Lebih jauh harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat.
Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin.” Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) muslim.”
Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya “fiqih politik” (fiqh siyasah) yang sering sekali diktum-diktumnya tidak sejalan dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum.
Rumusan fiqh siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai “kelas dua” bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan demikian harus mulai diubah. Sebab pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara bangsa (nation-state) seperti Indonesia.
Profesionalisme, kemampuan dan kapabilitas mestinya menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan,” dawuh KH. Sahal Mahfudz dalam kata pengantar yang ditulisnya tahun 2004 untuk buku Ahkamul Fuqaha.
—–
Peter Sanders, fotografer kenamaan asal Inggris, adalah satu dari sedikit orang yang beruntung dapat menemui KH. Sahal Mahfudz, untuk memohon nasihat dan doa, beberapa minggu menjelang wafatnya. Momen berharga ini dengan jujur Peter tuliskan dan tangkap dengan kameranya.
KH. Sahal Mahfudz merupakan satu dari lima “gunung” Indonesia yang ia bukukan dalam “Meeting with Mountains”; sebuah buku yang merangkum perjalanannya selama 50 tahun terakhir menemui para masyayikh, sebagiannya ia percaya sebagai wali, dari seluruh dunia.
Penulis: Muhammad Rodlin Billah, PCI NU Jerman.