“Ada seorang kiai dan dosen di Jogja yang sangat baik. Beliau menyediakan tempat tinggal gratis bagi mahasiswa yang tidak mampu dan ingin mandiri, baik melalui belajar berbisnis atau menekuni dunia tulis-menulis,” demikian kata teman saya Najanuddin Muhammad memperkenalkan gurunya (yang nanti juga akan menjadi guru saya) Gus Zainal Arifin Thoha.
Dia panjang lebar menceritakan kebaikan Gus Zainal. Saya sangat tertarik dan tertegun mendengarnya. Di kota besar yang serba tidak gratis, kencing saja harus bayar, ternyata masih ada orang yang menyediakan tempat gratis khusus mahasiswa. “Sungguh baik sekali orang itu,” kata saya kepada Naja.
Kabar tentang kebaikan Guru kami ini saya dengar ketika masih duduk di bangku Madrasah Aliyah (setingkat SMA) di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur (Pulau Madura). Bagi saya, kabar baik ini tentu sangat mengembirakan. Terlebih saya merencanakan untuk melanjutkan pendidikan ke salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, tetapi tidak punya biaya untuk sewa tempat tingggal (kosan) di sana. Karena itu, kabar baik ini laksana pertama kali hujan di musim kemarau yang dapat menumbuhkan semangat saya untuk melanjutkan pendidikan di Jogja.
Namun, setelah menceritakan kebaikan luar biasa dari Gus Zainal, teman saya tadi kemudian mengakhiri kata-katanya yang membuat saya loyo dan sedikit kecewa, seperti orang yang sedang asyik-asyiknya nonton bola di layar televisi tapi kemudian listrik padam sehingga televisi itu mati seketika. Tentu tidak enak, kan. Ia mengatakan begini bahwa di pondok mahasiswa gratis asuhan Gus Zainal itu sudah penuh dengan santri. “Tempat tinggalnya sudah sesak, jadi sulit untuk menampung santri baru lagi, apalagi tempatnya yang digratiskan itu ngontrak,” katanya meyakinkan. Ya, Tuhan. Saya menunduk. Mendengar kabar ini semangat saya untuk bisa kuliah di Jogja menurun drastis, padahal sebelumnya sudah menggebu-gebu untuk segera bergabung dengan para santri yang dididik menjadi orang mandiri.
Setelah sedikit lama terdiam menahan kecewa, saya kemudian bertanya, berapa jumlah santri yang tinggal di sana, kok sampai penuh? Dijawab hanya sekitar kurang lebih 30-an orang. Saya heran. Saya bayangkan ratusan santri yang tinggal di sana, tapi rupanya tidak. Mengapa kok sudah dibilang penuh? Akhirnya saya memahami setelah diterangkan bahwa Gus Zainal tidak membangun pondok, seperti kiai-kiai di desa yang membangun pondoknya di atas tanah luas. Beliau hanya menjadikan rumah kontrakan (rumah yang disewanya) sebagai pondok. Sebuah rumah kontrakan kecil yang dihuni 30-an orang, tentu sudah sangat banyak dan sesak, bukan?
Benar. Saya semakin terdiam. Meskipun begitu, saya coba mengumpulkan semangat kembali. Ingin sekali mengatakan supaya dilobikan ke Gus Zainal tentang keinginan saya untuk menjadi santrinya sehingga bisa melanjutkan kuliah di Jogja. Dari saking inginnya, saya rela apabila nanti diberi tempat tidur di emperan pondoknya. Yang penting saya diakui santrinya dan punya tempat tinggal gratis di sana. Tapi perasaan malu telah menghalangi saya untuk mengatakan itu. Saya hanya berdoa, mudah-mudahan jika sampai waktunya ke Jogja, pondok itu sudah semakin besar dan bisa menampung banyak santri baru, atau saya mendapat kemurahan hati dari Gus Zainal sehingga saya bisa tinggal di sana di tengah-tengah santrinya yang banyak dan mandiri.
Meskipun tempat tinggal gratis dari Gus Zainal sudah tidak memadai, keinginan kuliah di Jogja tetap menyala. Saya kemudian mencari dan menghimpun informasi tentang Jogja dan bagaimana tinggal di sana tanpa harus bayar. Mengapa mencari tempat tinggal gratis? Terus terang, karena saya tidak punya uang untuk sewa tempat tinggal. Orang tua saya tidak mampu membiayai saya kuliah dengan fasilitas yang lengkap. Jangankan kuliah di kota besar yang jauh dari tempat kelahiran, di kota tempat kelahiran sendiri pun, yakni di Bondowoso Jawa Timur, orang tua saya tidak mampu untuk membiayai. Karena kondisi keuangan seperti ini dan semangat untuk melanjutkan studi di kota pendidikan, saya terpaksa mencari informasi gratisan.
Kata teman saya lainnya yang sudah kuliah di Jogja, saya bisa menjadi takmir masjid apabila butuh tempat tinggal gratis. Ya, waktu itu, yang saya ketahui, selain pondok Gus Zainal, ada masjid yang bisa dijadikan tempat tidur gratis, yakni dengan menjadi takmir masjid. Ini bisa menjadi tempat alternatif untuk bisa tinggal di Jogja, apalagi saya santri, tentu tahu cara mengelola atau mengurus kegiatan masjid. Baiklah, saya akan mencari lowongan takmir masjid apabila nanti tidak bisa nyantri di pondok Gus Zainal. Intinya saya bisa kuliah dan punya tempat tinggal gratis di Jogja.
Penulis: Masykur Arif Rahman, Sumenep Madura.