Salah satu ulama yang memagang kunci lahirnya ulama’ besar dari berbagai pesantren di Indonesia adalah Syeikh Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Syeikh Hasan Besari hidup antara abad ke-18 sampai abad ke-19. Dari didikan Syeikh Hasan Besari, lahir ulama besar yang membangun pesantren di berbagai daerah di Indonesia.
Demikian ditegaskan KH Dr Abdul Ghofur Maimoen, Katib Syuriah PBNU, dalam acara Haul ke-29 KH Ali Maksum di Pesantren Krapyak Yogyakarta (27/01).
Gus Ghofur, panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa Syeikh Hasan Besari mendirikan Pesantren Tegalsari. Pada jamannya, Pesantren Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.
“Santrinya Syeikh Hasan Besari menjadi ulama-ulama besar. Diantaranya adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito (pujangga Jawa yang masyhur abad ke-18) dan KH Abdul Mannan, pendiri Pesantren Tremas Pacitan. Kiai Abdul Mannan adalah satu orang Indonesia pertama yang belajar di Al-Azhar Mesir. Salah satu cucu Kiai Mannan adalah Syeikh Mahfudh At-Turmusi, yang menjadi ulama besar di Timur Tengah abad ke-19 dan menjadi guru para ulama Indonesia,” tegas Gus Ghafor.
“Dari Pesantren Tremas inilah, lahir seorang ulama yang kita peringati haulnya malam ini, KH Ali Maksum. Kiai Ali belajar di Tremas kepada KH Dimyati, adiknya Syeikh Mahfudh At-Turmusi. KH Hamid Pasuruan juga belajar di Tremas, bareng dengan Kiai Ali,” lanjut Gus Ghofur yang juga cucu menantu KH Ali Maksum.
Gus Ghofur juga menegaskan bahwa Kiai Ali juga lahir dari sosok ulama besar, yakni Mbah Ma’shum Lasem. Saat itu, Lasem itu melahirkan ulama’-ulama besar, seperti Mbah Ma’shum, Mbah Baidhowi, Mbah Kholil, dan lainnya.
“Saya malam ini hanya bisa bercerita. Sesungguhnya saya tidak berani memberikan mauidhoh hasanah, karena yang ada di hadapan saya adalah para kyai,” pungkas Gus Ghofur. (md)