Gus Dur, Spider Man dan Masalah ‘Gitu Aja Kok Repot’

gus dur humor

Oleh Prof Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari.

Hari ini, 30 Desember 2019, tepat sepuluh tahun wafatnya Presiden Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Terlalu banyak hal yang mengesankan dari Gus Dur, termasuk humor-humornya, gagasan-gagasannya, pernyataan-pernyataannya hingga sepak terjangnya. Di antara yang sangat menarik adalah video rekaman wawancara Gus Dur di Kick Andy yang bisa dilihat di YouTube.

Dalam wawancara itu, Andy antara lain menanyakan, mengapa Gus Dur berkeliling dunia mengunjungi berbagai negara hingga 80 kali dalam masa jabatannya yang hanya 20 bulan, dan menghabiskan dana Rp 52,7 milIar.

Gus Dur menjawab, itu dilakukannya agar Indonesia tidak terurai (bubar) pasca Soeharto. Hasilnya, memang demikian. Integritas Indonesia sebagai bangsa tetap terjaga hingga hari ini.

“Jadi Gus Dur merasa, itu karena jasa Gus Dur?” tanya Andy. “Bukan! Artinya tugas saya begitu. Perkara saya berjasa atau tidak, itu soal kedua.”

Begitu pula, ketika Andy menanyakan, apakah kerelaan Gus Dur lengser dari jabatan presiden demi menghindari pertumpahan darah antar sesama anak bangsa merupakan pengorbanan Gus Dur. Gus Dur menjawab, “Bagi saya, bukan korban. Biasa aja!”

Cuplikan wawancara Gus Dur di atas mengingatkan saya pada Mark Manson, penulis buku motivasi yang sangat laris, The Subtle Art of Not Giving a Fuck.

Di buku ini Manson mengutip pernyataan populer dalam film Spider Man, yaitu with great power comes great responsibility (bersama kekuasaan yang besar muncul tanggung jawab yang besar). Ini dikatakan Paman Ben di film itu (Manson 2016: 96).

Menurut Manson, pernyataan Paman Ben itu sebenarnya biasa-biasa saja. Semua orang paham dengan itu. Yang lebih dalam justru sebaliknya, with great responsibility comes great power (bersama tanggung jawab yang besar muncul kekuasaan yang besar).

Jadi, titik tekannya pada tanggung jawab. Karena bertanggungjawablah orang akhirnya diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan alias berkuasa.

Inilah kiranya nilai etis di balik pernyataan Gus Dur “Artinya, tugas saya begitu.” Tugas adalah tanggung jawab yang diemban seseorang ketika memegang satu jabatan, dan itu wajib dilaksanakan.

Entah tugas itu akhirnya berhasil dilaksanakan dengan baik atau gagal, itu soal lain lagi. Yang utama, tugas itu harus diusahakan semaksimal mungkin. Karena itu, jika berhasil, tak perlulah mendaku, itu jasa saya!

Berbeda dengan Gus Dur, tak sedikit pejabat atau mantan pejabat yang suka menunjukkan jasa-jasanya, dan marah jika ‘jasa-jasa’ itu tidak diakui.

Bagi mereka, pengakuan akan jasa-jasa itu berguna untuk memertahankan atau mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, atau paling kurang tetap menerima penghormatan orang lain. Ini berarti, mereka mengutamakan kekuasaan ketimbang tanggung jawab.

Bagi Manson, mengutamakan tanggungjawab juga berarti orang siap menghadapi hidup sepahit apapun. Kepahitan hidup, meskipun jika ia disebabkan oleh kejahatan orang lain pada kita, pada akhirnya adalah tanggungjawab kita sendiri.

Tanggungjawab itu terletak pada cara kita menyikapi kepahitan itu, apakah kita berlama-lama dalam kesedihan atau berusaha keluar dari ruang gelap untuk mencari cahaya.

Saya kembali teringat Gus Dur yang sering mengatakan, “gitu aja kok repot”. Mungkin ini antara lain cara Gus Dur mengungkapkan daya tahannya terhadap aneka hujatan dan masalah.

Dia tahu ada banyak pihak yang menyerangnya, tetapi dia pun sadar, jika dia menderita akibat hujatan itu, dia akan kalah. Dia tidak mau kalah dan menderita. Karena itu, dia harus menyikapi semua itu dengan tenang dan santai.

Suatu kali saya pernah membaca wawancara Gus Dur entah di mana. Dia ditanya bagaimana caranya dia bisa dengan tenang menghadapi banyak masalah.

Gus Dur mengatakan, masalah itu ada dua macam: ada yang bisa diselesaikan dan ada yang tidak. Yang tidak bisa diselesaikan, tinggal dilupakan. Yang bisa diselesaikan, tinggal diusahakan penyelesaiannya. Karena itu, buat apa kita pusing? Gitu aja kok repot!

Jujur, sebagai ‘kepala sekolah’, saya masih amat jauh dari kedewasaan dan kematangan kepribadian seperti yang dimiliki Gus Dur. Namun, justru karena itu, Gus Dur adalah teladan dan cermin bagi saya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *