Genealogi Tasawuf Imam Al-Ghazali di Nusantara

Genealogi Tasawuf Imam Al-Ghazali di Nusantara

Genealogi Tasawuf Imam Al-Ghazali di Nusantara.

Melalui Ihya Ulumiddin, Imam Al Ghazali merumuskan sikap: apabila bertasawuf harus disertai dengan pemahaman fiqih yang kuat. Sebaliknya, yang berfiqh juga harus mempelajari tasawuf, biar luwes.

Imam Al Ghazali memiliki semacam silabus pembelajaran tasawuf melalui kitab yang beliau tulis. Bagi pemula sangat cocok mengkaji Kimya-us Sa’adah. Lalu dilanjutkan dengan Bidayatul Hidayah. Setelah itu melewati tahapan pengkajian Minhajul Abidin. Apabila melewati rangkaian kitab ini maka seseorang bisa mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin yang lebih berat. Kalau ingin yang lebih rumit dan filosofis, ada Misykatul Anwar. Dalam kurun waktu satu milenium terakhir, pemikiran Imam al-Ghazali banyak mempengaruhi corak tasawuf di dunia Islam.

Di kawasan Nusantara, banyak ulama yang menjadi penyambung lidah Imam al-Ghazali. Di antaranya nya Syekh Abdulssamad al-Falimbani (1704-1789. Ada juga yang menulis beliau wafat pada 1832) yang menulis dua karya prestisius sebagai saduran atas dua karya besar Al Ghazali. Karya pertama, Sairus Salikin, sebuah karya berbahasa Melayu yang merupakan saduran dari Ihya’ Ulumiddin. Karya berikutnya, Hidayatus Salikin, merupakan terjemah bebas Bidayatul Hidayah.

Dalam Sairus-Salikin, Syekh al-Falimbani menyebut kurang lebih 100 judul kitab yang berguna bagi para penempuh jalan tarekat. Syekh al-Falimbani juga melakukan kategorisasi kelompok sesuai dengan martabat yang perlu digapai oleh para pembacanya. Untuk para mubtadi’ (pemula), Syekh al-Falimbani menganjurkan kitab-kitab tasawuf akhlaqi, seperti berbagai kitab karya Imam al-Ghazali.

Sementara itu bagi mutawassith (tahap pertengahan), Syekh al-Falimbani menyodorkan berbagai kitab, khususnya berbagai syarah kitab Hikam. Ada sekitar 30 kitab yang disebutkan. Bagi mereka yang telah mencapai derajat tertinggi (muntahi), Syekh al-Falimbani menyebut 30 judul kitab yang mayoritas adalah kitab-kitab berbasis wahdat al-wujud. Hal ini menunjukkan apabila secara keilmuan, Syekh al-Falimbani tidak alergi apalagi anti pada kajian tasawuf falsafi ala Ibn ‘Arabi, Abdul Karim al-Jili, Muhammad Fahdlullah Burhanpuri, maupun para pegiat tasawuf falsafi di Sumatera, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Setelah era Syekh al-Falimbani, pembumian karya Al-Ghazali juga dilakukan oleh Syekh Daud Fathani yang menulis terjemah berbahasa Melayu atas Minhajul Abidin. Setelah itu Syekh Nawawi Al-Bantani menulis syarah Bidayatul Hidayah yang berjudul Maraqi Al-Ubudiyah.

Syekh Soleh Darat juga menulis Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalat serta Munjiyat yang merupakan perasan dari Ihya Ulumiddin.

Selepas itu ada Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri yang menulis Sirajut Thalibin Syarah Minhajul Abidin. Salah satu ulasan terbaik atas karya Imam Al-Ghazali.

Di Pasundan, ada KH. Abdullah Bin Nuh yang selain mengajarkan Ihya Ulumiddin selama puluhan tahun di lembaga yang beliau namakan “al-Ghazali”, juga memeras bab tazkiyatun nafs dalam kitab tersebut melalui karya berbahasa Sunda yang diberi judul “al-Akhlaq”. Beliau juga menerjemahkan Minhajul Abidin.

Hingga saat ini pun, pemikiran al-Ghazali masih berakar kuat. Di kalangan Nahdlatul Ulama, bahkan pemikiran beliau dijadikan sebagai landasan bertasawuf selain Imam Junaid al-Baghdadi. Di banyak pesantren, Ihya’ Ulumiddin juga masih dikaji dengan baik.

Wallahu A’lam Bisshawab.

*Beberapa poin makalah saya, “Melacak Genealogi Tasawuf Imam al-Ghazali di Nusantara” yang saya sampaikan dalam Seminar Kefahaman Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dan Pemikiran Semasa 2019 di Kolej Universiti Perguruan Ugama (KUPU) Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, Kamis Pahing, 14 Dzulhijjah 1440 H/ 15 Agustus 2019.

Penulis: Dr KH Rijal Mumazziq Z, rektor INAIFAS Jember.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *