Hijrah Awal Perjalanan Rohani yang Panjang.
Oleh: Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY
Saya terkesima oleh tulisan seorang kawan dari Pesantren Muayyad, Solo, Gus Irfan. Ya, seaneh apa pun perilakunya selama ini, pada uraian perihal “kesatuan awal dan akhir” ini, saya menyepakatinya.
Seseorang berkata padanya bahwa sejak sering mengenakan sarung produksinya, Lar Gurda, ia dikaruniai keturunan. Ia berterima kasih kepada Gus Irfan.
Dasar wali sarung yang aneh, Gus Ifran memperpanjang urusan tersebut dengan balik bertanya khas nyelekutise, “Lho, apa hubungannya sama saya?”
Orang itu berkisah bahwa ini berkah dari sarung yang diproduksi di pesantrennya. Gus Irfan lalu berkhutbah –sesuai hobinya—dan inilah poin yang ingin saya sharing kepada Anda –dalam bahasa saya, sebab bahasa tulisan Gus Irfan belepotan.
“Seyogianya segala apa yang terjadi kepada kita diyakini selalu sebagai ketetapanNya, pilihanNya, yang terbaik buat kita. Jika dulu Anda belum dikarunia anak, dengan sejuta ikhtiar, lalu belakangan Anda diberiNya amanah berupa anak, dan ‘kebetulan’ belakangan rajin mengenakan sarung produksi saya, janganlah seluruh proses semenjak awal yang amat panjang itu ditiadakan, dinegasi, dengan pungkasan ‘kebetulannya’ saja. Seluruh sowan Anda kepada para kiai, sesepuh, guru, doa-doa mereka, serta doa Anda dan keluarga sendiri, plus segala ikhtiar Anda mulai dari pergi ke dokter hingga tabib, adalah mata rantai bagi keterjadian kun fayakunNya Swt. Boleh jadi, dulu belum dikabulNya karena ada hal yang ‘belum terbaik’ buat Anda. Lalu ketika kini dikabulNya, inilah momen terbaik buat Anda. Tak ada yang tahu, kecuali Allah Swt, atau mungkin kelak lah Anda baru akan mengetahui hikmahnya…”
Well said, gumam saya, tumbenlah lempeng omongan wali sarung ini.
Begitupun hijrah, Saudaraku-saudaraku tercinta.
Sebagaimana pengertian taubat, hijrah adalah sebuah langkah awal bagi proses penjernihan rohani. Ibaratkan memasuki sebuah rumah, kita telah melindapi pintunya. Masuknya kita ke pintu rumah tersebut, yakinilah sebagai karuniaNya, rahmatNya. Itu pijakan hakikinya. Ihwal jalannya berupa apa saja dan melalui apa saja, itu hanya washilah.
Maka janganlah pula washilah ini lalu disekat-sekat mesti begini atau begitu rupa. Jangan ia dibatasi harus lewat guru atau ustdz ini atau itu, metode begini atau begitu, dan sebagainya. Segala bentuk jalan dan metode itu adalah ketakterbatasan karunia dan rahmatNya untuk memasuki pintuNya. Dari pintu manapun, seyogianya ia baik semua. Bahkan umpama ia berbentuk suatu insiden, tragedi, kejatuhan, atau kemaksiatan.
Kemudian, mengertilah bahwa Anda baru saja menapaki pintu itu, atau selangkah di baliknya. Ya, baru segitu. Jika kini Anda gemar ke masjid untuk salat jamaah lima waktu, sebegitu nyatanya kepatuhan ibadah Anda pun, tetap letakkanlah itu sebagai langkah pertama saja di balik pintu itu.
Adapun rumah besar itu, kerahmatan, karunia, dan kerahimanNya, adalah keluasan rumah itu secara keseluruhan, dari atas hingga bawah, kanan atau samping, depan atau belakang, luar dan dalam, yang ternampak hingga yang tersembunyi di pondasi yang tertanam di tanah, dan segalanya.
Inilah bangunan bernama rumah rohani itu: ia adalah keseluruhan, kemenyeluruhan, dari awal hingga akhir. Mustahil kita menyebut rumah bagus kepada bangunan yang tiada atapnya, tiada dapurnya, tiada sumurnya, dan sebagainya. Semuanya, sekali lagi, adalah kemenyeluruhannya (wholeness).
Permenungan batiniahnya buat kita semua ialah bukankah ini berarti proses kita memasuki, mengenali, mengakrabi, hingga menyatu dengan seluruh bagian rumah itu adalah perjalanan tanpa henti hingga akhir hayat?
Ya, seyogianya begitu.
Kita secara alamiah lalu membutuhkan guru dalam mengarungi perjalanan rohani ini. Guru rohani lah yang akan mendampingi, memberikan pencerahan, pengoreksian, pengarahan, pengamalan, hingga doa-doa, yang keseluruhan hal tersebut pula merupakan rangkaian kesatuan bagi tegaknya bangunan rohani kita.
Kita tidak pantas untuk mengatakan betapa rajinnya kita salat lima waktu di masjid, plus salat-salat sunnah, sebagai keparipurnaan rohani kita. Jangan begitu. Boleh saja kita telah begitu fasih dengan rangkaian syariat amal-amal saleh yang kita dawamkan selama ini, tetapi nusykil bagi kita untuk menyatakannya sebagai “final rohani” diri. Jika kita terjatuh pada proklamasi demikian, walaupun di dalam hati sendiri, apalagi sampai diumbar ke karamaian, cemaslah betapa itu merupakan isyarat nyata bagi terhijabnya hati kita oleh amal-amal saleh kita sendiri.
Hati yang terhijabi oleh apa pun, termasuk amal-amal saleh, takkan sampai ke hadiratNya, lalu bagaimana ia logis meruahkan hikmah-hikmah kepada ketawadhuan diri di hadapanNya dan manusia lainnya?
Hati yang terhijabi takkan meletakkan Allah Swt sebagai tawajjuh diri. Padahal, sejatinya, segala apa yang ada pada diri, termasuk amal-amal saleh diri, mesti diyakini dan dipandang selalu hanya mungkin terejawantah berkat karuniaNya.
Lantas, karena kita rajin salat Tahajjud, kita menjadi lalai kepada hakikat karuniaNya ini, lalu kita proklamasikan diri sebagai yang rajin, yang saleh, yang takwa, yang beriman, yang bersih hatinya, yang benar, yang ahli ibadah. Kita sejatinya sedang tak menghadap Allah Swt dalam amal-amal saleh kita bahkan; yang kita hadap selalu adalah pongah sumir terhadap kekuatan dan kemampuan diri, beserta seluruh embel-embel kemuliannya, dan itulah bajakan hawa nafsu dan bujuk rayu setan, dan itulah dampak buruk hijab rohani.
Mengapa ada orang yang rajin puasa sunnah, tetapi sombong kepada orang lain yang tak mengamalkan amalannya? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang yang rajin sedekah, tetapi rajin sekali membersitkan pikiran pada dirinya bahwa jika ia tak bersedekah, maka akan kalaparan lah orang-orag itu? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang yang rajin salat lima waktu, di masjid, jamaah tepat waktu, tetapi menumpuk harta terus-menerus hingga kepada sanak saudaranya pun ia enggan menjulurkan tangan yang sangat mungkin untuk diulurkannya? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang yang rajin mengaji al-Qur’an, tiap lima waktu, sepuluh hari sekali khatam, bahkan hafal sebagian ayatnya, kerap menukilnya, menstatuskannya, tetapi ia memandang orang tuanya yang ndeso dan pas-pasan sebagai pelaku amal kesesatan karena tak sesuai dengan amalan-amalan yang didapatnya dari guru-gurunya di sosmed dan kota besar? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang yang lisannya karib betul dengan kalimat thayyibah macam alhamdulillah, subhanallah, masya Allah, dll., tetapi di detik yang sama ia tak pernah menghadapkan kelimpahan rezekinya kepada kehendak dan karunia Allah Swt, tetapi kepada keberkatan amal-amal salehnya? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang yang ibadahnya secara lahiriah sungguh tampak taat dan istiqamah, tetapi gembira hati ia bila ada tetangganya yang ditimpa suatu derita dengan mengatakan “Itulah bala’ Allah Swt kepadanya akibat dia jauh dariNya.”? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang-orang yang ahli ibadah, syiar Islam ke mana-mana, bahkan diiikuti oleh jubelan jamaah yang menghormati dan memuliakannya, tetapi enteng saja dia berkata di mimbarnya bahwa bencana alam yang terjadi di sana adalah bala’ Allah Swt kepada orang-orang yang dikutuk oleh Allah Swt akibat kemamsiatan-kemaksiatan mereka? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Mengapa ada orang yang bisa berkata “Inilah yang benar, sesuai maksud Allah Swt dalam al-Qur’an dan sunnah RasulNya Saw, sehingga yang tidak seperti ini, seperti yang Anda amalkan, adalah kesalahan, keburukan, dan kesesatan!”? Itulah hijab rohani –kini Anda telah tahu jawabannya.
