sendiri, merupakan media dakwah yang dipakai Sunan Kalijaga dan murid-muridnya untuk mengembangkan Islam di kalangan masyarakat Jawa bersama para wali yang lain.
Mbah saya dulu sewaktu saya kecil, sering mendengarkan wayang melalui radio dan kaset, dan kadang kala pada bagian yang menceritakan Kalimosodo, saya nguping, karena sewaktu kecil saya ikut Mbah saya. Dalam pewayangan itu, Kalimosodo dimaknai sebagai Kalimah Syahadat. Demikian juga cerita tentang Ajisoko dan Dewoto Cengkar, sering saya dengarkan melalu kaset yang diputar oleh Mbah saya.
Dalam Bausastra Djawa, tidak kita jumpai kata “Kalimosodo”, tetapi dapat kita temukan kata “kalimah” yang bermakna “tetembungan”. Ketika kata “kalimah itu digabung dengan “Kalimah Syahadat” maknanya menjadi: “Tetembungane pangandel loro, yaiku lailaha illalloh, Muhammad Rosulullah (ora ono Pangeran kejaba Alloh, lan Muhammad Rasuling Alloh.”
Waktu saya kecil, sekitar tahun 80-an, di kampung saya memang masih ada pertunjukan wayang kulit, dan saya sesekali menonton. Apa yang saya dengarkan dari Mbah saya dan cerita wayang, tidak ada pengertian lain tentang Kalimosodo kecuali bahwa Jimat Kalimosodo itu adalah, tegese wong Jowo kuwi nduwe jimat ampuh ojo ditinggal, yaitu melu Njeng Rosul, melalui sarana ngucap syahadat. Akan tetapi wayang sudah tidak popular lagi setelah itu. Bahkan sampai kini, di kampung saya, sudah tidak pernah digelar pementasan wayang. Akan tetapi gantinya kadang-kadang pementasan “Janger dan Prabu Loro” masih sempat saya lihat, dan tidak lama saya dengar juga dipentaskan. Pada saat yang sama, tetap dilakukan Manaqiban Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di musholla tengah kampung saya. Baru kemudian saya mengenal tarekat Syaikh Abdul Qodir ketika sudah di Yogyakarta.
Saya tidak mempertanyakan kala itu, kenapa Raja Puntodewo atau Yudhistira mengeluarkan jimat saktinya, Kalimosodo. Karena dalam alam kesadaran orang-orang desa saya dan dalang yang membawakan itu; dan apa yang diputar melalui kaset-kaset, Wong Jawa saiki iki, mewarisi cara hidup yang dikembangkan para wali, termasuk dari upaya-upaya Sunan Kalijaga. Dan cerita wayang itu bagian dari warisan leluhur yang mana nilai-nilai Islam diyakini dimasukkan dalam berbagai lapisan kebudayaan, termasuk dalam pewayangan. Dari sini kemudian difahami Jimat Kalimosodo itu jimat penting bagi masyarakat Jawa, jangan sampai ditinggalkan.
Baru kemudian di Jogjakarata, saya mulai tahu ada yang memaknai Jimat Kalimosodo itu bukan dalam pengertian Kalimat Syahadat. Hanya untuk menunjukkan contoh, alangalangkumitir dalam situsnya memberikan beberapa makna, dengan tanpa menjelaskan dari mana makna-makna itu diambil. Kemudian juga Wikipedia dalam “Jamus Kalimasada” menjelaskan juga dengan memberikan pengertian lain, yaitu dengan mengutip pendapat Dr. Kuntoro Wirjomartana, SJ., dikutip begini: “Istilah kalimasada bukan berasal dari kata Kalimat Syahadat, melainkan dari “kalima hosaddha,” yang berarti dari kata “kali maha usaddha”, yang ketika dikutip tanpa tanda petik.
Kalaupun toh misalnya benar apa yang dikemukakan Wikipedia dengan mengutip Dr. Kuntoro Wirjomartana, seorang yang pernah mengajar saya di Sanata Dharma dalam kajian Jawa tentang “Kidung Rumekso Ing Wengi”, yaitu ada kalimat “Kali maha usaddha” yang bermakna “Obat Mujarab Dewi Kali”, tidaklah bisa dipungkiri kenyataan bahwa masyarakat Jawa memaknai Jimat Kalimasada itu adalah Kalimah Syahadat, melalui pertunjukkan pewayangan yang pernah mementaskan itu; atau dalam pengetahuan yang dituturkan dari Mbah-Mbah dulu begitu.
Dalam makna kalimat syahadat itu, difahami bahwa dimasukkannya Jimat Kalimosodo dalam cerita itu, adalah cara yang dilakukan Sunan Kalijaga dan murid-muridnya untuk memperkenalkan syahadat melalui wayang. Dengan memasukkan kata Kalimosodo dalam pengetahuan masyarakat Jawa, secara budaya: mengakomodasi cerita yang tetap menggunakan cerita yang telah dikenal di masyarakat Jawa, yaitu tokoh-tokoh pewayangan; akan tetapi di dalamnya dimasukkan nilai-nilai Islam. Sehingga dikenal pula masuknya tokoh-tokoh Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng, dalam pewayangan.
Kalimat Syahadat di luar pewayangan, oleh masyarakat Jawa diucapkan menandai bahwa Wong Jowo itu dadi Wong Slam, terlepas dari berbagai jenis dan pengungkapannya yang berbeda-beda, baik dengan bahasa Arab atau bahasa Jawa. Hal ini diperkuat dengan kenyataan “Ilmu Kasampurnan” yang dimiliki Wong Jowo dari turun-temurun, seperti dikemukakan Ronggowarsito dalam permulaan Wirid Hidayat Jati dalam versi yang diteliti Simuh, dikemukakan begini: “…yang menjadi benih pelajaran ilmu kasempurnan bagi diri pribadi, kesemuanya berasal dari Qur’an, Hadits, Ijma, Qiyas sebagaimana disebutkan dalam semua wirid…”
Hanya saja, Wirid Hidayat Jati versi yang diunggah alangaalangkumitir, dengan pembuka yang dipengantari R. Tanojo bertanggal 1 Januari 1954, tidak ada bagian angkatan para wali (dalam 5 angkatan) dalam pembukaan Wirid Hidayat Jati, sehingga kata-kata penting di atas tidak ada. Dalam versi yang dipengantari R. Tanojo ini, langsung masuk “Bebukaning Wirid”, yang dalam versi dalam Simuh ada bagian tentang “Serat Wirid”, sebelum permulaan bab I tentang Permulaan Wirid itu, dan kata-kata di atas dicantumkan di bagian awal pembukaan.
Kalau dalam Bausastra Djawa kata “Jimat” itu dimaknai dengan “barang-barang sing dianggep duwe daya sing ngungkuli kodrat”, tetapi saya sendiri sering memaknai dan menganggap “Jimat” itu, sebagai “barang siji sing kudu dirumat”, yaitu Kalimosodo. Sementara guru-guru dalam tasawuf memaknai syahadat itu, bagi “penderek Njeng Rasul” sebagai batas antara dibukannya segel dan tidak di dalam hati, seperti dikemukakan hal itu dalam kitab al-Luma karangan Abu Nashor ath-Thusi.
Sampai penjajah Belanda saja, tetap memasukkan mereka yang di luar Timur Asing dan Eropa, pernikahannya tetap menggunakan cara Wong Slam.
Wallohu a’lam.
Nur Kholik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.