Ilmu Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (3)

Makna Fana Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (2)

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Bagian ketiga tentang ilmu ini adalah skema “makna ilmu” menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Sirrul Asrar Fima Yahtaj Ilaihi al-Abrar. Bagian “makna ilmu” ini berbeda dengan dua sebelumnya, tentang “hierarki ilmu” dan “wilayah ilmu” (lahir-batin).

Makna pertama, ilmu hikmah, yakni ilmu Ketuhanan, pengetahuan tentang Dzat Swt dan tentang asal dan awal segala kejadian. Penuai makna ilmu berderajat paling tinggi ini adalahorang-orang khusus yang telah benar-benar mengamalkan ilmunya sebagai jalan hidup (suluk), dengan berpegang teguh kepada syariat Allah dan RasulNya sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah RasulNya.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menukil surat al-Baqarah ayat 269 untuk menunjukkan kepada kita ihwal “extraordinary” ilmu hikmah ini: “Allah Swt akan memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan siapa yang telah diberi hikmah oleh Allah Swt, maka sungguh ia telah diberi kebajikan yang luar biasa….

Secara teoritis, jamak kita pahami bahwa “hikmah” adalah cinta dan kebijaksanaan. Untuk menggapai derajat ini, kita mesti ‘melampaui ilmu’ yang lahiriah dan kognitif –bukan tidak berilmu macam orang awam—lalu berpadu dengan kedalaman ilmu batiniah, sehingga yang kemudian terdulang adalah saripati ilmu dan lelaku. Sebagai “bersumber dari kedalaman ilmu”, tentu iyadan sebagai “bersumber dari kedalaman batin”, tentu pula iya.

Di kehidupan nyata, kita menyaksikan sendiri sejumlah orang yang kita tuakan dan hormati memancarkan ilmu cinta dan kebijaksanaan ini. Kita bisa menyaksikan untaian ucapan dan sikapnya dalam merespons soal-soal apa pun di sekitarnya dengan aura keteduhan dan kedalaman yang bestari. Dan berkat keistimewaan nilai-nilai adiluhungnya inilah mereka didengar dan digugu. Inilah maksud umum hikmah.

Orang Jawa populer menyebutnya sikap “madep, menep, mantep”.

Namun tentunya maksud Syekh Abdul Qadir al-Jailani jauh melampaui dataran tersebut, dikarenakan sumber hikmah itu semata Allah Swt. Boleh jadi washilahnya adalah ilmu, tadabbur, tafakkur, dan tasya’ur, serta riyadhah yang panjang, sehingga pikiran dan hatinya menjadi kaya kecemerlangan. Tapi, washilah tetaplah mesti hanya didudukkan sebagai washilah, jalan. Yang paling ontologis, hakiki, ialah kehambaan yang luar biasa kepada Allah Swt yang lalu diridhaiNya sehingga Dia Swt mengarunikannya ilmu-ilmu hikmah tersebut. Dalam pelbagai titik, beliau mengistilahkannya sebagai “Sirr”.

Contoh nyata yang diabadikan al-Qur’an adalah Luqman. Dalam surat Luqman ayat 12, Allah Swt mengabarkan: “Dan sungguh telah kami karuniakan hikmah kepada Luqman, hendaklah bersyukur kepada Allah Swt. Siapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia sedang bersyukur kepada dirinya sendiri dan siapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Swt Maha Kaya lagi Maha Suci.

Kita lalu bisa melihat dengan terang mulai ayat 13 sampai 32 banjaran ilmu hikmah yang diajarkan Luqman kepada anaknya –kita semua. Begitu dalam aura cinta dan kebijaksanaan di dalamnya, dengan bersumbu kepada iman yang haq kepada Allah Swt, kemudian menyinari seluruh jalan dan laku hidupnya, meliputi urusan pertama dengan Allah Swt dan kedua dengan sesama manusia.

Bila dicontohkan dalam urusan ibadah, kiranya orang yang telah diberi hikmah oleh Allah Swt akan senantiasa memandang kesalehan ibadah-ibadahnya sebagai semata karunia dan pertolonganNya –bukan berkat kekuatan dirinya. Begitupun dalam meninggalkan maksiat-maksiat, ia memandangnya semata berkat pertolongan Allah Swt, bukan sebab dirinya. Ia, dalam istilah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, selalu hanya bersama Allah Swt dan membuang segala yang selain Allah Swt.

Begitulah….

Makna kedua, ilmu zahir yang diibaratkan “tempurung yang melindungi ilmu di dalamnya” (kerohanian/hikmah). Ciri dari orang yang memiliki ilmu zahir begini ialah ia akan menyeru orang-orang untuk berbuat kebajikan dan kebaikan; melakukan dan menyeru apa-apa yang diperintahkan Allah Swt dan menjauhi larangan-laranganNya.

Termasuk di dalam kelompok ini adalah para pendakwah dan penceramah. Di al-Qur’an, cukup banyak ayat yang menyeru kepada lelaku syiar ini.

Kiranya kini kita bisa memahami korelasi antara ilmu hikmah dengan ilmu zahir ini sebagai suatu kesatuan yang saling menguatkan: ilmu hikmah menjadi isi rohani dan ilmu zahir menjadi washilah bagi “kerja resonansi” ke luarnya.

Ada banyak guru rohani yang kita hormati dan gugu selama ini yang berperan sekaligus sebagai pengamal ilmu zahir ini melalui gerakan-gerakan dakwah dan ceramahnya. Peran tersebut memang merupakan kebutuhan nyata yang sangat besar dalam rangka menyiarkan iman, ilmu, dan amal Islamiyah kepada khalayak luas. Dan ini adalah amaliah yang dipuji oleh Nabi Muhammad Saw –begitu tutur Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Yang menarik sekali di bagian ini ialah pernyataan menukik Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini: “Orang yang berilmu akan berdakwah dengan lemah lembut dan sopan santun. Orang yang jahil akan berdakwah dengan kasar dan marah-marah.” Mari kita mawas diri di titik ini.

Tuturan tersebut sangat benar adanya. Kedalaman ilmu seseorang, beserta pendar-pendar cahaya hikmahnya, memustahilkannya untuk mengambil sikap dan langkah yang bertentangan dengan tuntunan Rasul Saw, yakni akhlak karimah, sekalipun atas nama amar ma’ruf nahi munkar. Dan akhlak karimah tersebut tiada lain adalah kelemah-lembutan dan kesopan-santunan.

Situasi rohani yang kebak cinta dan bijaksana tersebut mustahil dimiliki oleh mereka yang jahil belaka. Memang boleh jadi “orang jahil” tersebut secara lahiriah fasih menukil ayat dan hadis serta sirah Nawabi, plus mampu mengartikulasikannya dengan baik sebagai publik speaker. Namun bila karakter dakwahnya bernada keras, kasar, menghasud, memfitnah, dan sekaumnya, dapat dipastikan bahwa itu bukan teladan akhlak karimah Rasul Saw. Ia tak sedang ber-ittiba’ kepada Rasul Saw, tapi hanya hawa nafsunya.

Orang jahil begini, segera tinggalkanlah.

Ia bukan hanya berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi sekaligus membahayakan orang lain. Mustahil kita bisa menuai “kerja resonansi” positif dari umbaran-umbaran kebencian dan fitnah –sekalipun disampaikan di dalam masjid—yang mutlak bertentangan dengan syariat al-Qur’an dan uswah Rasul Saw.

Makna ketiga, ilmu tentang pengaturan dan peraturan manusia di dunia ini.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani memetakan ketiganya dengan gamblang begini: ilmu ketiga ini ibarat sabut yang melindungi ilmu agama (kedua), dan ilmu agama ibarat tempurung yang melindungi ilmu hikmah (pertama).

Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga memberikan ilustrasi menarik perihal ilmu ketiga ini, yakni sebagai penzahiran (ejawantah lahiriah; manifestasi) sifat Allah Swt yang bernama al-Qahhar (Maha Gagah, Maha Mengatur) di dunia. Mereka yang mengemban amanat ini akan melakukan pengaturan hidup manusia agar keadilan, kedamaian, dan hidup yang sentosa dapat tersebar di muka bumi (negeri) sesuai dengan hukum-hukum Allah Swt.

Suatu pemerintahan (besar/kecil, pusat/daerah) dapat dikatakan menempati posisi ini. Begitupun suatu kepengurusan dalam suatu lembaga atau suatu sistem kerja.

Pesaan berharga dari skema “tiga makna ilmu” menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani bagi kehidupan riil kita hari ini ialah bahwa setiap kita memang didesain oleh Allah Swt untuk menempati maqam masing-masing. Maqam apa pun yang kita lakoni, itu wajib kita yakini sebagai karunia terbaik Allah Swt kepada setiap kita dan sekaligus amanatNya kepada kita sebagai khalifatulLah fil ardh.

Kita bisa membayangkan, umpama semua pelaku maqam ilmu tersebut menjalankan amanatNya dengan menguatkan, plus berbingkai pada rohani-rohani yang cemerlang, niscaya kehidupan akan berjalan dengan baik, aman, dan tenteram.

Ini bukanlah sesuatu yang utopis. Mari jangan pandang ini sebagai ekspektasi muluk-muluk, sebab pada dasarnya ini adalah perintah Allah Swt dan RasulNya.

Jikapun hari ini belum berjalan ideal sedemikian rupa, mestilah situasi tersebut kita pahami sebagai cermin rohani kita yang masih ternodai oleh racun-racun hawa nafsu duniawi. Tugas kita kemudian adalah berjuang membersihkan dan menyucikannya, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah Swt.

Wallahu a’lam bishshawab.

Jogja, 30 Juli 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *