Hilda (Episode 3): Mengungkap Kesucian Seorang Perempuan

Hilda (04): Saat Menemukan Jalan Bersuara

“Sudah sudah tentang Hilda. Sekarang mas mau tanya, kamu jadi ambil S2 di mana?” Wafa mengangguk.

“Aku jadi ambil S2 di Australia, mas,” Jelas Wafa yang sebenarnya dia lebih tertarik membincangkan Hilda dari pada tentang kuliahnya. “Ini Wafa kesini mau minta doa restu Mas Imam, Mbak Amira, Mbah Ruhah juga pak dhe dan bu dhe. Rencana Wafa berangkat bulan depan mas.”

“Lho, kok mendadak. Tak kiro taun ngarep.”
“Iya mas, aku juga masih ingin di sini, tapi Ayah sudah memutuskannya. Tahu sendiri kan kalau sudah ayah perintahkan, ibukpun tidak mampu berkutik.” Gus Imam tersenyum memahaminya.

“Assalamualaikum,” suara salam terdengar.

Wafa dan Gus Imam menjawab salam seorang santri putri yang berdiri di pintu yang sudah terbuka.
Terdengar suara detakan jantung yang entah berasal dari mana, dan itu hanya Wafa yang bisa mendengarnya. Detakan itu semakin terdengar nyaring, saat Wafa benar-benar memperhatikan wajah kuning lansat, hidung mancung dan bibir kecil mungil sedikit berwarna merah muda. Jilbab ungu yang dipakainya semakin membuat perasaan Wafa berantakan. Pandangannya yang menunduk tidak mengilangkan lentikan bulu matanya.

“Ada yang aneh dengan diri saya?” Batin Wafa.

“Nyuwun sewu Gus, ini kitab-kitab yang Hilda pinjam beberapa hari yang lalu.” Kata Hilda sambil meletakkan kitab-kitab tersebut di atas meja, tepat di depan Wafa.
Pandangan Wafa tidak melewatkan gerakan Hilda sedikitpun, Ia berani mencuri pandang jari-jari Hilda yang bersih tanpa pewarna dan hanya kelingkingnya saja yang kukunya sidikit memanjang.
Begitu Hilda pamit dan keluar dari ruangan, Wafa menghela nafas panjang dan berusaha menenangkan batinya yang semakin gaduh dengan perasaan aneh yang belum pernah dia rasakan.

“Sebanyak ini kitab yang dia baca?” tanya Wafa.

“Ya, Mas aja gak yakin kamu sudah membaca kitab-kitab ini.”

“Ehmmmmm…,” Gus Imam tertawa lepas mendengar jawaban adiknya.

“Wah, kalian kalau sedang ngobrol lupa banyak hal. Ayo sudah ditunggu Ibuk sama Bapak untuk makan.” Ajak Mbak Amira, Istri Gus Imam.

“Ada apa dengan jantung saya?” Wafa kembali membatin.
*
Hilda memandangi hujan yang tiba-tiba turun. Rindu pada ibunya dan rindu pada Kareem seperti jumlah tetesan hujan. Hujan kali ini membuat perasaannya tenang. Dia membayangkan tetesan hujan berubah menjadi malaikat-malaikat yang sedang mengalir memberi kehidupan bagi setiap makhluk yang merasakan tetesannya. Ingat betul ketika dia dan ibunya sepulang dari kantor polisi, motor yang dikendarainya mogok dan saat itu hujan turun begitu lebatnya. Hilda dan ibunya tetap berjalan sambil mendorong motornya.

“Ibu kenapa kita tidak berteduh dulu.” Tanya Hilda saat itu.

“Kali ini kita tidak butuh berteduh nak, kita harus tetap berjalan. Ibu pernah mendengar dari seorang Kiai, jika dalam perjalanan hujan turun membasahi tubuh kita, maka itu adalah malaikat-malaikat yang akan mengamini doa-doa kita. Ayo nak, kita berdoa semoga kita bisa melewati hari-hari sulit ini, dan kamu akan menjadi perempuan kuat, tangguh dan memiliki masa depan yang cerah.” Jawab ibunya dengan tetap berjalan melewati hujan itu.

