Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Diri yang lalai dari mengingat Allah Swt dalam kehidupan duniawi ini dicirikan oleh tenggelamnya ia ke dalam kelimbungan dan keterombang-ambingan hati. Boleh jadi hartanya melimpah, namun hatinya tak tenang. Pula bisa saja kehidupan materialnya pas-pasan, hatinya pun kebak sambatan.
Jika kita berada di situasi begitu, bersegeralah bertaubat kepadaNya sebagai titik-balik, lalu mulailah tanamkan niat dan cita-cita di hati untuk mendekat padaNya, dan jalankan amalan saleh dan dzikiran sebanyak, seintens, dan sedalamnya. Teruslah beristiqamah.
Dalam kitab Sirr al-Asrar Fima Yahtah Ilaihi al-Abrar,Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah memberikan nasihat kepada kita untuk “meminta tolong” kepada para guru rohani yang terpercaya agar membimbing kita. Inilah bahasan yang akan memperlihatkan betapa melakoni laku rohani memang idealnya dipandu oleh guru rohani –untuk tidak menyatakannya “wajib”.
Tujuan utama dari adanya guru rohani ialah untuk mendapatkan ilmu yang bukan hanya teori, melainkan juga bimbingan langsung sebagai praktik. Ta’lim dan sekaligus tarbiyah. Keduanya tentulah dimaksudkan untuk “membersihkan hati” yang kadung lalai karena tercemari hawa nafsu, tipu daya setan, dan kemilau duniawi ini.
Beliau qaddasahuLlah mengatakan: “Dunia adalah ladang. Ladang memerlukan tanaman agar tak ditumbuhi ilalang. Siapa yang tidak menanam kebaikan selama di dunia, ia tidak akan menuai kenikmatan di akhirat. Oleh karena itu, tanamilah ladangmu selagi kaki masih berpijak di atas bumi ini dengan benih kehidupan yang tenang dan damai, dengan benih yang baik dan bagus, sehingga akan membuahkan hasil yang baik dan bagus pula di akhirat kelak. Insya Allah. Orang yang menjaga ladangnya dengan baik akan menuai hasil yang baik pula….”
Mari perhatikan kondisi riil diri ini dengan saksama. Anggaplan diri ini begitu kelam karena selama ini lalai pada Allah Swt dan tercebur ampun-ampunan dalam ghairuLlah yang bernama kemilau-kemilau duniawi.
Tatkala kita berjumpa dengan guru rohani atau mursyid, mestilah diyakini untuk disyukuri bahwa itulah cara Allah Swt untuk memulangkan kita kepada jalan yang diridhaiNya. Lalu, dari guru inilah kita akan mendapatkan pencerahan-pencerahan ilmu, juga amaliah-amaliah, yang akan menyegarkan pemikiran hati, sekaligus perasaan kita. Tentu pula doa-doanya.
Inilah kiranya fase awal yang dimaksud dengan “ladang memerlukan tanaman agar tak ditumbuhi ilalang.”
Dengan adanya ilmu dan amaliah baru dari guru rohani, kita tentulah akan lebih bisa intens untuk “terikat” pada jalan yang telah dibukakan Allah Swt tersebut. Berikutnya, tentu pula menjadi kewajiban bagi kita sebagai murid atau murad untuk mulai menamami ladang kita.
Dengan mengandaikan ilmu dan amalan yang diajarkan guru rohani telah mulai kita lakonkan, jangan disangka kita telah aman saja. Acap kita tergoda kembali untuk bercebur kepada kekelaman masa lalu. Ini situasi yang lazim belaka. Naik-turunnya proses menanami ladang hati dengan benih-benih kebaikan yang telah dikenalkan itu mesti kita pahami sebagai dinamika ujian batin saja. Tak ada dinamika apa pun yang perlu kita sembunyikan dari guru rohani. Keterbukaan akan cukup menolong kita untuk mendapatkan impresi bimbingan darinya.
Begitulahtamsil titik krusial pertolongan dari kematangan rohani sang guru. Inilah kiranya yang dimaksudkannya qaddasahuLlah sebagai “orang yang menjaga ladangnya dengan baik akan menuai hasil yang baik pula”. Yakni, keistiqamahan di jalan yang lurus dan semestinya, yang penuh kerawanan dan lika-liku, dalam asuhan sang guru.
Goda-goda duniawi yang kerap berwujud ingatan-ingatan kepada pesonamaksiat-maksiat di masa lalu acap sulit betul untuk kita tepis dari benteng rohani yang mulai terbangun. Benteng itu sangat mungkin terkoyak kembali bila kita berjalan sendirian.
Kita selalu membutuhkan dukungan, kawalan, dan bimbingan –ekstremnya pengontrolan—dari luar diri, yakni sang guru, untuk bersegera membalikkan diri kita lagi ke jalan yang lurus itu. Jika tidak, sungguh rawanlah kita untuk kembali ke masa silam yang kelam.
Belum lagi bila kita diuji dengan “sesat jalan” dalam arungan rohani ini. Bisa sebab faktor ilmu yang terbatas maupun tipu daya iblis yang berwajah malaikat serta bajakan hawa nafsu yang sangat halus.
Umpamakan kita sedang berdzikir di suatu malam yang hening seusai membaca sebuah buku tasawuf. Dikatakan dalam buku itu bahwa dzikir malam fadhilahnya berkali lipat dari dzikir di waktu selainnya. Tiada dzikir yang bernilai kecuali dalam keheningan malam yang meruah ke dalam samudra hati.
Kita bisa saja terkecoh untuk hanya berdzikir di malam hari, menyatakannya dengan yakin kepada hati sendiri bahwa inilah jalan amaliah kemakrifatan itu, hingga alpa pada dzikir seumur hidup yang mestilah terus dirawat membentang.
Mungkin saja Anda di siang hari bekerja, berbisnis, dan sebagainya. Maka bayangkan bila hanya di malam hari hati berdzikir, dengan dalih keheningan adalah keutamaan, lalu di tengah kesibukan hiruk-pikuk siang hari Anda lalai pada dzikruLlah, rawanlah Anda untuk terkulai kembali kepada kekelaman-kekelaman yang disengajakan ditiupkan iblis di siang hari.
Mungkin saja Anda menganggap laku demikian sah belaka, tiada masalah, namun pada hakikatnya ia boleh jadi adalah masalah rohani yang sangat serius.
Mari ingat nasihat qaddasahuLlah ini: “Orang yang hidup di dunia tanpa mengingat Allah Swt dengan berdzikir kepadaNya, ia akan jadi lalai dan terlena. Tanpa mengingat Allah Swt (dzikruLlah), dia akan melupakan kematian yang akan menjemputnya kelak (dan bisa datang kapan saja, siang maupun malam): (yakni) ketika dia merasa dunia masih terlalu panjang, padahal Allah Swt telah mengingatkan kita di dalam firmanNya bahwa ajal manusia itu lebih dekat daripada urat lehernya sendiri.”
Bayangkan!
Ternyata, boleh jadi, pemahaman diri yang tidak kafah, tanpa bimbingan guru rohani, memungkinkan saja bagi terbukanya kembali kelalaian diri di hadapan kesibukan nikmat duniawi di siang hari. Seluruh ibadah dan dzikir di malam hari yang menyeolahkan tiada makna hadirNya di siang hari (karena pemahaman sepihak yang mengecoh itu) bila bertemu dengan takdir ajal diri di siang hari, apa jadinya?
Mengerikan sekali!
Begitulah kita memerlukan kehadiran guru rohani dalam mengarungi samudra rohani yang terhampar luas, tiada batas, dan acap terasa berkabut tebal itu. Jika kita mengabaikan prinsip ini, dikhawatirkan keangkuhan perjalanan kita bagaikan orang asing yang nekat berjalan saja menembus pekatnya halimun di sebuah hutan tiada tepian dan menyebabkannya tak pernah kembali pulang ditelan misterinya yang tak terperikan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 25 Agustus 2019