Ditunjuk Sebagai Rais Aam, Kiai As’ad dan Kiai Mahrus: Meskipun Malaikat Memaksa, Kami Tolak
Rais Aam adalah jabatan tertinggi di NU. Sebagaimana diketahui, dalam struktur organisasi NU ada syuriah dan tanfidiyah.
Syuriah adalah sebuah badan musyawarah yang mengambil keputusan tertinggi dalam struktur kepengurusan NU. Syuriah terdiri dari para ulama dan kiai. Pemimpin syuriah disebut dengan nama Rais Aam. Sementara tanfidiyah adalah badan pelaksana harian organisasi NU. Pemimpin tertinggi tanfidiyah disebut ketua umum, bukan rais aam.
Seperti dikutip NU Online, menurut Presiden Hoopd Bestuur Nahdlatoel Oelama (sekarang istilahnya Ketua Umuma PBNU) Mahfud Shiddiq, syuriyah berarti ruh, sedangkan tanfidiyah jasad atau jasmani. Kedua kelompok ini tidak boleh terpisah dari NU. Tanfidiyah tidak bisa melakukan pergerakan organisasi tanpa sepengetahuan syuriyah. Hal ini sepertinya ditegaskan mengingat NU didirikan para ulama.
Sebagai posisi tertinggi di NU, tidak semua orang bisa menduduki posisi Rais Aam. Bahkan tak jarang, para kiai besar NU menolak ketika ditunjuk sebagai Rais Aam. Para kiai tersebut, merasa belum pantas. Walaupun, secara kualifikasi sudah memenuhi tapi mereka tetap menjaga sikap tawadu. Berkaitan dengan hal itu, KH. Mustafa Bisri atau yang dikenal dengan Gus Mus pernah bercerita bahwa NU punya tradisi selalu berebut menolak untuk memegang jabatan.
Kiai Wahab dan Kiai Bisri menolak menjadi Rais Akbar (sebutan Rais Akbar hanya disandang oleh Kiai Hasyim, sepeninggal beliau, namanya diubah menjadi Rais Aam) karena ada Kiai Hasyim Asy’ari. Tentu saja, beliau berdua merasa tak pantas karena masih ada Kiai Hasyim.
Tahun 1947, KH. Hasyim Asy’ari Wafat. Kiai Wahab dan Kiai Bisri tetap menolak menjabat sebagai Rais Akbar, apalagi para kiai lainnya. Pada Muktamar NU ke-17 di Madiun, akhirnya Kiai Wahab Hasbullah bersedia menerima keinginan para muktamirin dengan syarat Rais Akbar diganti dengan istilah Rais Aam. Hal ini menunjukkan betapa tawadunya Kiai Wahab Hasbullah.
Tahun 1971, NU menggelar Muktamar ke-25 di Surabaya. Saat itu, Kiai Wahab Hasbullah dalam kondisi sakit dan sudah sepuh. Melihat kondisi tersebut, para peserta muktamar sepakat menunjuk Kiai Bisri Syansuri sebagai pengganti. Apa yang terjadi? Kiai Bisri menolak dengan tegas.
“Selama masih ada Kiai Wahab, meski beliau sakit dan hanya bisa tiduran saja, saya tidak akan bersedia mengganti Kiai Wahab,” kata Kiai Bisri.
Persis empat hari setelah Muktamar di Surabaya, Kiai Wahab wafat tanggal 29 Desember 1971. Sepeninggal Kiai Wahab, Kiai Bisri Syansuri baru kerso (mau) menjadi Rais Aam. Kiai Bisri kemudian wafat tahun 1980. Pasca wafatnya Kiai Bisri, posisi Rais Aam mengalami kekosongan karena Wakil Rais tidak serta merta bisa menduduki posisi tersebut. Para kiai sepuh berembuk memilih pengganti.
Saat itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang ditunjuk untuk menjadi Rais Am dengan tegas menolak karena merasa belum pangkatnya. Bahkan saat dipaksa oleh para kiai, Kiai As’ad berkata, “meskipun Malaikat Jibril turun dari langit untuk memaksa saya, saya pasti akan menolak!” Dan beliau dawuh, “yang pantas itu Kiai Mahrus Ali”
Kiai Mahrus Ali pun bereaksi saat namanya disebut Kiai As’ad, sembari berkata : “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!”
Akhirnya musyawarah ulama memutuskan untuk memilih Kiai Ali Maksum Krapyak.
Demikianlah kisah betapa tawadunya para kiai NU. Mereka sama sekali tidak silau dengan jabatan. Terbukti, ketika ditunjuk sebagai Rais Aam, dua kiai besar NU, Kiai As’ad dan Kiai Mahrus Ali menolak dengan tegas. Bahkan mereka berdua seolah sepakat berkata, “meskipun malaikat memaksa, kami menolak jadi Rais Aam.” (Rokhim)
Demikian Ditunjuk Sebagai Rais Aam, Kiai As’ad dan Kiai Mahrus: Meskipun Malaikat Memaksa, Kami Tolak. Semoga bermanfaat.