Ah, Ibu adalah belahan jiwa Hilda. Dia tidak bisa menjadi seperti ini jika dia tidak memiliki ibu seperti ibunya. Hilda sangat mencintai ibunya, begitupun Ibu memiliki cinta yang lebih besar untuk Hilda. Seandainya seluruh manusai memiliki cinta yang besar dan suci, maka akan damailah dunia ini. Kemudian dia mulai menuliskan kalimat-kalimat dalam buku hariannya.

Aku mengingat syair dari Jalaludin ar-Rumi:
Karena cinta, duri menjadi mawar
Karena cinta, cuka menjelma anggur segar
Karena cinta, pukulan menjadi mahkota penawar
Karena cinta, kemalangan menjelma keberuntungan
Karena cinta, rumah penjara bagaikan kedai mawar
Karena cinta, tumpukan debu bagaikan taman
Karena cinta, api yang berkobar menjadi cahaya yang menenangkan
Karena cinta, setan berubah menjadi bidadari
Karena cinta, batu keras menjadi lembut bagaikan keju
Karena cinta, duka menjadi riang gembira
Karena cinta, hantu berubah menjadi malaikat
Karena cinta, singa tidak menakutkan seperti tikus
Karena cinta, sakit jadi sehat
Karena cinta, amarah berubah menjadi keramah tamahan

Cukuplah aku mencintai ibu dan ibu mencintaiku. Itu sudah seperti aku menemukan surga dalam hidupku. Tuhan, bukannya hamba ingin membuat-Mu cemburu, lantaran cintaku pada ibu. Tetapi, cinta ini wujud syukurku pada Mu, yang telah menjadikanku terlahir dari rahim seorang ibu yang selalu mencintaiku. Tuhan, cintaku pada ibu adalah isyarat bahwa aku mencintai Mu, sangat sangat mencintai Mu.

“Hilda,” Panggil Andin sambil menghampirinya. Hilda menghentikan goresan tangannya dan menutup buku catatannya.

“Seneng, kamu akhirnya bisa menyampaikan apa yang ada dibenakmu. Oh iya, aku dapat kabar kalau acara dialog keagamaan kemaren dimuat di media online. Katanya banyak yang respon dengan apa yang kamu utarakan kemaren.” Kata Andin. Hilda terkejut, dia tidak tahu jika ada wartawan yang meliputnya.

“Lho memangnya kemaren ada wartawan yang datang?” Andin menggeleng.

“Saya diberitahu Bu Amirah. Beliau bilang waktu itu ada Mas Wafa adik sepupuh Gus Imam ikut melihat proses dialog. Dan dia yang menuliskan beritanya. Katanya sih mas Wafa temannya banyak. Mungkin mas Wafa mengirimkan tulisan itu ke temannya yang punya media online gitu.” Jelas Andin.

“Aku tadi diliatin beritanya sama bu Amirah. Sepertinya Mas Wafa memperhatikan betul pendapatmu, dalam tulisannya pendapatmu itu tertulis lengkap. Ehmm… iya sih aku pernah denger dari mbak mbak pondok, kalau mas Wafa itu memang pinter orangnya.” Hilda hanya mengangguk memahami penjelasan Andin.

“Kamu udah pernah liat mas Wafa kan?” Tanya Andin kepada Hilda. Hilda menggeleng. “Belum”

“Bukannya waktu itu kamu mengembalikan kitabnya Gus Imam, di ruang tamu kan ada mas Wafa?” Hilda coba mengingat-ingat, memang saat itu Gus Imam sedang berbincang dengan seseorang, sepertinya orang sama dengan laki-laki yang dia tabrak di depan pintu Aula, tapi Hilda tidak bisa mengingat jelas wajahnya.

“Iya, tapi aku tidak memperhatikannya, jadi aku belum jelas betul dengan wajah mas Wafa.”

“Ganteng lho daaaaa..” Kata Andin sambil menghayal, dia akan cari perhatian dengan mbak Amirah, sehingga bisa mencuri perhatian Wafa.

“Mulai menghayal ya Ndin?” Ledek Hilda. Andin tersenyum malu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya mudah ditebak.

Tiba-tiba Hilda berfikir, media bisa menjadi sarana untuk dia mengeluarkan suara yang dia simpan selama ini. Iya betul, kenapa aku baru sadar. Jika aku tidak berani bersuara secara langsung, aku bisa menuliskan dan menyebarkannya di media.

“Alhamdulillah……. terima kasih Andin.” Kata Hilda yang tiba-tiba membuyarkan lamunan bahagianya bersama Wafa.

“Hei, kenapa berterim kasih.” Hilda hanya senyum dan mencubit pipi Andin.

“Nggak papa, lanjuin deh lamunan bersama mas Wafa semoga bisa jadi kenyataan.” sambil pergi masuk ke bilik asrama dan kembali meledek Andin yang memang mudah ditebak lamunannya.
Menjelang tidur, Hilda menyempatkan menulis sesuatu di buku hariannya.

Andin memang teman yang baik. Aku sangat menyayanginya seperti saudaraku sendiri. Walapu ide cemerlang itu muncul dari bibir Andin, tetapi sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih pada Mas Wafa. Ponakan Bu Nyai yang menjadi cowok idaman Andin ini berhasil menyadarkanku bahwa saatnya aku menulis untuk dibaca orang banyak.
Narasi, kamu jangan cemburu ya. Aku tetap menulis di barisan barisanmu. Tetapi, aku harus mencoba menuliskan semuanya ditempat lain. Kamu tidak saya tinggalkan, kamu tetap menjadi sahabatku.

Hilda menutup buku hariannya yang dia panggil dengan sebutan ‘Narasi’. Lalu dia memejamkan mata untuk besok pagi yang harapannya lebih cerah dari hari-hari sebelumnya.
*
Gadis itu memasuki rumahnya dengan tubuh yang lemah, isak tangisannya pun terdengar pilu. Dia mencari seseorang yang seolah orang itu bisa menghentikan tangisannya. Langkahnya yang masih tidak teratur membuat kakinya menendang meja kecil yang terdapat vas bunga di atasnya. Terdengar suara pecahan kaca membuat perempuan yang sedang asik memasak lari menuju pusat suara. Dilihatnya sosok gadis yang dicintainnya terduduk sambil tersedu menangis. Segera dia peluk gadis itu.

“Masya Allah nak, kenapa sayang? Ada apa?”

“Ibuuuuuuu……..” Tangisannya pecah seperti vas bunga yang telah hancur berantakan.

“Sayang, Hilda.. ada apa? Kenapa kamu menangis seperti ini?”

Ibu merasa kebingungan, ibu mengingat semalam Hilda pamit untuk menghadiri acara pentas seni dengan teman-temannya dan semalam Hilda mengirim pesan ke ibunya kalau Hilda menginap di tempat temannya
Tangan Ibu tak lelah mengelus kepala Hilda yang masih menangis histeris. Pelukan yang diberikan ibu membuat Hilda lambat laun merasa tenang.

Ibu memapah Hilda menuju kamarnya. Sambil terus bertanya apa yang terjadi pada Hilda. Kenapa pulang dari acara pentas seni sekolahnya dia malah menangis seperti ini. Hilda gadis yang tegas namun murah senyum. Dari tatapan matanya selalu memiliki kebahagiaan. Namun, kali ini Ibu melihat Hilda yang berbeda, tatapan matanya seperti kosong, kebahagiaannya seperti lenyap entah.

Setelah suara tangisan Hilda mulai menghilang, terlihat Hilda mengatur nafasnya dan ingin menyampaikan sesuatu kepada ibunya. Tetapi ibu melihat ada keraguan yang membuat Hilda seperti kesulitan mengatakannya.

“Ada apa sayang? Katakan saja, ibu selalu bersama kamu, ibu akan selalu menjadi pelindung kamu.”
Hilda pun mulai membuka mulutnya. “Ibu, Hilda sudah tidak suci lagi.” Tangisannya kembali terdengar, terdengar lebih nyaring dan seolah rasa sakit yang begitu nyeri terasa dalam hati Hilda.

Nafas ibu seakan terhenti. Apa yang terjadi denganmu nak?
(Bersambung)

*Muyassarotul Hafidzoh, guru Madin Masjid Azzahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *