Episode 1
NOL
Arus air sungai itu menjadi semakin terasa menyentuh kulitnya. Kini, dirinya mulai menghilangkan suara gemericik air, digantikan bayangan-bayangan orang yang dicintainya. Dia semakin melarutkan diri dalam bayangan tersebut. Beginilah ketika dia menuruti kata hatinya, kedamaian yang dia rasakan membuat dirinya lebih tangguh dan kuat.
Dia mendesah, kemudian menarik nafas dalam sedalam perasaannya. Dia mulai menggerak-gerakkan jari kakinya sehingga air sungai tak malu masuk dalam sela-sela jarinya. Sebongkah batu yang dia duduki mulai terasa dingin, mendinginkan pikiran-pikiran dan masa lalunya. Dia bersyukur bisa sendirian dan menikmati ketenangan ini.
Dia membuka matanya yang cukup lama terpejam, lantaran terdengar suara memanggil namanya, suara sayup kemudian semakin keras dan jelas seseorang memanggilnya.
“Hilda…. Ayo sudah sore, nanti bisa tertinggal jama’ah maghrib.” Andin muncul di belakangnya dengan mata sedikit marah. “Ngapain sih, ngelamun apa kamu? Seribu kali aku memanggilmu, masih aja merem.” Hilda tersenyum dan mengambil sandalnya dan mengajak Andin kembali ke pesantren.
SATU
Pesantren Darussalam adalah rumah yang nyaman, rumah yang teduh dan rumah yang penuh harapan. Hilda sangat mencintai seluruh orang yang berada di pesantren ini, khususnya cintanya kepada Pak Kiai dan Ibu Nyai.
“Ketika saya dan ibu tersesat dalam hutan yang penuh dengan iblis, ada cahaya teduh yang memancar dan menuntun kami untuk mendekatinya. Cahaya itu berasal dari bilik pesantren Darussalam.” Begitu yang ditulis Hilda dalam buku hariannya.
“Tidak mudah bagi saya untuk meraih cahaya itu. Seperti berjalan melewati bayangan hitam gelap dan menyeramkan.”
***
Hari ini adalah hari yang dia nantikan. Di mana dia ingin mencurahkan segenap perasaannya yang mendalam. Memang acara Dialog keagamaan santri putri se-kebupaten Jepara diadakan setiap tahun. Tempat penyelenggara berbeda-beda dan tahun ini pesantren Darussalam yang menjadi tuan rumah. Walaupun acara ini ajang latihan para santriwati dalam melakukan ijtihad pengambilan sebuah hukum, akan tetapi peserta dialog keagamaan sungguh-sungguh menyiapkan jawaban-jawaban berdasarkan dalil-dalil yang dipelajari sebelumnya.
Hilda masih terlihat tenang ketika pertanyaan pertama dilayangkan. Kemudian ketika mulai masuk pada pertanyaan kedua perasaan Hilda mulai resah. Hatinya bergemuruh, gaduh, badannya mulai berkeringat dingin. Rasa kepercayaan dirinya tiba-tiba luntur saat beberapa peserta memberi pandangan tentang jawaban dari pertanyaan itu.
Memang sebenarnya pertanyaan ini dilayangkan oleh salah satu kakak kelasnya Hilda. Dia adalah mahasiswa semester akhir yang aktif dalam organisasi keperempuanan. Karena pertanyaan inilah, Hilda menyiapkan dengan sekuat tenagannya untuk belajar. Sering dia seharian di perpustakaan kampus untuk mengumpulkan referensi. Sering pula menghabiskan waktu luangnya membaca kitab-kitab di sudut mushollah pondok atau di balik jendela biliknya.
Saat di perpustakaan Hilda menemukan data mengerikan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. Sepanjang 2010 hingga 2011, rata-rata setiap dua jam ada tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual, yang berarti ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.
“Bagaimana, apakah ada yang ingin berpendapat lagi terkait persoaalan ‘Apakah perkosaan hukumnya sama dengan perzinahan?” moderator kembali mengulang pertanyaan kedua. Ada salah satu peserta yang mengangkat tangannya.
“Seperti yang sudah disampaikan teman-teman yang lainnya bahwa ada persamaan antara perkosaan dan perzinahan. Memang dalam perkosaan ada unsur penolakan dari perempuan, tetapi mungkin juga karena perempuan itu salah.” Katanya, Hilda seketika langsung memandang peserta tersebut dengan mata yang penuh amarah.
“Dalam Islam kita sebagai perempuan seharusnya menggunakan pakaian yang tertutup sehingga tidak mengundang syahwat laki-laki. Rasulullah bersabda:
Shinfani min ahli al-nari lam arahuma… wa nisaun kasiyatun ‘ariyatun mailatun ruusuhunna kaasimatin al-bukhti al-mailati la yadkhulna al-jannah wa la yajidna riĥaha
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: ……Para wanita yang berpakaian tapi telanjang (tipis atau tidak menutup seluruh aurat), berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya.” Hadist Riwayat Abu Dawud.
Ada hadist lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
”Tidak diterima shalat perempuan yang sudah haidh (balighah) kecuali dengan menggunakan kerudung.”Hadist Riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumullah.
Jadi, jika perempuan yang demikian, ya hukumnya sama saja dengan mereka berzina,” jelas Hasanah, salah satu peserta dialog agama dari pesantren lain.
Perasaan Hilda semakin memuncak, namun mulutnya tak kunjung terbuka. Seakan ada yang menahannya, dia takut, dia bergetar dan keringat selalu mengucur deras dari tubuhnya.
“Saya berpendapat sama dengan Mbak Hasanah. Terkadang perkosaan itu terjadi karena kesalahan dari perempuan itu sendiri. Kita sebagai perempuan tidak boleh bersolek berlebihan, kecantikan kita hanya kita dan suami kita yang boleh menikmatinya. Jika kita bersolek berlebihan apalagi dengan tidak menutup aurat maka kita seolah-olah membiarkan orang lain menikmati kita. Perempuan yang demikian sama saja dia menjadi sebab utama perbuatan zina terjadi. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam al-Qur’an dalam surah An-Nur ayat 19 bahwa sesungguhnya orang-orang yang menginginkan tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Bunyi ayatnya sebagai berikut innalladzina yuhibbuna an tasyi’a al-fahisyatu fi al-ladzina amanu lahum ‘adzabun alimun fi al-dunya wa al-akhirati. Begitu menurut pendapat saya, jadi ada persamaan hukum antara perkosaan dan perzinahan.”
Tak terasa Hilda meneteskan air matanya. Betapa menderitanya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Mereka menanggung beban yang berat, bukannya dilindungi tetapi dicap sebagai penyebab kekejian tersebut.
Ketika perempuan meminta keadilan, mereka kebanyakan menyerah untuk memperjuangkan keadilan. Bagaimana tidak, hukum menuntut mereka mendatangkan saksi dan bukti. Dan sangat sulit bagi perempuan korban perkosaan untuk mendatangkan saksi juga bukti. Kejadian keji biasa dilakukan di tempat sepi, atau bahkan perempuan tidak sadarkan diri. Tidak cukupkah diri mereka yang tersakiti menjadi saksi utama atau bukti utama kejahatan tersebut?
Namun sebaliknya, laki-laki sebagai pelaku pemerkosa dapat dengan mudah lolos dari hukuman. Dengan sulitnya pembuktian, para pelaku perkosaan tidak jera, mereka merasa aman dari hukum sehingga memungkinkan untuk mengulangi perbuatannya.
Andin si moderator sesekali memandang Hilda dari jauh, dia menunggu Hilda ikut bersuara. Andin sebagai teman sekamarnya tahu bahwa selama berbulan-bulan sebelum acara ini Hilda sering terjaga di malam hari untuk membaca buku dan kitab-kitab. Apalagi menjelang acara ini Hilda selalu mengigau dan bermimpi buruk.
“Sepertinya saya belum mendengar pendapat dari pesantren Darussalam untuk persoalan ini.” Kata Andin.
Salah satu peserta dari pesantren Darussalam mengangkat tangannya.
“Entah kenapa saya mendengar penjelasan teman-teman yang lain saya kurang setuju. Kenapa tiba-tiba kita membahas perbedaan perkosaan dan perzinahan malah melebar menjadi persoalan perempuan. Apalagi ada kalimat perempuan menjadi penyebab terjadinya perilaku tersebut.”
Belum selesai Afwa berpendapat tiba-tiba ada yang menyela, “Maaf, saya menyimpulkan pendapat ini bukan hanya pendapat semata, akan tetapi saya juga menyampaikan sumber-sumbernya.”
“Iya Mbak, akan tetapi pendapat anda…”
“Sebutkan sekali lagi sumber-sumber yang anda sampaikan!” Tiba-tiba Hilda membuka suaranya, Afwa menghela nafas lega, begitupun Andin. “Akhirnya, dia berani bicara juga.” Bisik hatinya.
“Itu ada hadis dari Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumullah, juga sudah jelas dalam al-Qur’an.” Kata Hasanah.
“Mohon Mbak Hasanah menjelaskan sumber yang jelas, seperti hadist tersebut ada dalam kitab apa? Posisi hadist kuat atau lemah?” kata Andin selaku moderator.
“Bukan hanya itu, pastikan juga asbabul wurudnya. Untuk ayat al-Qur’an yang sudah dikutip mohon jelaskan juga asbabunnuzulnya.” Kata Hilda dengan tatapan tajam. Hasanah dan juga peserta lain sedikit terkejut karena suara Hilda cukup lantang dengan suara nafasnya yang tegang dan tatapannya yang sedikit menakutkan.
Gus Imam putra Ibu Nyai sedari tadi mengamati dialog tersebut juga sebenarnya sudah tidak sabar dengan apa yang ditemukan Hilda selama ini. Karena acara ini Hilda begitu semangat belajar, bahkan beberapa kitabnya dipinjam. Sering juga dia mengajak dialog terkait persoalan ini. Gus Imam tahu betul kemampuan Hilda yang luar biasa dalam teks dan juga hafalan. Hilda anak muda yang mampu mengingat apapun dengan baik.
Afwa mencoba membisiki Hilda, “Da, jaga emosimu ya. Sampaikan apa yang kamu ketahui tapi dengan tenang, oke.” Hilda mengangguk dan mencoba mengatur nafas kemudian memulai menata kata-kata.
*Muyassaroh Hafidzoh, penulis kelahiran Cirebon Jawa Barat. Menyelesaikan Magister di Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini, selain aktif di PW Fatayat NU DIY dan MTs Binaul Ummah Pleret Bantul, juga aktif ngajar di TPA Masjid Azzahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul.