Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Menarik dan sekaligus menggembirakan sekali menemukan ungkapan begini dalam kitab Sirr al-Asrar Fima Yahtah Ilaihi al-Abrarkarya Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah:
“Makrifat tidak dapat dicapai melalui usaha manusia. Makrifat adalah anugerah dari Allah Swt. Setelah seseorang berada dalam tingkatan makrifat, si ‘Arif (ahli makrifat) akan mengenal rahasia-rahasia Allah Swt. Allah Swt memperkenalkan rahasia-rahasiaNya kepada mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar melalui dzikruLlah. Dan hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan untuk menerima rahasia Ketuhanan. Sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah Saw, ‘Mataku tidur tetapi hatiku senantias terjaga.’”
Ini sungguh-sungguh menakbirkan harapan besar kepada kita semua tanpa kecuali, hanya dengan syarat sederhana: (1) menjaga hati hidup dan sadar melalui dzikruLlah, dan (2) menjaga hasrat dan keinginan hati untuk menerima rahasia Ketuhanan.
Kiranya, dua syarat ini dekat dengan jangkauan tangan derajat kita –kendati kita pun memahami bahwa ini adalah derajat awal belaka.
Baiklah, tak mengapa, semoga Allah Swt dengan Rahman RahimNya suatu kala berkenan mengaruniakan derajat yang lebih tinggi dan tinggi lagi kepada kita. Amin.
Telah kita ketahui bahwa dzikir merupakan pintu bagi penyambungan hati kepada Langit ‘Azza wa Jalla melalui cara kerjanya yang “meminggirkan” kemilau duniawi. Gravitasi bumi mesti dikikis, terus dikikis, digantikan gravitasi langit.
Kesadaran dan pehamanan terhadap prinsip tersebut menjadi kemutlakan sederhana yang mesti kita genggam dan amalkan selalu. Minim-minimnya, kesadaran dan pehahaman tersebut telah memenuhi asas niat dan cita-cita untuk menuju kepada kemakrifatan di dalam hati. Maka, mari mulai saja darisekarang. Ya, sekarang juga. Jangan tunda lagi….
Beliau qaddasahuLlah menasihatkan lebih terang bahwa niat dan cita-cita tersebut mesti senantiasa dijaga dan dihidupkan di dalam hati. Kemudian dijalankan. Jikapun dalam perjalanannya belum sampai ke Rahasia Ketuhanan, makrifatuLlah, kita terima itu sebagai kehendak dan keputusanNya belaka. Bagaimanapun, itu semua takkan pernah sia-sia; niscaya selalu ada hikmah rohani dalam skala apa pun yang bila kita memahaminya kelak di situlah letak karunia makrifatNya.
Dengan gaya analogis, beliau qaddasahuLlah menukil hadis yang meriwayatkan tentang seseorang yang telah berniat dan berhajat besar untuk menuntut ilmu, lalu dia mengusahakan mewujudkan cita-citanya, yakni mencari ilmu, tetapi tiba-tiba ia meninggal dunia sebelum cita-citanya tercapai, maka kelak Allah Swt akan mengutus dua malaikat untuk mengajarinya di dalam kubur hingga datang hari kiamat, dan ia akan dibangkitkan kelak dari kuburnya sebagai seorang alim.
Mungkin saja, sebutlah karena dangkalnya fana kita dalam berdzikir kepadaNya di dunia ini, hadirnya niat dan cita-cita besar di dalam hati untuk taqarrub kepadaNya, mentersambungkan diri kepadaNya dalam segala keadaan, siang dan malam, belum membawa kita mampu menjangkau rahmat rahasia-rahasiaNya. Atau, dikaruniai Rahasia KetuhananNya.
Itu, dalam tuturan awal di atas, adalah mutlak wewenang Allah Swt. Kita terima saja dengan lega dan ikhlas.
