Gus Baha’ dan Rumus “Biasa Wae, Ora Usah Berlebihan”

Karomah Nyata Gus Baha Bertemu Sahabat Nabi
Gus Baha' ini sosok ahli tafsir faqih yang masyhur di Indonesia.

Saya tak berhenti kagum pada sosok Gus Baha’, utamanya soal kecermatannya dalam membedah berbagai hal yang seakan dianggap benar.

Banyak orang berpikir dan mengeluarkan pernyataan ketika ada orang yang sedang bergairah menjalankan laku agama, dianggap sebagai: ‘orang baru’, ‘sinau Islam lagi wingi sore’, atau pernyataan serupa semacam itu.

Bacaan Lainnya

Gus Baha’ mengingatkan, logika semacam itu bisa sesat pikir. Semua sahabat Rasul itu berislam juga ‘lagi wingi’ alias ‘baru kemarin’. Mestinya hal seperti itu disyukuri. Dipandang dengan rasa bombong. Dihargai. Apalagi jika dilihat dengan kacamata spiritual bahwa ‘hidayah’ itu pemberian Tuhan. Menghina orang yang sedang bergairah melaksanakan laku agama, bisa jatuh pada menghina keputusan Tuhan, Zat yang membolak-balikkan hati. Dan yang berbahaya pula, muncul sikap ‘sombong ora ketara’ alias diam-diam dadanya dipenuhi kesombongan. Padahal secara tauhid, kesombongan—termasuk kesombongan spiritual—adalah moyang dari perilaku buruk.

Namun di sisi yang lain, secara cermat pula Gus Baha’ menyoroti soal kecenderungan orang-orang yang sedang bergairah melaksanakan laku keislaman, yang memang gemar sekali mengkafir-kafirkan orang lain.

“Lha Tuhan saja mengajari kalau ada orang kafir 80 tahun, lalu dia mengucap kalimat tauhid, seketika hilang kekafirannya, masak ada orang dikafirkan hanya dengan kalimat yang sama, hanya karena berbeda sedikit laku ibadah. Misalnya, orang yang ziarah kubur itu mana ada yang berpikir menyembah kuburan. Aneh-aneh saja.” Pikiran seperti itu juga berbahaya.

Tingkat kecermatan seperti itulah, atau sikap kritis, yang membedah tempurung kepala dua pihak yang berdiri ekstrem, sungguh menarik. Hal seperti itu sebetulnya terjadi di banyak bidang. Pejuang demokrasi tapi diam-diam punya kecenderungan fasistik, misalnya.

Jadi ya rumus Gus Baha’ memang cespleng: Biasa wae, ora usah berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono.

Penulis: Puthut Ea.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *