Habib Ali Alaydrus dan Syaikhona Kholil Bangkalan Mendidik Para Wali

Habib Ali Alaydrus dan Syaikhona Kholil Bangkalan Mendidik Para Wali

Habib Ali Alaydrus dan Syaikhona Kholil Bangkalan Mendidik Para Wali.

“Kita ini beruntung..” Kata Habib Umar waktu itu,

“Guru-guru kita tidak memberikan kita ujian yang berat seperti ujian yang diberikan ulama-ulama terdahulu, karena mereka tahu hati kita lemah, iman kita lemah tidak seperti santri-santri zaman dahulu..”

Beliau lalu menceritakan kisah Habib Ali Bin Abdullah Assegaf ketika ‘jauh-jauh’ datang dari Hadhramaut ke Malibar India untuk berguru kepada Habib Ali Bin Abdullah Alaydrus. Sesampainya ia di depan rumah gurunya dan mengucapkan salam, Sang guru yang waktu itu sedang makan di lantai dua menyuruh Khodamnya melihat siapa yang ada di depan pintu.

“Seorang pencari ilmu dari Seiwun Hadhramaut Habib, namanya Ali Assegaf ” jawab Khodamnya.

Mendengar itu Habib Ali Alaydrus mengambil air bekas cuci tangannya dan memberikannya kepada khodamnya.

“Ambil air ini.. dan siramkan kepadanya..”

Dengan segera si khodam mengambil air kobokan itu dan menyiramkannya ke tubuh Habib Ali Assegaf dari lantai dua…Mbyuurrr…

Setengah jam kemudian Habib Ali Alaydrus memanggil khodamnya lagi.

“Coba lihat.. Apakah orang itu masih ada di bawah..?”

Khodamnya melihat ke bawah dan ternyata pemuda itu masih berdiri mematung di depan pintu. Malahan ia masih menunduk penuh tadhim.

“Masih Habib.. Dia masih ada di bawah…!” jawab khodamnya

“Sekarang.. Bukakan pintu untuknya..” ujar Habib Ali Alaydrus.

Berkat ketulusan dan keteguhannya itu, kelak Habib Ali Assegaf menjadi salah satu murid kesayangan Habib Ali Alyadrus.

Sebagian ulama terdahulu memang mempunyai cara tersendiri dalam menguji keteguhan dan ketulusan santri-santrinya. Tentunya cara-cara ‘aneh’ yang mereka tempuh dalam mendidik tak lepas dari maksud dan tujuan yang mulia, yang sering kali tak bisa kita ketahui dengan pemahaman dan cara berpikir kita.

Syaikhona Kholil Bangkalan merupakan salah satu dari ulama yang mendidik murid-muridnya dengan cara-cara unik itu.

Dulu ia mempunyai santri asal Magelang, Manab namanya. Selama liburan – karena termasuk dari golongan yang tak mampu dan tak pernah mendapat kiriman dari orang tuanya – ia bekerja di sawah sekitar pesantren untuk mengumpulkan beberapa ikat padi yang akan ia gunakan sebagai ‘sangu’ selama mengaji kepada Mbah Kholil. Sesampainya di Demangan, kebetulan Mbah Kholil waktu itu sedang duduk di luar rumahnya, melihat santrinya datang membawa dua karung beras, beliau berkata :

“Kebetulan ayam-ayamku masih belum makan..”

Manab lekas memahami keinginan kiainya, tanpa menunggu lama ia menaburkan beras dua karung itu di kandang ayam-ayam Mbah Kholil. Hasil jerih payahnya berbulan-bulan ludes pada waktu itu juga. Sebagai ganti beras itu, Mbah Kholil menyuruhnya untuk mengumpulkan daun mengkudu sebagai makanan sehari-harinya. Santri bernama Manab itu kelak akan menjadi ulama besar di zamannya, mendirikan pesantren yang memiliki ribuan santri hingga saat ini, ia yang kelak lebih dikenal dengan KH. Abdul Karim, pendiri pesantren Lirboyo.

Lain lagi dengan yang dialami oleh santri bernama Muhammadun. Sehari sebelum santri asal Lasem itu datang ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh murid-muridnya untuk membuat ‘kurungan’ ayam. Keesokan harinya Mbah Kholil menyambut kedatangan Muhammadun lalu memerintahkannya untuk menjebloskan diri ke dalam kurung ayam itu. Sam’an wa tho’atan ia laksanakan perintah sang guru tanpa protes sedikitpun. Kelak ialah yang akan menjadi salah satu Jago tanah Jawa, menjadi kiai Alim nan Karismatik yang dikenal dengan Mbah Maksum Lasem.

Santri asal Tambak Beras Jombang bernama Abdul Wahhab malah memiliki pengalaman yang seru dan menegangkan. Ketika baru sampai di gerbang pondok Mbah Kholil, ia disambut oleh Puluhan Santri yang membawa clurit dan pedang dan hendak menyerangnya. Tentu saja ia lari terbirit-birit. Ternyata Mbah Kholil sudah mewanti-wanti Para muridnya untuk bersiaga di hari itu, kata beliau akan ada ‘Macan’ yang hendak memasuki area pondok. Dan sialnya, Santri baru bernama Abdul Wahhab itu yang Mbah Kholil tuduh sebagai ‘Macan’ hingga ia menjadi target serbuan para santri.

Keesokan harinya ia kembali lagi, masih juga disambut dengan clurit dan pedang. Ia belum menyerah, ia mencoba lagi di malam ketiga, dan di malam itu ia berhasil memasuki area ponpes. Karena kelelahan ia tertidur di Musholla Pesantren, Mbah Kholil lalu datang dan membangunkannya. Di malam itu ia resmi diterima menjadi Santri Kiai Kholil. Di masa depan, dialah yang akan menjadi Macan NU. Pengasuh Pesantren Tambak Beras yang kita kenal sebagai Kiai Wahhab Hasbullah.

” Orang Yang mencari ilmu itu, ” dawuh Imam Abdullah Al-Haddad, ” ibaratkan orang yang membawa wadah untuk meminta madu. Jika ia membawa wadah yang kotor, apakah sang pemilik madu akan menuangkan madunya untuknya.. ? Tentunya ia akan menyuruhnya untuk membersihkan wadahnya terlebih dahulu.. ”

Na’am, ilmu itu layaknya madu, sedangkan Hati kita adalah wadah untuk ‘menampaninya’. Semakin besar rasa tadhim dan keyakinan kita terhadap guru kita, semakin besar pula wadah yang kita miliki. Dan tentunya ‘barokah’ yang kita dapatkan akan lebih banyak dan melimpah. Seringkali para Masyaikh Ba’alawy mengulang-ulangi ucapan itu :

“Al Madad ‘Ala Qadril Masyhad ”

Pemberian dan pertolongan Allah – yang akan kita peroleh lewat guru kita – itu tergantung rasa tadhim, keyakinan dan cara pandang kita terhadapnya..

Semoga – sampai kapanpun- kita tetap bisa menjaga adab dan tadhim terhadap para guru, selalu mendapat keridhoan mereka bukan malah menjadi orang yang tak tahu adab dan balas budi, bagaikan kacang yang melupakan kulitnya..

Demikian artikel tentang Habib Ali Alaydrus dan Syaikhona Kholil Bangkalan Mendidik Para Wali. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ismael Amin Kholil, Tarim, 17 Syawal 1441 H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *