Jauh-jauh hari sebelum mengenal tokoh besar bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saya lebih dulu mengenal kiai bernama Hamim Tohari Djazuli atau akrab disapa Gus Miek Kediri. Perkenalan saya pada Gus Miek inilah yang mengantarkan saya mengenali– melalui pembacaan buku biografi tentunya– sejumlah tokoh lain seperti Gus Dur dan Mustofa Bisri (Gus Mus).
Gus Miek adalah tokoh pertama yang saya kagumi bahkan sebelum usia saya baligh. Pemicunya, berbagai macam cerita,buku biografi, ulasan hingga manaqib berisi kisah-kisah tentang kiprah Wali Modern itu yang berada di rumah. Waktu itu, saya bisa dengan mudah menemui bacaan tentang Gus Miek. Kebetulan, Bapak juga memiliki bacaan-bacaan tentang Gus Miek. Sehingga, banyak buku referensi yang membahas Gus Miek di rumah saat itu.
Kata Bapak, Gus Miek adalah tokoh yang harus saya kenal kelak jika saya sudah dewasa. Mendengar ucapan itu, saya seperti tertantang. Tak perlu menunggu dewasa, saya yang kala itu sudah lancar membaca, langsung penasaran dan mulai membaca beberapa kisah tentang Gus Miek melalui buku yang sudah ada di rumah. Entah apa yang membuat saya sangat suka membacanya. Diam-diam, saya mulai melahap buku-buku koleksi bapak itu secara sembunyi-sembunyi.
Kesukaan saya membaca kisah-kisah sufistik sebenarnya bukan hal aneh. Di usia 9 tahun, tepatnya saat kelas 3 SD, Bapak sudah kerap mengajak saya melakukan perjalanan ziarah. Atas ajakan Bapak, sebagian besar makam Wali Sanga (Jawa Timur) sudah pernah saya kunjungi di usia Sekolah Dasar (SD), sekitar 10 tahun jika tidak salah. Kunjungan yang tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali.
Bukan hanya lokasi dan tempat-tempat ziarah masa kecil itu yang tetap terpatri kuat pada ingatan saya. Cara menuju lokasi ziarah juga menjadi sebuah ritual yang tak bisa saya lupakan. Bapak selalu mengajak saya berjalan kaki ke tempat-tempat itu. Saya akan selalu ingat ketika Bapak meminta saya berjalan kaki dari Kota Tua Surabaya menuju makam Sunan Ampel atau berjalan kaki dari perempatan Sentolang sebelum ke makam Maulana Malik Ibrahim Gresik atau berjalan kaki dari Perempatan Kebomas ke makam Sunan Giri Gresik. Tak seghaib yang saya kira. Alasannya sangat ilmiah, berjalan kaki melemaskan otot dan peredaran darah. Sehingga, bisa betah duduk lama-lama saat di tempat ziarah.
Proses perjalanannya pun tak terlalu jauh memang, tapi, di usia saya yang belum disunat kala itu, semacam ada yang ingin disampaikan Bapak kepada saya. Pernah suatu kali Bapak meminta saya mengganti sandal Hari Raya yang baru dia belikan dengan sandal jepit biasa sesaat sebelum berjalan menuju makam Sunan Ampel. Batin saya, ini cara terbaik agar sandal tidak hilang dan kalaupun hilang, tentu bukan sandal yang baru dia belikan.
Namun, pemikiran itu tidak sepenuhnya benar. Kelak, ketika saya masuk SMP, saya baru tahu bahwa apa yang diajarkan Bapak pada saya adalah laku prihatin dan ikhlas. Itu pun bukan bapak yang memberitahunya. Tapi teman Bapak, orang-orang yang berziarah dengan cara yang sama.
Pertamakali saya mengikuti Bapak berziarah, sesampainya di tempat ziarah–seringkali malam hari– Bapak langsung menyuruh saya untuk tidur lalu Bapak pergi entah kemana, meninggalkan saya sendirian. Bapak hanya meminta saya tidur dan tidak berpindah tempat. Sebelum azan subuh berkumandang, bapak sudah kembali membangunkan saya.
Pada ziarah yang lain, ketika saya sudah bisa membaca Al Qur’an, sesampainya di lokasi ziarah, Bapak meminta saya membaca surat Yasin sebanyak 3x. Seperti biasa, Bapak pergi entah kemana, sebelum bacaan ketiga selesai saya baca, Bapak sudah berada di dekat saya: ikut menyimak bacaan. Sesekali membenarkan.
Kebiasaan-kebiasaan masa kecil seperti itulah yang membuat saya merasa cocok membaca kisah-kisah tentang Gus Miek. Kisah yang–bagi sebagian orang–tidak rasional. Ada sejumlah “kehebatan” –istilah masa kecil saya untuk menyebut karomah yang dimiliki Gus Miek—putra Kiai Jazuli Utsman itu dari buku yang saya baca.
Gus Miek adalah wali yang tak menampakkan kewaliannya. Kiai yang tak pernah menggunakan atribut kiai. Dalam kesehariannya, Gus Miek lebih kerap menggunakan kaos oblong dan berkacamata hitam: seperti preman. Saat pertamakali melihatnya, dari foto tentunya, saya memang sempat bertanya pada Bapak, kenapa Gus Miek jarang memakai kopyah? (waktu itu, di tempat saya tinggal, kopyah menjadi label moralitas seorang lelaki). Saya mendapat jawaban bahwa Gus Miek adalah Kiai Istimewa.
Setelah saya disunat, sekitar kelas 4-5 SD, Bapak memperkenalkan saya pada Dzikrul Ghofilin (pengingat mereka yang lupa)—-sebuah majelis milik Gus Miek—-melalui sebuah poster. Pada poster itu, ada foto Gus Miek yang berpenampilan preman. Saking senangnya, poster itu saya tempel di belakang rak buku. Sejak saat itu, saya mulai membaca kisah-kisah dan keteladanan tentang Gus Miek secara terbuka dan tanpa bersembunyi.
Ada banyak kisah menarik tentang karomah yang dimiliki Gus Miek. Hanya, karena keterbatasan pengetahuan saya, tentu tidak semua bisa saya ceritakan dalam tulisan ini. Catatan ini terbatas pada kisah-kisah yang berhubungan dengan sebuah cerita pendek (cerpen) karya KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Sebuah cerpen yang bagi saya, sangat memiliki peran penting dalam perjalanan religiusitas saya dalam mengenal karya sastra.
Kenapa Gus Miek berpenampilan nyeleneh, menggunakan kaos oblong dan celana jeans? Dari sejumlah keterangan yang saya baca, itu untuk menghapus batas dikotomi sosial dari orang-orang yang dia temui. Mengingat, Gus Miek adalah ulama yang kerap bergaul dengan orang-orang susah. Seperti tukang becak hingga gelandangan. Bahkan, Gus Miek kerap berdakwah di tempat kurang baik seperti klub malam dan tempat perjudian.
Terkait penggunaan kacamata hitam yang menjadi identitas Gus Miek, itu bukan tanpa alasan. Gus Miek diberi kelebihan bisa melihat nasib dan perjalanan hidup orang yang dia temui. Tidak jarang, beliau melihat orang-orang yang kelak hidupnya kurang beruntung. Di saat itu, beliau langsung menangis. Agar tak terlihat usai menangis, beliau menggunakan kacamata hitam.
Ingatan-ingatan saya pada pembacaan masa kecil tentang Gus Miek kembali muncul ketika saya membaca cerpen karya Gus Mus berjudul Gus Jakfar beberapa tahun lalu saat saya masih sekolah. Kisah itu termaktub dalam buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi. Pertamakalinya, bahkan saya hanya mendengar rekaman pembacaan cerpen itu melalui mp3.
Tokoh utama dalam cerita itu adalah Gus Jakfar, putra Kiai Saleh, pemilik salah satu pesantren. Gus Jakfar memiliki kelebihan berupa kemampuan membaca tanda. Dia bisa melihat nasib seseorang hanya dengan melihat kening orang tersebut. Hampir seluruh pembacaannya selalu benar hingga suatu saat ketika dia bertemu dengan sosok kiai sepuh bernama Kiai Tawakal (Mbah Jogo), kemampuannya itu terganggu.
Saat membaca kisah ini, memang pikiran saya terlempar pada sosok Gus Miek. Namun, baik karakter Gus Jakfar maupun Kiai Tawakal (dalam kisah fiksi tersebut), semuanya memiliki sisi kelebihan seperti dimiliki Gus Miek. Ada beberapa sifat dan kecenderungan yang saya tangkap, seolah-olah menggambarkan sosok Gus Miek dalam kisah itu.
Pertama, meski usia Gus Jakfar masih muda, pengetahuan dan “umur” nya lebih tua dari ayahnya: Kiai Saleh. Tak jarang, ini membuat Kiai Saleh boso saat berbicara pada Gus Jakfar yang notabene adalah putranya sendiri. Ini sama dengan Gus Miek. Ayah Gus Miek, Kiai Djazuli Utsman boso saat berbicara pada Gus Miek. Itu tidak pernah dia lakukan pada anak-anaknya yang lain selain Gus Miek. Sebab, meski secara usia Kiai Djazuli lebih tua, namun dari segi keilmuan, Gus Miek lebih tua dari ayahnya sendiri.
Kedua, dalam cerpen Gus Mus tersebut, Gus Jakfar bisa menebak dan membaca tanda-tanda orang yang ditemuinya. Tanda-tanda tentang nasib dan riwayat kehidupan hingga akhir kehidupan. Ini sama dengan Gus Miek. Gus Miek memiliki kelebihan bisa membaca nasib sesorang. Sehingga, Gus Miek kerap menangis saat menemui orang yang nasibnya kurang beruntung. Dan itu menjadi alasan beliau selalu menggunakan kacamata hitam.
Dalam cerpen tersebut, karakter Gus Miek tidak hanya tertempel pada Gus Jakfar saja, namun, tokoh Kiai besar yang ditemui Gus Jakfar, yakni Kiai Tawakal juga mengandung karakter Gus Miek. Dalam cerita itu, dikisahkan Kiai Tawakal berdakwah dan berteman dengan orang-orang susah di tempat-tempat yang kurang baik seperti warung remang-remang. Tentu, itu sesuai dengan karakter Gus Miek yang suka berdakwah di tempat-tempat hiburan.
Di sinilah letak keunikan cerpen tersebut. Bagi saya, sosok Gus Miek hadir pada dua karakter sekaligus. Karakter Gus Jakfar dan karakter Kiai Tawakal.
Barangkali tulisan ini terlalu panjang dan membingungkan. Apapun itu, dengan menulis tulisan ini, saya sedang ingin mengingat masa-masa ketika Kiai atau Ulama adalah tokoh menyejukkan yang selalu menebar aura syahdu dan menentramkan. Bukan yang (ngaku-ngaku) ulama dan suka berteriak di jalanan.
Penulis: Wahyu Rizkiawan, kader muda NU Bojonegoro.