Oleh: Ibu Nyai Tutik Nurul Janah, putri menantu Kiai Sahal.
Awalnya saya sempat heran dengan kebiasaan makan bersama keluarga, setiap ba’da maghrib di keluarga Kiai Sahal. Saya bahkan sempat menganggapnya sebagai makan bersama yang layaknya “upacara”. Hanya ritual yang dilakukan setiap hari dan seolah-olah tanpa arti.
Pertanyaan saya waktu itu, kenapa juga makan yang harusnya dilakukan saat kita merasa lapar, harus “diupacarakan” menjadi ritual ajeg pada jam-jam tertentu?
Pertanyaan ini muncul karena sebelum menikah, saya melihat makan bersama bukanlah hal yang penting. Keluarga saya dulu biasa meletakkan menu makanan di meja makan, untuk kemudian para anggota keluarga akan makan pada waktu yang diinginkannya. Tidak ada jam khusus setiap hari untuk duduk dan menikmati makan bersama di meja makan dengan seluruh anggota keluarga. Kalaupun ada acara semacam itu, mungkin hanya sesekali saja saat ada acara khusus keluarga.
Belakangan, saya baru menyadari hikmah menyelenggarakan makan bersama (minimal sehari sekali) ini sebagaimana kebiasaan dalam kelaurga Kiai Sahal. Dan ternyata kebiasaan ini memiliki manfaat yang luar biasa. Apalagi untuk keluarga dengan bejibun aktifitas seperti keluarga Kiai Sahal dan Ibu Nyai Nafisah waktu itu. Bagaimana Kiai Sahal, Ibu Nyai Nafisah dan buah hati beliau adalah orang-orang selalu dipenuhi hari-harinya dengan jadwal padat merayap.
Namun kemudian, karena tradisi makan bersama pada jam yang sama ini ditetapkan oleh Kiai Sahal sang kepala keluarga menjadi pengikat seluruh keluarga untuk bertemu dan bertegur sapa.
Maka demikianlah, segenap anggota keluarga akan berjuang agar bisa duduk di meja makan pada waktu yang telah ditentukan. Atau jikapun salah satu anggota keluarga sedang terpaksa tidak bisa bergabung di meja makan karena sedang berada di tempat jauh, maka masing-masing akan teringat, bahwa ini adalah jam makan malam bersama. Kemudian sekedar bertukar sapa pada saat yang sama untuk melanggengkan komunikasi antar anggota keluarga.
Kemudian, belakangan saya baru faham, bahwa makan bersama keluarga bukanlah sekedar sebentuk ritual atau upacara keluarga. Namun lebih dari itu, meluangkan seperempat jam atau setengah jam atau bahkan satu jam dengan duduk bersama, menikmati menu rumahan sekedarnya sembari bercengkrama adalah cara istimewa guna merawat komunikasi dan kebersamaan antar anggota keluarga.
Dari kebiasaan kecil inilah, Kiai Sahal mendidik keluarganya agar tetap saling memberi perhatian, saling menghargai, saling mendengarkan, saling mendukung dan saling menguatkan. Dari meja makan, Kiai Sahal mengajarkan arti kebersamaan.
Kagem Kiai Sahal Mahfudh, alfatihah….