Oleh: Muhammadun*
“Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan.”
Demikian ditegaskan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), yang akrab dipanggil Cicero dalam bukunya “On Divination”. Ia adalah seorang penulis, orator, filsuf, dan negarawan Romawi Kuno. Pernyataan Cicero ini sangat reflektif dan strategis untuk memahami generasi anak jaman sekarang sekaligus tantangan teknologi yang dihadapinya. Mulai bangun tidur sampai menjelang tidur kembali, generasi anak jaman saat ini tak bisa dilepaskan dari teknologi berupa smartphone atau gadget. Semua harus menerima dan menyikapinya dengan bijak dan cerdas, sehingga tidak kontraproduktif dengan keseharian dunia anak hari ini.
Bagi guru, smartphone harus menjadi energi sebagai smart teacher untuk melahirnya smart school. Dengan semua memosisikan diri secara cerdas, maka akan lahir anak bangsa yang cerdas (smartkid) yang mampu menggunakan gadget sebagai pelecut dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sudah banyak kasus yang mengabarkan smartphone justru meruntuhkan pondasi anak usia SD. Sosiolog Universitas Indonesia, Devie Rachmawati (2015) menjelaskan bahwa banyak tragedi hoax yang menimpa anak dan melahirkan kekerasan justru bersumber dari televisi, video games, dan tontonan media di smartphone, bukan dari jalan atau lainnya. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai Pebruari 2017 mengabarkan bahwa hoax yang menyebar di smartphone menjadikan banyak anak terjebak dalam konten pornografi yang merusak perilaku keseharian anak. Kasus-kasus yang terjadi di sekolah, jalan, mall, juga di rumah, disebabkan keseharian anak yang ketagihan dengan smartphone.
Guru hari ini berada di arena banjir informasi, termasuk hoax. Untuk itu, banjir informasi ini harus dipahami dengan seksama, khususnya oleh guru, agar guru mampu mendeteksi secara cepat apa yang terjadi dengan generasi saat ini. Ada peta generasi saat ini mesti dicermati terlebih dahulu, sehingga guru tidak salah arah dalam mendidik siswanya. Dalam laporan jurnalistik tirto.id pada 28 April 2017 dijelaskan bahwa anak muda bangsa hari ini adalah generasi Y dan generasi Z. Sebagai gambaran singkat, generasi Y (milenial) adalah mereka yang lahir di atas 1980-an hingga 1997. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini digaungkan pertama kali Karl Mannheim pada 1923. Sedangkan generasi Z, menurut McCrindle Research Centre di Australia, adalah generasi yag lahir pada 1995-2010. Ada banyak pendapat tentang ini, tetapi semua sepakat bahwa generasi Z adalah orang-orang yang lahir di generasi internet, generasi yang menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet. Internet di Indonesia mulai masuk tahun 1990.
Anak usia SD sampai SMA hari ini adalah anak generasi Z dengan kecepatan teknologi yang makin pesat. Generasi ini mempunyai beberapa karakter, yakni: lebih visual ketimbang tekstual, lebih berpikiran terbuka, lebih sering menonton streaming/unduhan dari ke bioskop, lebih fasih berteknologi, lebih cepat terjun ke dunia kerja, dan tidak lagi tertarik menjadi PNS. Generasi Z ini juga cenderung “melawan rute tradisional”. Ini disebabkan gaya hidup mereka yang lebih dekat dengan internet, menciptakan karakter yang lebih global dari generasi sebelumnya.
Semua begitu cepat berubah, karena menang itulah karakter kehidupan sebagaimana ditegaskan Cicero di atas. Sikap dan kebijakan sekolah, orang tua, dan pemerintah harus siap berkejaran dengan perubahan, sehingga mampu membuat anak sebagai generasi emas yang akan menyambutkan seabad Indonesia pada 2045.
