Pagi hingga siang tadi saya istifadah (mengambil manfaat dan berkah) kepada Maulana Habib Luthfi. Alhamdulillah beliau nampak segar, sudah pulih dari flu berat yang mendera beliau beberapa hari terakhir.
Banyak yang saya simak, saya dengarkan, beberapa di antaranya saya tulis di note HP, beberapa ditulis oleh beliau di buku gambar, yaitu diagram nasab atau silsilah.
Nasab Habib Ismail Fajrie Alatas, nasab al-Alamah sahib al-karamah Sayidi al-Habib al-Mahbub Husein Luar Batang, nasab beliau, nasab istri beliau yang tersambung dengan para ulama besar, wali-wali agung di Yaman, wali 9 bahkan tersambung dengan putri raja-raja Jawa.
Beliau juga bicara adab al-Qira’at, seperti waqaf menurut pandangan ulama tasawuf. Beliau mencontohkan beberapa ayat, seperti اياك نعبد, dimana Kaf Mukhatab harus jelas terpisah dari ن damir mutakalim, seperti penggalan ayat قل يا ايهالكافرون harus jelas terpisah penggalan لا أعبد dst.
Beliau juga membahasa adab di masjid Nabawi, kata beliau, di masjid Nabawi sebelum membaca al-Quran lebih afdal diawali membaca hadis Nabi saw, niat mukalamah (berinteraksi), dan talaqi (seolah mengambil ilmu secara langsung) dengan Rasulullah saw yang berada dibawah qubatul khadra. Menurut beliau Wahabi yang terus menerus membaca ayat al-Quran di masjid Nabawi karena mereka tidak menghormati beliau saw. Yang menganggap Rasulullah saw wafat seperti wafatnya orang biasa.
Beliau juga banyak berbicara soal NU, menguatkan NU secara kultural kemasyarakatan dan menguatkan NU melalalui peran politik dengan menggunakan hak suara. Untuk hal ini saya tidak akan mengulasnya lebih jauh. Kembali ke nurani masing-masing saja, menurut Anda memilih siapa yang dapat menguatkan ahlu sunah wal jamaah yang di nauingi NU. Pilihlah sosok itu.
Saya juga menyampaikan Bu Dr. Sidrotun Naim, yang menurut beliau cucu Ulama Besar KH. Idris Jamsaren Solo, akan sowan untuk menyampaikan hasil ‘penelitian’ beliau tentang KH. Idris kepada Maulana Habib Luthfi. Sebelum menjawab soal waktu, Maulana malah menjelaskan bahwa KH. Idris yang wafat pada tahun 1923 M atau menurut konversi Maulana Habib Luthfi tahun 1345 H, adalah ulama besar, mursyid Thariqat Syadziliyah murid Syekh Ahmad Nahrawi. Dimana Maulana Habib Luthfi juga tersambung melalui Syekh KH. Abdul Malik.
Catatan pentingnya, menurut Maulana Habib Luthfi bin Yahya, “KH. Idris Jamsaren ini adalah ulama yang diajak musyawarah oleh KH. Soleh Darat dalam penulisan (penerjemahan) Syarah Hikam.”
Ulama yang dihormati dan disebut ulama besar oleh Maulana Habib Luthfi pada kenyataannya memiliki peran sejarah besar pada masanya. Beliau sambil melihat lekat-lekat makam KH. Idris di HP saya, berkata, “Sayangnya ulama besar ini mulai terlupakan. Bahkan banyak keturunannya yang menjadi Muhammadiyah.” Sebagai tambahan Muhammadiyah tidak percaya thariqat.
Beliau juga menjelaskan konsep Asy’ariyah dalam aqidah yang mengkomparasikan naql – aql, nalar dan teks. Menurut beliau hanya melalui pendekatan aqidah Asy’ariyah, kita bisa sampai pada pemahaman Aqidah yang baik. Dan menjawab konsep teologis bukan saja berdasar dalil al-Quran & hadis, melainkan melalui logika yang mapan. Beliau mencontohkan, “kalau ada orang bertanya, ketika membaca اياك نعبد, hanya kepada-Mu kami menyembah, kalau tidak makhluk apa Allah pantas disembah? Jawab beliau: “pantas, karena pertanyaan Anda sudah terdahului realitas keberadaan makhluk Allah termasuk manusia”.
Beliau juga mensuport penuh setiap kebijakan dan pernyataan Prof. Dr. Said Aqil Siradj yang menguatkan NU. Termasuk pernyataan beliau di hadapan para anggota Muslimat NU pada saat Harlah ke-73 pekan lalu. Kata beliau, NU sekarang bukan saatnya berdiam diri.
Pekalongan, 03 Februari 2019
Penulis: Ahmad Tsauri.