Oleh : Habiburrahman El – Syirazi
Karna cinta yang membara
Ia angkat senjata melawan Belanda
Bersama seluruh ulama’ dan kesatria tanah jawa
Membela kehormatan agama dan bangsa
Di bawah panji – panji Pangeran Diponegoro yang menyala
Karna cinta yang membara
Ia eja alif ba’ ta’
Setelah pangeran ditipu Belanda dan perang reda
Ia kunyah kata demi kata
Ayat demi ayat
Ia waku tirakat
Ia ingin kitabullah jadi jiwanya, jadi darah dagingnya
Siang malam ia mujahadah
Bumi dan matahari
Langit dan bintang gemintang
Semua menjadi karib setianya
Dalam terbata – bata menyesap kata demi kata
Ayat – ayat Allah Azza wa Jalla
Karna cinta yang membara
Ia tidak surut asa
Meski cita – cita agungnya belum purna
Ia tetap laku tirakat
Meminta kepada sang pemilik ayat agar cita – citanya sempurna pada keturunannya
Menjadi ahlul Qur’an kekasih Nabi nya
Ohoi,,
Indahnya cinta
Cinta yang membara
Cinta orang – orang shalih pada keturunannya
Bukankah lahirnya Nabi paling mulia di antaranya karna do’a Ibrahim kakeknya
Karna cinta
Ya, karna cinta yang membara
Do’a dan cita – citanya genap pada cucunya
Sepuluh tahun umurnya
Hafal seluruh ayat dari al Fatihah hingga an Naas
Tak ada yang tanggal, fasih sempurna
Anak kecil itu, Muhammad Munawwir namanya
Kyai Abdullah Rosyad, ayahnya
Kyai Hasan Bashori, kakeknya
Kesatria kepercayaan Pangeran Diponegoro
Karna cinta yang membara
Kisah pesantren ini bermula
Munawwir kecil dikirim mengembara ke Bangkalan Madura
Untuk mendapatkan didikan barokah dan cinta dari Mahaguru pencetak ulama’ Syaikhul Auliya’ Muhammad Kholil rahimahullah ta’ala
Jika di tangan empu gandring besi rongsokan jadi pusaka bertaji
Di tangan Syaikhul Auliya’ Muhammad Kholil Bangkalan dengan izin sang penguasa langit dan bumi, semua santri menjadi pewaris Nabi
Karna cinta yang membara
Munawwir muda mengembara
Menyeberang samudra tanah kelahiran Al Musthofa tujuannya di sana
Dalam semerbak aroma kenabian
Ia reguk ilmu dan hikmah para ulama’ Al Qur’an dan ilmu – ilmunya paling utama
Dua puluh satu tahun lamanya
Syaikh Abdullah Syangqoroh, syaikh Sarbini, Syaikh Mutri, Syaikh Ibrahim Khuzaini, Syaikh Mansyur, Syaikh Abdus Syakur, Syaikh Mustofa, Syaikh Yusuf Hajar dan Syaikh Abdul Karim bin Umar al Badri ad Dimyati adalah guru – gurunya
Yang sanad dan wangi ilmunya sampai kepada Rasul mulia
Karna cinta yang membara
Dua puluh satu tahun lamanya
Ia simpan rindu pada tanah air tercinta
Rindu kepada handai taulan dan keluarga
Ia ikrarkan dalam batin terdalamnya
Tidak akan pulang ke kampung halaman sebelum tuntas dan lunas mengkhatamkan Al Qur’an empat puluh kali hafalan tanpa jeda
Tanah suci menjadi saksi sumpahnya
Karna cinta yang membara
Di samping ka’bah ia tunaikan sumpahnya
Ia khatamkan Al Qur’an dengan hafalannya
Sahabat – sahabat bergantian menyimaknya
Khatam sekali, ia mulai lagi
Khatam kedua, ia mulai lagi
Khatam ketiga, ia mulai lagi
Khatam ke empat, ia mulai lagi
Khatam ke lima, ia mulai lagi
Khatam ke enam, ia mulai lagi
Khatam ke tujuh, ia mulai lagi
Begitu seterusnya, sekian belas khataman mulutnya berdarah
Bacaan Qur’annya tidak ia hentikan
Dengan ridha Allah pemilik Al Qur’an
Sumpahnya sempurna tertunaikan
Ia khatamkan Al Qur’an empat puluh kali dengan hafalan
Setelah sebelumnya ratusan kali Al Qur’an ia khatamkan dalam sholat – sholatnya di keheningan malam
Jangan heran
Jangan heran
Jangan heran
Jika karna cinta yang membara
Khidzir pun menemuinya dan menyalaminya
Birobbikh sana
Dan hanya orang – orang yang arif billah yang tahu maknanya
Karna cinta yang membara
Ia kembali ruku’ dan sujud di kampung halamannya
Mengajarkan Al Qur’an dan ilmu – ilmu yang telah di resapnya dari para ulama’
Mula – mula sepuluh santri
Tapi mereka semua jadi ahlul Qur’an yang mulia
Siapa yang tidak kenal kyai Arwani Kudus, kyai Umar Mangkuyudan, Kyai Muntaha Wonosobo, Kyai Badawi Kaliwungu, Kyai Murtadlo Buntet Cirebon, Kyai Mufid Kaliurang dan lain – lainnya
Mereka semua adalah begawan – begawan ulama’ Al Qur’an dan mereka semua adalah murid – muridnya
Karna cinta yang membara
Aku tulis puisi ini
Mengenang jejak ulama’ Rabbani, Syaikhona Muhammad Munawwir
Mahaguru para ulama’ Al Qur’an di tanah Jawa ini
Semoga puisi ini menjadi saksi cinta seorang santri kepada kyai – kyainya
Berharap kelak berkumpul mendapat syafa’at ulama’ shalihin para pewaris Nabi
Krapyak, 10 Oktober 2018
*) Dibacakan pada gelaran Malam Kebudayaan Pesantren, Rabu malam (10/10), di Panggung Krapyak, Yogyakarta