Cerdas Membaca Hoax
Baik di kelas, atau di luar kelas, guru harus selalu teliti. Apalagi terkait hoax, guru adalah orang pertama yang harus cerdas membaca hoax. Kalau tidak, itu alamat akan terjadi petaka di sekolah. Untuk itu, menurut Peneliti Lembaga Pengakajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram, Yogyakarta, Joko Wahyono (2017), satuan lembaga pendidikan harus berada di garis terdepan dalam menggusur hoax. Guru berada di garda terdepan dalam sekolah. Ada kiat teknis dalam mengidentifikasi hoax yang mesti dipahami guru.
Pertama, judul berita yang cenderung bombastis dan provokatif. Ini mudah diidentifikasi hoax, karena judul provokatif bisanya cenderung mengadu-domba dan tebar fitnah. Ini dimainkan untuk mendulang pembaca sebanyak-banyaknya, sehingga target yang diinginkan tercapai. Kedua, beritanya lebih berdasarkan opini, bukan fakta. Berita hoax memang diarahkan menggiring opini publik agar menjauh dari fakta. Menggiring opini publik dengan cara membangun opini baru yang diinginkan, biasanya sangat bertentangan dengan fakta yang ada. Ini juga biasa dilakukan melalui foto dan video. Mudah sekali memainkan meme yang provokatif, padahal itu semua sudah dimanipulasi.
Ketiga, karena berita hoax diarahkan untuk adu domba, maka sangat terlihat berita itu menyudutkan pihak lain. Berita hoax didesain untuk menyerang, sehingga adu domba cepat menyebar ke mana-mana. Keempat, sumber berita lahir dari website baru, pengelolanya tidak jelas, para penulisnya juga tidak jelas. Mereka memakai nama samaran, sehingga melempar isu bisa dengan seenaknya. Kalau ditelusuri, pembaca akan terkecoh, karena semua pengelola website tersebut pasti tidak ditemukan. Mereka juga mudah sekali membuat website baru dengan beragam variasi, sehingga memudahkan mereka untuk memviralkan berbagai isu yang sedang mereka desain sebagai hoax. Mereka ini juga mencari keuntungan finansial sesaat, karena itu yang sebenarnya mereka inginkan.
Berita hoax itu tergambarkan secara gamblang saat sindikat Saracen ditangkap Agustus 2017 lalu. Sesuai namanya, SARA Center ini menggunakan isu SARA untuk memecah belah persatuan dan kesatuan sejak Pemilu 2014. Puncaknya adalah menjelang dan sampai pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana isu SARA bukan saja mengguncang Jakarta, tetapi juga seluruh wilayah di Indonesia. Saat itu, antar tetangga dan antar teman saling mengejek, bahkan sampai membenci. Grup whatshap juga dipenuhi konflik antar sesama anggota, bahkan grup whatshap keluarga juga dipenuhi kontroversi dan saling caci. Penulis juga beberapa kali menemukan di grup whatshap guru yang saling menyebar hoax dan saling mencurigai satu dengan yang lain. Sungguh terjadi paradoks dan disharmoni persahabatan dan kekeluargaan, bahkan sampai anak-anak mereka juga dilibatkan. Anak-anak yang seharusnya fokus belajar, malah dilibatkan dalam arena pertentangan hoax yang sangat merugikan.
Demikian juga hoax terkait makanan dan kesehatan di awal 2017. Rilis dari detikhealt pada pertengahan bulan Juli 2017 mengabarkan masyarakat resah dan bingung terkait makanan dan obat-obatan yang disebarkan penuh kecurigaan. Itu terkait makanan, minuman, bauh-buahan, sampai obat. Tidak sedikit masyarakat kemudian yang kehilangan kendali, sehingga saling menyalahkan antar anggota keluarga, juga antar toko dengan toko lain. Banyak juga yang sampai menyalahkan dokter dan tenaga kesehatan.
Karena memang didesain untuk adu domba dan mencari keuntungan, maka hoax itu sengaja diproduksi. Produksi hoax menjadi pekerjaan baru, karena menghasilkan uang jutaan rupiah. Ini diakui dengan sangat jelas oleh anggota Saracen yang mendulang jutaan rupiah dari Pilkada Jakarta. Ini sangat menyakitkan, karena produksi hoax itu mendapatkan kesenangan berupa uang berlimpah di tengah kesedihan, fitnah, bahkan robeknya persatuan dan kesatuan bangsa.
Ada dampak serius yang terjadi dari tersebarnya berita hoax ini. Secara psikologis, berita hoax menimbulkan rasa khawatir dan cemas guru, siswa, dan orang tua. Karena arahnya provokasi dan adu domba, hoax menjadikan guru dan siswa kehilangan konsentrasi dalam proses pembelajaran. Ingatan dan imajinasi guru dan siswa terseret dalam arus hoax, sehingga tidak mampu mencerna proses pembelajaran. Guru tidak maksimal dalam mengajar, siswa juga tidak mampu menangkan materi pelajaran secara utuh. Akibatnya sangat fatal, karena akan melahirkan kemunduran dan menurunnya kualitas pembelajaran. Ilmu yang didapatkan siswa tentu akan merosot, dan siswa kehilangan masa emasnya dalam belajar.
Secara sosiologis, hoax menjadikan relasi antar sesama saling curiga dan buruk sangka. Relasi antara guru dan siswa bisa terjebak dalam lubang konflik, sehingga persoalan pembelajaran dan pendidikan malah terabaikan. Guru tidak lagi bisa menangkap indikasi dan makna proses pembelajaran, sedangkan siswa tidak memiliki hubungan yang akrab dengan gurunya. Ini sangat berbahaya, karena lingkungan pendidikan menjadi tidak harmonis dan saling mencurigai. Dalam konteks bermasyarakat, guru dan siswa juga bisa terseret dalam konflik sosial horisontal sehingga merusak tatanan hubungan antar kelompok dan golongan.
Dari sini, pendidikan anak menjadi taruhan. Masa emas untuk meraih ilmu pengetahuan bisa terganggu, bahkan bisa gagal. Ini juga pertaruhan masa depan bangsa dan negara, karena anak-anak itulah tumpuan masa depan.
Menjadi “Smart” Berteknologi
Smartphone hanya sebatas alat, tinggal manusia yang menggunakannya. Untuk itu, semua harus bersepakat menjadi smart. Tanpa visi menjadi smart, maka di situ berita hoax sangat cepat mendekat dan sekaligus menjadi korban hoax. Guru harus menjadi smart, orang tua harus menjadi smart, anak juga diarahkan menjadi smart, tenaga kependidikan juga menjadi smart, masyarakat juga menjadi smart. Kalau semua bisa terkondisikan dan bersepakat, maka lahirlah sekolah yang mencerdaskan (smart school).
Agar semua bersepakat menjadi smart, sekaligus memutus rantai hoax, Renald Kasali (2015) mengajak sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah agar mempunyai kesungguhan dalam mentalitas tangguh. Sikap itu adalah senantiasa terbuka dengan pengalaman baru (openness to experince), bukan kaum introvet yang doyan menarik diri dari pergaulan sosial (extroversion), selalu komit terhadap kesepakatan (agreebleness), dan secara emosional mampu menghadapi segala bentuk tekanan dengan kepala dingin (neuroticism) alias tidak gampang meliuk ketika didera kesulitan. Kelima pembentuk kepribadian ini disebut Renald Kasali sebagai Change Deoxyribo Nucleid Acid (DNA Perubahan).
Mentalitas tersebut pertama-tama justru harus melekat dalam diri guru dan orang tua, sehingga menjadi smart teacher dan smart parent. Kalau guru dan orang tua terkondisikan, maka sekolah akan menjadi smartschool. Kebijakan pemerintah juga harus cerdas, atau smart goverment, sehingga kebijakan mampu memberikan daya dukung dan daya dorong bagi perkembangan anak generasi Z. Smartphone yang dipakai anak setiap hari akan menjadi media sangat strategis sekolah dan orang tua untuk membentuk lahirnya smartkid. Inilah yang diharapkan anak generasi Z.
Menurut Deva Rachman (2015), lembaga pendidikan harus mampu memanfaatkan smartphone atau gadget agar berfungsi dengan aplikasi-aplikasi pintar di dalamnya. Siswa diajak belajar bagaimana membuat suatu aplikasi mulai dari nol sampai menjadi sebuah proposal konsep yang bernilai jual. Mulai dari pembuatan ide, penulisan proposal dalam bentuk power points hingga mempresentasikan aplikasi buatan mereka kepada pada dewan juri.
You’ll be amazed of what they’re capable of (Anda akan kagum dengan apa yang mereka mampu). Smartphone berupa gadget kalau dimaknai dan digunakan secara positif untuk anak akan melahirkan karya besar.
Buzzer dan Inovasi Gerakan
Di tengah kondisi yang dipenuhi banjir hoax ini, penulis sebagai guru merasa gerah. Sejak awal 2017, penulis bertemu dengan para aktivis media sosial dan ahli teknologi untuk memahami lebih serius terkait media sosial dan hoax. Ada yang positif, ada yang negatif dari teknologi. Dari sini, penulis mengajak para guru untuk menyatukan langkah. Pertama-tama ya guru ini yang penulis ajak untuk melakukan aksi melawan hoax. Saya mempertemukan ahli teknologi ini dengan para guru ini, kemudian merumuskan langkah-langkah strategis. Saya mengajak guru-guru muda untuk menjadi buzzer dalam menyebarkan berita-berita positif.
Inilah cara paling strategis, sehingga para guru terbiasa membaca sekaligus menyebarkan bacaannya kepada publik, khususnya para siswa. Guru juga saya ajak untuk aktif menulis, sebagian sudah mampu menulis. Dengan menulis, mereka semakin rajin menyebarkan konten-konten positif kepada publik, termasuk kepada kolega, keluarga dan siswanya. Dari sini, saya melihat satu langkah sangat baik, sehingga para guru semakin perhatian terhadap hoax. Karena aktif dan cermat dalam melihat media, para guru juga tertantang semakin produktif dalam menulis dan membendung hoax. Saya tidak sendirian, karena ditemani para guru muda yang progresif. Ada guru muda bernama Nur Rokhim. Selain guru, dia juga jurnalis independen. Dia saya jadikan partner dalam menggugah guru muda membendung hoax sekaligus mencerahkan satuan pendidikan dalam pembelajaran di sekolah kami.
Dari buzzer para guru muda ini, kita bersepakat mengajak siswa untuk suka membaca. dengan memberikan penjelasan terkait bahaya hoax dan pentingnya membaca, para siswa mendesain ruang kelas menjadi taman bacaan. Tembok ruang kelas ditempeli kertas koran. Ketika masuk kelas seakan sedang masuk ruang bacaan. Di pojok ruang kelas, dibuat jadi “pojok baca” walaupun dengan buku seadanya. Anak-anak dikenalkan Najwa Shihab menjadi Duta Baca Indonesia. Di pojok baca itu dan ruang kelas yang penuh bacaan itu, anak-anak berharap suatu saat Najwa bisa datang di sekolah kami dan memberikan motivasi mereka untuk bisa menjadi orang suka baca dan menyebarkan spirit membaca kepada semua.
Kreativitas anak-anak yang selalu didorong Kepala Sekolah, sehingga anak-anak terus melakukan inovasi gerakan. Oktober 2017 lalu, Kepala Sekolah akhirnya mengadakan lomba kreasi siswa dalam mendesain kelas. Anak-anak berlomba mendesain kelasnya dengan kreasi dan inovasinya, dengan penuh keyakinan anak-anak termotivasi untuk menjadi duta literasi di masa depan. Kelas yang didesain sebagai taman baca, sehingga para siswa di kelas merasakan belajar tidak dalam tekanan, tetapi dalam suasana bahagia.
Dari sini, inovasi gerakan kita mulai. Anak-anak ini akan menjadi impian bangsa di masa depan. Dari ruang kelas yang menyenangkan untuk membaca, berita hoax tidak akan bisa mendekat dan meracuni para siswa. Para guru dan siswa akan menjadi yang terdepan anti hoax, sekaligus menjadi produsen bacaan yang mencerdaskan dan mencerahkan.
*Muhammadun, Guru MTs Binaul Ummah Ploso Wonolelo Pleret Bantul.