KH Yahya Cholil Staquf, Katib Aam PBNU.
Ada seorang Kyai yang masih kerabat, sesudah beliau meninggal puteranya ingin menjual rumah warisan beliau untuk kemudian hasil penjualannya dibagi-bagi kepada para ahli waris. Kyai Maemun menentang keinginan itu dengan berbagai hujjah, tapi si putera tetap ngotot sehingga akhirnya terjuallah rumah itu.
Tak selang terlalu lama sesudah uang dibagi-bagi, anak si putera kyai itu mengalami kecelakaan parah. Biaya perawatannya yang mahal ditutup dengan uang bagian hasil penjualan rumah. Sedemikian mahalnya sampai uang warisan amblong, habis buat biaya.
“Untung aku nggak nurut sampeyan”, katanya kepada Kyai Maemun, “seandainya rumah nggak jadi kujual, matilah anakku karena nggak ada biaya!”
“Seandainya nggak sampeyan jual, anak sampeyan nggak akan kecelakaan!”
***
Kyai Maemun membuat catatan penting sekali terkait kisah itu. Diantara putera-putera si kyai yang diceritakan di atas ada yang ‘alim sekali, tapi tak ada keluarga yang mendukung sehingga tempat tinggal pun harus cari kontrakan kesana-kemari.
“Makanya, rumah kyai itu jangan dijual”, kata Kyai Maemun, “bisa-bisa para anak turunnya jadi nafsi-nafsi (mikir dirinya sendiri – red) …”