Sabtu, 4 Januari 2020, saat memberikan sambutan pada Haul al-Maghfur Lahu KH. Ali Makshum, Krapyak, Gurunda KH. Dr. Abdul Ghofur Maimoen bercerita dengan menggunakan bahasa Jawa Kromo. Beliau dawuhan:
“Tugas Utama Mbah Maksum niku minterno santri. Keranten Wong Ngalim niku ukurane nek wes nduwe santri-santri seng pinter-pinter. Nek wong Ngalim durung nduwe santri seng pinter-pinter iku koyok uripe penasaran”
[Tugas Utama Mbah Maksum itu adalah mengajar santri sampek menjadi pintar (pandai). Sebab ukuran orang Alim itu kalau sudah punya santri-santri yang pinter-pinter. Kalau orang Alim kok belum memiliki santri-santri yang pinter dan Alim, maka hidupnya kayak masih penasaran]
Babah Ghofur — panggilan Akrab dan sayang KH. Abdul Ghofur Maimoen bagi putra putri dan santri-santri beliau — juga mengisahkan bahwa saat Mbah Ali Maksum menjadi Rois ‘Aam Syuriah NU, beliau sering bolak balik Jakarta. Hingga akhirnya Ngaji dan Sorogan jadi sering libur. Maka Mbah Ali Maksum meminta maaf kepada santri-santri sebab sorogan sering Libur.
Menurut Babah Ghofur, ada beberapa ulama dan tokoh besar yang mempengaruhi kepribadian dan karakter utama Mbah Ali Makshum.
1. Ayahanda beliau sendiri. Yakni KH. Maksum Ahmad. Mbah Maksum ini satu sosok ulama yang menarik. Beliau berasal dari Lasem Jawa tengah. Nampak secara lahir beliau jarang tindakan kemana-mana. Namun saat beliau wafat, jagat keulamaan gempar. Sebab ternyata yang ikut Takziyah dan mengantarkan Jenazah beliau adalah Ulama-Ulama besar. Dan kesemuanya pernah ngaji kepada Mbah Makshum Lasem ini.
2. Guru beliau saat di Termas. Yakni KH. Dimyathi Abdullah. Yang tak lain adalah adik kandung dari Syaikh Mahfudz At-Tarmasi. Saat Mbah Ali Maksum mondok di Termas ini, beliau bertemu dengan simbah KH. Hamid Pasuruan dan Simbah KH. Mushlih Mranggen. Beliau bertiga adalah Ulama-Ulama yang tidak hanya Alim Allamah. Akan tetapi memiliki spiritual yang tinggi. Sudah Masyhur bagaimana kewalian Kiai Hamid Pasuruan. Demikian juga dengan Kiai Mushlih Mranggen, yang tak lain adalah salah satu Mursyid utama Thoriqoh Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN). Ketiga-tiganya lahir dari tangan dingin Mbah Dimyathi Termas.
3. Mertua beliau sendiri. Yakni KH. Munawwir Krapyak. Beliau adalah sosok Ulama yang membawa Qiroah Sab’ah ke tanah Jawa. Sampai akhirnya menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Ada kisah yang menceritakan bahwa kitab Faidhul Barokat karya Al-Allamah KH. Arwani Kudus merupakan hasil ngaji beliau kepada Kiai Munawwir yang kemudian ditulis sedemikian rupa. Sehingga menjadi sebuah kitab luar biasa yang memudahkan para pelajar Qiroah Sab’ah di Nusantara ini.
Saya sendiri secara pribadi melihat ada beberapa titik kesamaan dari ketiga Ulama terkemuka tersebut. Baik Mbah KH. Maksum Ahmad, Mbah KH. Dimyathi Abdullah dan Mbah KH. Munawwir Krapyak, kesemuanya itu rajin dan senang Ngaji. Saat-saat mengaji adalah saat-saat yang sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Sehingga beliau-beliau sangat senang jika sedang dalam kondisi tersebut.
Dan kesamaan lainnya adalah ketiga orang besar ini tidak hanya Alim, akan tetapi juga sudah menuntun santri-santrinya mencapai predikat Alim dalam bidang keilmuan masing-masing yang digeluti. Dan mestinya adat kebiasaan seperti inilah yang harus selalu dijaga. Selalu untuk dipertahankan dan kalau bisa dikembangkan bersama-sama. Sebab mengajar dan menuntun santri menjadi Alim-alim adalah tugas utama seorang Ulama.
Wallahu A’lam.
Penulis: Dhiya Muhammad.