Hari Arofah yang Mengesankan Kiai Hamid Pasuruan.
Perbedaan dalam menentukan wukuf di hari Arofah, 9 Dzulhijjah, sudah terjadi sejak dulu. Bukan perbedaan terkait tanggal 9 Dzulhijjah antara Arab dan Indonesia, tetapi di Arab sendiri juga ada perbedaan terkait itu.
Pada tahun 1975, jama’ah haji asal Indonesia sedang ribut di Mekah. Ijtihad para ulama’ Indonesia saat itu wukuf di Arofah dilaksanakan pada Jum’at, sementara pemerintah Arab Saudi menetapkan wukuf pada hari Kamis. Konon, pemerintah Arab saat itu tidak ingin membayar gaji dobel buat pegawainya.
Karena ingin wukuf hari Jum’at, dan itu artinya adalah haji akbar, jama’ah haji asal Indonesia ingin menetapkan wukuf sendiri, tidak mau mengikuti pemerintah Arab Saudi.
Akhirnya, para ulama’ dan jama’ah haji saat itu menemui KH Hamid Pasuruan, konsultasi terkait perbedaan ijtihad ini.
“Begini ya. Yang enak itu ikut pemerintah, dapat dua pahala. Pahala taat pemerintah, dan pahala taat kepada Allah. Jadi, wukuf hari Kamis saja,” demikian nasehat KH Hamid Pasuruan kepada seluruh jama’ah haji asal Indonesia saat itu.
Begitulah seorang ulama’, mengajarkan ajaran agama kepada jama’ahnya. Akhirnya, jama’ah haji asal Indonesia mengkuti penetapan dari pemerintah Arab Saudi. Jama’ah haji akhirnya tenang dan khidmat dalam menjalani setiap ritual dalam ibadah haji. (rd/md)
________________
Semoga artikel Hari Arofah yang Mengesankan Kiai Hamid Pasuruan ini memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..
BONUS ARTIKEL TAMBAHAN
Karomah Habib Ali Kwitang, Terlalu Dahsyat untuk Dilogikakan.
Suatu ketika tatkala al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang) sedang mengajar di rumahnya di hadapan muridnya yang cukup banyak, beliau mendengar suara ibunda tercinta, Nyai Salmah: “Li… Ali… Li…”, begitu panggil sang ibu.
Lalu Habib Ali, waktu itu telah berumur lebih dari 60 tahun, langsung saja permisi kepada semua muridnya: “Saya minta ridhanya untuk menemui ibu saya terlebih dahulu.”
Habib Ali pun menemui ibunya. Ternyata sang ibu minta diantarkan ke kamar mandi. Bergegaslah Habib Ali menggendong sang bunda pergi ke kamar mandi. Bukan itu saja, Habib Ali lah yang langsung membersihkan dan menyuci pakaian sang ibu. Meski ada istri tapi Habib Ali tidak mengizinkannya, karena demi bakti beliau terhadap sang ibu. Padahal waktu itu Habib Ali telah dikenal sebagai ulama yang terpandang di tanah Betawi, tetapi beliau bila dipanggil sang ibu tanpa pikir panjang langsung memenuhi panggilan itu.
Ada suatu peristiwa dimana Habib Muhammad, putra Habib Ali, masih kecil sementara Habib Ali sedang dalam rihlah dakwahnya di Negeri Singapura. Dan sang ibu, Nyai Salmah, bertanya pada menantunya yaitu istri Habib Ali: “Mana Ali, putraku?”
Dijawab oleh istri Habib Ali: “Sedang dakwah di Singapura, Umi.”
Dengan spontan sang ibu memerintahkan pada menantunya itu: “Cepat kirim telegram, bilang padanya ibu memanggilnya untuk pulang!”
Langsung dikirimlah telegram itu kepada Habib Ali yang sedang berdakwah di Singapura. Sesampainya telegram itu pada Habib Ali, langsung beliau baca. Setelah dibaca, tanpa basa-basi Habib Ali pun permisi pamit untuk pulang karena sang ibu yang memanggilnya.
Begitulah tanda bakti seorang ulama besar, orang terpandang, panutan umat, al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi terhadap sang bunda tercinta.
Penulis: Sya’roni As-Samfuriy.
*Sumber kisah: Ustadz Antoe Djibrel, Khadim Majelis Ta’lim Kwitang dari Almarhum al-Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi).
_____________________
Semoga artikel Karomah Habib Ali Kwitang, Terlalu Dahsyat untuk Dilogikakan ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini