Pertama kali aku berjumpa dengan Mbah Kiai Maimoen Zubair sekitar 1991. Saat itu aku diajak guruku Romo KH Abdurrahman Muhsin untuk menghadiri pernikahan KH Ustukhri Irsyad.
Dalam kesempatan itu aku diajak sowan kepada guru besar Romo KH Maimoen Zubair. Saat kami duduk di ndalem, beliau memanggil putra sulungnya, KH Abdullah Ubab.
Saat itulah aku melihat pemandangan yang luar biasa. Yaitu sikap sang putra saat dipanggil, duduk, dan bersikap saat disamping sang Abah. Beliau duduk dengan penuh takzhim, menundukkan kepala. Hanya sesekali beliau mengangkat muka menatap sang Abah.
Saya sampai berpikir, ini Mbah Kiai Ubab lagi menghadap guru apa abahnya sih? Begitulah penghormatan beliau kepada abahnya yang juga gurunya.
Dalam kisah lain, suatu ketika adik beliau Romo KH Najih Maimoen datang ke rumah beliau. Sebelum Yai Najih masuk, Yai Ubab sudah berdiri untuk menghormati sang adik. Bahkan Yai Ubab menyuruh sang istri yang saat ada di ruang tamu untuk ikut berdiri.
“Buk, buk, ngadek. Ojo mok delok iki sing teko adikku. Sing teko iki wong alim,” kata Mbah Ubab kepada sang istri tercinta.
Sedikit cerita ini semoga bisa menjadi teladan khususnya bagi saya pribadi.
Foto: Abah Ubab bersalaman dengan sang ayah Kiai Maimoen Zubair
17 Desember 2017
(Penulis: Abu Said)