Penerimaan ini sekaligus menjadi pendidikan rohani yang sangat mendalam kepada kita bahwa seyogianya kita pun senantiasa menyadari dan dan memahami betapa keluasan ilmu dan kekokohan amal kita sama sekali bukanlah penjamin bagi terbukanya gerbangmakrifatuLlah itu. Ia tetaplah mutlak milikNya yang bebas hendak dikaruniakanNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Allah Swt adalah Dzat Yang Maha Bebas!
Dengan cara begitu, kita akan terselamatkan dari rongrongan kepercayaan pada kekuatan ilmu dan amal diri, yang itu menandakan sebuah bengkoknyaarah rohani kepada ghariuLlah. Begitu hikmah mendasarnya.
Walhasil, mari sikukuhkan diri, wilayah kita selalu hanyalah mengemban tugas mengawal niat dan cita-cita diri dalam menggapai makrifat tersebut dengan mengintensifkan diri dalam menjalankan amal-amal kebaikan (ibadah, dzikir, dan akhlak sosial). Dan, tentu, tak lupa terus memohon kepadaNya agar diberi pertolongan dan karuniaNya. Bukankah bisa merawat niat dan cita-cita pun merupakan karuniaNya?
Sampai di sini, secara kritis, kiranya dapat kita hamparkan ketelitian kepada ajaran rohani yang menyatakan bahwa untuk mencapai makrifatuLlah kita mesti begini dan begitu, harus mengamalkan ini dan itu, wajib melakoni berikut dan berikutnya lagi, secara baku dan kaku –dengan menegasi jalan-jalan di luarnya.
Secara ilmu, segala bentuk ajaran bermakrifat tentulah bisa kita terima saja. Sahih. Kita bahkan sangat butuh benar kepada pengajaran, bimbingan, dan nasihat, serta amalan dari suatu komunitas atau mursyid. Sekali lagi, itu sahih semua.Insya Allah, di bagian berikutnya akan kita kaji lebih khusus agar tak menimbulkan kesalahpahaman.
Akan tetapi, klaim keilmuan itulah yang kiranya kurang tepat. Ini saja letak kritisinya. Sebab, sekali lagi, pada prinsipnya, gapaian kemakrifatan adalah mutlak karunia Allah Swt yang tidak bisa dimetodiskan, disistematiskan, atau dimasifkan sama sekali.
Ia given, mutlak given, bukan taken, dan sangat personal, sesuai dengan ragam pengalaman rohani yang diarungi masing-masing orang.
Derajat taken kita adalah semata dzkriuLlah tersebut.
Kesinambungan dzikir yang telah mbalungi (malakah dalam istilah Gus Mus), tanda ia telah sublim ke dalam hati, secara logis bisa dipahami akan mengkoneksikan segala gerak-gerik diri tanpa kecuali. Semakin rapat koneksi tersebut, tentulah semakin baik. Dan seterusnya, pula sebaliknya.
Sampai di sini, tuturan menggembirakan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlahini meruahkan optimisme kemudahan buat kita semua untuk: mari kita terus jaga dan kawal niat dan cita-cita rohani di dalam hati untuk barangkali suatu kelak dihadiahiNya karunia kemakrifatanNya. Mari perbanyak dzikir, ingat kepada Allah Swt, bersambung denganNya, lisan dan kalbu, sebagaiwashilah-nya.
Bukankah dengan ingat Allah Swt, dzikir kepadaNya, hati akan menjadi tenteram, damai, dan sentosa? Bukankah itu adalah situasi batin yang menyenangkan, yang semua kita impikan? Bukankah itu dapat pula kita pahami untuk disyukuri sebagai karunia kemakrifatan dariNya dalam skala demikian tersebut?
Jika kita telah pernah merasakan indahnya rasa dan perasaan tenteram, damai, dan sentosa begitu rupa di dalam hati, bukankah seyogianya tiada alasan apa pun bagi kita untuk tidak menyenantiasakannya?
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 25 Agustus 2019