Oleh: KH Dr A. Zuhdi Muhdlor, Wakil Rais Syuriah PWNU DIY.
Cukup banyak perkara gugat cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama dilatar belakangi oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suami terhadap isteri.
Meskipun Indonesia telah memiliki UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan bahkan telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms Againts Woman, yakni konvensi penguapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan) ke dalam UU No 7 Tahun 1984, tetapi kasus KDRT di negara kita tetap menempati ranking yang tinggi.
Tak dapat dipungkiri, yang paling menderita dan dirugikan dari kasus KDRT adalah kaum perempuan (isteri) dan anak. Meski kasus KDRT dapat menjerat pelakunya ke dalam sel tahanan atau penjara, tetapi melaporkan kasus tersebut kepada aparat kepolisian justeru membawa dilema tersendiri bagi isteri, apalagi jika suami pelaku KDRT sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.
Masuknya suami ke sel tahanan atau penjara bagaikan buah simalakama. Penjara adalah tempat yang baik bagi pelaku KDRT yang diharapkan membawa efek jera bagi suami agar tak mengulangi perbuatan buruknya itu, tetapi di sisi lain banyak yang harus dipikirkan terutama implikasi negatif yang terjadi atau bisa terjadi.
Pertama; siapa yang akan mencari nafkah untuk keluarga? Bagi isteri yang tidak memiliki penghasilan sendiri, putusnya nafkah dari suami karena tidak bisa kerja tentu sangat menyengsarakan keluarga.
Kedua; kuatnya stigma negatif bagi orang yang pernah masuk penjara (menjadi narapidana), seolah-olah menjadi sampah masyarakat. Belum lagi beban psikologis yang dapat diderita anak-anaknya. Mungkin di sekolah atau di lingkungan mainnya mereka akan diledek atau dihina oleh teman-temannya sebagai anak narapidana, dsb, dsb.
Ketiga; tidak sedikit suami yang masuk penjara karena KDRT menyimpanan dendam yang sewaktu-waktu dapat meledak lebih dahsyat. Kondisi ini dapat mempengaruhi psikis anak di masa depan khususnya untuk menempuh rumah tangga.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, tidak sedikit seorang isteri yang kemudian mengambil sikap tidak melaporkan KDRT yang dialaminya kepada aparat kepolisian, atau mencabut laporannya bagi yang telah melaporkan. Alhasil isterilah yang tetap menderita, akan merasakan sakit baik sakit fisik maupun sakit hati.
Semoga rumah tangga kita selalu dalam keadaan baik tidak ada KDRT baik fisik maupun non fisik.
(Purwodadi 12 Februari 2019).