Awalnya, Al-Azhar adalah sebuah masjid—masjid agung pertama—sekaligus universitas di kota Kairo yang dibangun oleh Jauhar Al Katib As Shaqly, lebih dari 1000 tahun lalu. Tepatnya, bangunan Al-Azhar didirikan pada bulan Ramadan tahun 361 H./ Juni 875 M., yang berfungsi sebagai masjid. Nama Al-Azhar itu sendiri berhubungan erat dengan Dinasti Fatimiyah yang mendirikannya.
Al-Azhar adalah simbol bagi Sayyidah Fâtimah Azzahrâ, putri Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pada saat dibangun, ia berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya, di dalamnya ada 3 ruwaq atau ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Masa itu luasnya hanya setengah dari luas bangunan sekarang.
Setelah perkembangan perannya yang menyebar di berbagai wilayah; gerakan masjid, universitas dan segala unit-unitnya yang berpusat di Al-Azhar Kairo itu dipimpin oleh seseorang yang disebut sebagai “Musyrif Al-Azhar”. Perkembangannya, istilah itu berganti menjadi “Nazhir Al-Azhar”. Pada era Usmani, istilah tersebut berganti lagi menjadi “Al-Imâm Al-Akbar”, atau Grand Syaikh Al-Azhar, atau Imam Besar Al-Azhar.
Seiring perkembangan dan perubahan zaman, Grand Syaikh Al-Azhar menjadi pemimpin ulama Islam Sunni yang dihormati, dan jabatan publik penting di Mesir. Ia juga merupakan “otoritas” tertinggi dalam pemikiran dan sikap Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat Islam di seluruh dunia.
Pergerakan Al-Azhar semakin lama semakin penting dan amat dirasa oleh umat, terutama di bidang pendidikan. Per hari ini, ada sekitar 33 ribu “santri’ dari berbagai 108 negara yang belajar di Al Azhar—5 ribu di antaranya dari Indonesia. Pejabat Grand Syaikh Al-Azhar sekarang adalah Prof. Dr. Mohammed Ahmed Thayyeb.
Kunjungan beliau ke Indonesia atas undangan Presiden Jokowi untuk acara KTT Ulama dan Tokoh Intelektual Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam. Selama kunjungannya, beliau melaksanakan kegiatan lainnya, di antaranya pertemuan Alumni Al-Azhar Indonesia di Solo; Dialog di UMS; Silaturahmi di Pondok Gontor Putri Ngawi, serta Dialog di kantor PBNU Jakarta. Di antara berbagai acara tersebut, saya sangat terkesan dengan 2 hal.
Pertama, persembahan lagu kebangsaan Mesir oleh santri-santri putri pondok Gontor. Saya yakin, semua alumni Mesir “trenyuh” dan ikut larut menjiwai bait demi bait yang dilantunkan. Saya juga yakin persembahan tersebut menjadi energi bagi Al-Azhar untuk meneguhkan komitmen kebangsaannya di hadapan publik Mesir. Saya mengikuti banyak status medsos kalangan media atau rombongan Al-Azhar yang sangat terkesan dengan persembahan tersebut.
Seorang pemuda Mesir mengomentari sajian tersebut dengan menulis status FB, “Saya sangat senang mendengar lagu kebangsaan Mesir (dinyanyikan). Al-Azhar berhasil menumbuhkan kecintaan kepada Mesir di hati para mahasiswa asing. Murid-muridnya berhasil menyebarkan cinta ini di tanah air mereka”. Lain lagi Syaikh Abbas Shoman, salah seorang petinggi Al-Azhar, yang menulis di FB, “Saya tidak tahu bagaimana mereka yang suka menyerang Al-Azhar melihat apa yang terjadi di Indonesia. Saya tidak tahu apakah mereka bangga…”.
Menyaksikannya, saya larut dalam “nasionalisme Mesir”, dan saya ucapkan terima kasih kepada civitas Pondok Gontor Putri yang memberikan “hiburan membahagiakan” kepada rombongan Grand Syaikh. Saya yakin, persembahan itu sangat menghibur dan menambah kekuatan, terutama setiap saya mengingat Al-Azhar selama ini dimusuhi oleh kelompok Islam radikal dan garis keras di Mesir.
Kedua, hal yang membuat saya terkesan pada acara Grand Syaikh adalah pertemuan di kantor PBNU. Secara konten memang tidak ada hal baru; sebab baik Al-Azhar maupun NU memiliki prinsip beragama yang sama, dan sama-sama menempatkan agama di posisi moderat. NU, lebih kurangnya, adalah copy-paste Al-Azhar. Ketika muslim “literal” menolak cara pandang NU yang melibatkan mazhab fikih, Al-Azhar justru mengidentifikasi pelajaran fikih berdasarkan mazhab yang dianut mahasiswanya.
Di Mesir, Al-Azhar berjuang melenyapkan literalisme dan radikalisme yang diajarkan oleh Ikhwanul Muslimin, sedang di Indonesia NU teguh mantap menghadapi ajaran “sesat” yang di-import oleh “penggemar” Ikhwanul Muslimin. Sama-sama sepakat bahwa Wahabisme alias Wahabiyah adalah bahaya laten (Al-Azhar selangkah lebih tegas : menganggap Salafi-Wahabi bukan bagian Ahlussunnah Wal Jamaah). Melihat semakin menjadi-jadinya gerakan radikalisme, kalangan moderat harus bersatu. Tidak boleh mengalah sama orang gila. “Yang waras jangan mengalah”, prinsip GP. Ansor.
Jadi, memang tidak ada materi baru, terutama tentang tema Wasatiyyah atau moderatisme. Yang penting dari pertemuan kedua pemimpin agama itu adalah dialog yang begitu akrab, cair, berisi—dengan fakta lain dimana Kiai Said tanpa harus meninggalkan kebiasaan untuk “slenge-an”.
Saya juga menangkap, Grand Syakh sangat enjoy serta merasa “at home”, statemen yang mengalir alami dan berwibawa, bukan bermanis-manis muka. Bagi yang mengikuti presentasi beliau di berbagai tempat, pasti akan tahu hal itu. ‘Alâ kulli hâl, top banget. Bravo Grand Syaikh, Bravo Presiden Jokowi, Bravo NU, Bravo Kiai Said Aqil. Semoga Allah Swt melindungi anda dan kita semua. Amin.
Menutup statemennya tentang moderatisme ber-Islam, Grand Syaikh Al-Azhar dengan mantap dan tegas menyatakan, “Al-Azhar berada di belakang Nahdlatul Ulama”.
(Penulis: KH. M. Lutfi Thomafi, Alumnus Universitas Al-Azhar)