Dan lain sebagainya.
Pada semua tamsil tersebut, kita menyaksikan suatu masalah rohani yang seyogianya makin tahun makin teruraikan dari hati kita, yakni “tegaknya ego diri” sebagai yang benar, yang baik, yang alim, yang saleh, yang takwa, yang hamba Allah Swt, yang umat NabiNya Saw, padahal sungguh kita mengetahui betapa mazhab-mazhab Islam amatlah berjibun sejak dahulu kala, bahkan telah memijar sejak masa para sahabatnya Saw, yang semuanya beraras pada ikhtiar rasional manusia untuk memahami ajaran-ajaranNya dan RasulNya Saw; dan padahal kita memahami bahwa karunia Allah Swt dalam menghidayahi dan menolong siapa pun adalah mutlak kehendakNya, yang tak boleh kita batas-batasi dengan definisi dan doktrin apa pun; serta padahal kita telah mendengar begitu banyak riwayat perihal Maha KasihNya Allah Swt kepada semua makhlukNya tanpa kecuali.
“Tegaknya ego diri” itu, entah karena selubung ilmu dan amal, jika terus dibiarkan, hanya akan menyeret kita kepada peniadaan Allah Swt. Allah Swt lalu tak terpandang sebagai Yang Maha Mengatur, Maha Menguasai, Maha Berkehendak, Maha Memutuskan, Maha Menghidayahi, dan Maha Welas Asih. Yang terpandang hanyalah “tegaknya ego diri”. Kita, pada situasi demikian, sejatinya telah melanggar hakikat tauhid itu sendiri –ikrar negasi diri dengan semata menegakkan Allah Swt dalam segala hal tanpa kecuali.
Bagaimana bisa kita menyebut namaNya tetapi hati kita di detik yang persis malah merayakan diri ini, bukanNya?
Bagaimana bisa kita menuliskan takbir Allahu Akbar, tetapi bukan Allah Swt yang nampak di mata dan hati kita, melainkan kobaran diri ini? Siapa yang sebenarnya kita akbarkan? Hawa nafsu dirikah, egoisme dirikah, klaim kebenaran dirikah? Lalu ke mana Allah Swt Yang Maha Esa?
Ini sungguh pelanggaran serius terhadap kehakikian tauhid. Dan kita tahu bahwa siapa yang tidak haq tauhidnya, dalam artian sederhana tidak menegakkan semata Allah Swt, ia telah terjatuh pada kesyirikan.
Sungguh ganjil sekali bila kita malah melakukan kesyirikan kepadaNya dengan menyembah ilmu diri, amal diri, benarnya diri, sucinya diri, dengan mengatasnamakan NamaNya, bukan?
Ada sebuah kisah lucu di sini.
Seseorang sedang salat sunnah di sebuah masjid. Belum selesai ia salat, muncul seseorang lain yang mondar-mandir di depannya, hingga ia merasa terganggu. Berkali-kali orang yang salat ini membentangkan tangannya sebagai isyarat kepada orang lain itu untuk tidak melintas di depan sajadahnya. Tapi, orang lain itu tetap saja melintas ke sana-sini.
Usai salat, marahlah orang ini. Ia bertanya dengan keras kepada orang lain itu: “Kamu mengganggu kekhusyukan salatku! Mengapa kamu melakukan itu di depan orang salat? Apa kamu tak tahu bahwa itu terlarang?”
Orang yang mondar-mandir tadi menyampaikan permohonan maaf atas perbuatannya, dan memungkasi kalimatnya dengan ucapan, “Cintaku kepada Laila telah membuatku lupa bahwa aku mondar-mondar di depan Anda yang sedang salat. Cintaku telah membuatku lupa segalanya. Sementara Anda yang salat menghadapNya awas sekali kepada saya, ya?”
Kisah ini tentulah mesti kita pahami sebagai inpirasi hikmah. Kita bisa menarik permenungan begini: “Mengapa salat kita tak mampu menghantar kita untuk mencapai derajat Cinta yang membuat kita lupa pada segalanya saking intimnya kita kepada Sang Kekasih, Allah Swt?”
Beginilah kiranya tamsil-tamsil perihal perjalanan panjang rohani kita untuk menggapai derajat kejernihannya, kejernihannya lagi, dan kejernihannya lagi. Ia adalah proses panjang seumur hidup, kemenyeluruhan, pada ayat-ayat qauliyahNya hingga ayat-ayat kauniyahNya, pada ibadah syariatNya hingga pada ibadah sosialnya, pada yang tersirat hingga yang tersurat, pada yang mauwjud hingga simbolis, dan pada yang lahiriah hingga batiniah.
Orang yang baru sebulan bisa mengemudi mobil, tentulah masih membutuhkan pelbagai tuntunan kaifiyat lahiriah sebegitu intensnya. Itu bisa dimaklumi. Orang yang telah biasa mengemudikan bis selama lima belas tahun terakhir, niscaya telah selesai dengan sekat-sekat kaifiyat itu. Itu kealamiahan pula.
Ini tidak saya maksudkan sebagai hasrat meninggalkan tata cara, kaifiyat, apalagi syariat. Tidak. Ini hanya pemaknaan simbolisme betapa seiring waktu, seiring perjalanan hidup, pengalaman, bertambahnya usia, penyerapan, permenungan, pembelajaran, dan tempa rasa dan perasaan, tafakkur, tadabbur, dan tasya’ur, seluruhnya mesti senantiasa dipahami dan dilakoni sebagai suatu kesatuan proses yang memungkinkan kita melangkah lebih jauh, jauh lagi, dan jauh lagi menuju kepada hadiratNya. Tidak ada yang berdiri tunggal dalam rangkaian proses perjalanan panjang itu.
Maka kiranya kita kini memiliki dua ikhtiar yang mesti senantiasa kita denyarkan dalam hati: pertama, berjuang untuk terus-menerus menambah ilmu, amal, pemikiran, dan permenungan; kedua, tak putus-putus memohon kepadaNya agar diberikan hidayah, taufik, bimbingan, rahmat, karunia, dan pertolonganNya agar kita bisa terus menetap dalam jalanNya, agamaNya, dan keteladanan RasulNya Saw. Inilah proses dan mekanisme muhasabah diri sepanjang hayat –semoga Allah Swt kelak lalu mengaruniakan husnul khatimah kepada kita semua bila telah tiba waktunya.
Ihwal dalam lika-liku perjalanan panjang hingga akhir hayat itu kita menyaksikan pelbagai perbedaan, ragam kamajemukan, di antara kita, hadapkanlah itu semua semata kepada kehendak dan ketetapanNya. Kemampuan kita untuk bersikap demikian legawa, tetap mengutamakan akhlak karimah, mesti selalu kita jadikan parameter evaluatif bagi telah seberapa ikhlas dan tawakalnya kita kepadaNya semata. Dan, naik-turunnya kondisi rohani kita di deraian perjalanan panjang ini adalah kealamiahan semata, yang mestilah selalu kita bingkai dengan spirit pembelajaran.
Terakhir, mari yakini selalu bahwa Allah Swt yang Maha Mengetahui, Maha Luas, dan Maha Kuasa adalah Dzat yang bebas-sebebasnya Maha Bebas untuk menghendaki, memutuskan, menetapkan, dan menterjadikan apa saja; entah itu sesuai dengan pakem doktrin syariat yang kita yakini atau tidak dan entah pula itu masuk akal atau tidak. Janganlah membelenggu Kemahaan Allah Swt dengan akal pikiran kita, juga dengan amal syariat yang kita pahami, yakini, dan amalkan.
Allah Swt adalah sebenar-benar Sang Maha Suci Yang Maha Bebas.
Wallahu a’lam bish shawab.
Yogyakarta, 10 Oktober 2019