Cerita ini sungguh-sungguh terjadi pada sekitar pertengahan tahun 1990-an.
Saat itu datanglah ke rumah saya seseorang yang belum lama saya kenal, beliau adalah Pak Marzuki – seorang PNS sebagai juru mudi (sopir dinas) di Kantor Kepatihan Yogyakarta, yang beberapa hari yang lalu pernah ikut hadir di pengajian saya dan dikenalkan kepada saya oleh seorang teman.
Beliau datang dengan tergopoh-gopoh dengan penuh kegirangan dan kegembiraan yang tampak dari raut wajahnya dan terlihat dari cara beliau berbicara kepada saya.
“Assalamu’alaikum ,,, !!! Mas ,, mas … mas Kyai, nyuwun tulung saestu pokok-e Jenengan mbenjang malem Jum’at tanggal niki….. (beliau sambil menyebut tanggal dan bulan – maaf saya lupa pasti-nya). Jenengan kulo suwun sik ngaos teng griyo kulo nggih, bar Isya’ wekdale, tulung kedah diselak-ke tenan niki nggih.”
“Wa’alaikum salam..,” jawab saya, “ohhh nggih monggo-monggo katuran lenggah rumiyin too.”
Setelah kita semua duduk, saya lanjutkan perkataan saya:
“Nggih insya Alloh kulo saged. Lha niku pengajian dalam rangka menopo lan sik rawuh sinten kemawon?”
“Pokok-e niku Pengajian dalam rangka pamit haji kulo.”
Spontan jawab saya:
“Lha ,,, nyuwun ngapunten, lha kulo niku dereng nate haji jew mosok kon ngaos babagan haji, lha mangkeh nopo mboten digeguyu tiyang?”
Dengan enteng-nya beliau menjawab:
“Tidak ada masalah mas Kyai. Lha apa Jenengan ngaos tentang kematian niko Jenengan nggih kudu ngrasakke mati rumiyin? Jenengan ngaji babagan swargo lan neroko niku kedah Jenengan ngertos lan ngrasaake swargo lan neroko rumiyin? Mboten too? Malah sopo ngerti Jenengan segera ketularan segera bisa tindak haji dengan mudah seperti saya.”
Karena jawaban beliau yang tak terduga itu cukup membuat saya tak bisa beralasan dan menyadarkan saya, maka langsung saya iyakan saja permintaan beliau itu.
Akhirnya tibalah saatnya malem itu saya harus hadir ke dalemnya di Mantub sekitaran Wiyoro jalan Yogya – Wonosari. Rumahnya tidak besar dan belum jadi sempurna. Waktu itu baru diplaster dan belum dicat dan juga belum dipasangi eternit. Dalam hati saya berkata:
“Hebat benar keimanan dan keislaman Pak Marzuki ini, rumah belum jadi mobil belum punya tapi sudah mendahulukan kewajibannya yaitu berhaji ke Baitulloh diutamakan terlebih dahulu.”
Setelah selesai acara dengan sengaja saya duduk-duduk dulu untuk tidak segera berpamitan dan Pak Marzuki-pun nampaknya juga berkeinginan menggandoli saya agar tidak buru-buru untuk pulang.
Pada saat itu-lah kemudian beliau bercerita tentang kepergian haji-nya dan saya mendengarkan cerita beliau dengan seksama, karena menurut ukuran kasat mata saya beliau itu tidak mungkin bahkan bisa dibilang “sangat tidak mungkin” beliau itu cukup punya kemampuan (istitho’ah) untuk berhaji.
“Begini Mas Kyai.” Begitu beliau memulai cerita-nya.
“Agar Jenengan Mas Kyai tidak bertanya-tanya tentang kepergian haji saya ini. Maka perlu saya ceritakan di sini. Beberapa minggu yang lalu, saya kan sebagai sopir di Kepatihan Yogyakarta mendapatkan tugas untuk menjemput pak Menteri Agama (waktu itu) Pak Tarmidzi Tahir, di Bandara Adisucipto Yogyakarta yang saat itu pak Menteri ada tugas kunjungan ke Yogyakarta. Singkat cerita ketika di perjalanan, saya menyampaikan ke Pak Menteri Agama bahwa saya Marzuki, dulu sebelum tugas di Kepatihan Yogyakarta dinas di sipil Angkatan Laut di Surabaya juga sebagai sopir. Jadi saya sudah tahu Bapak dulu sebagai Kasi Bintal Angkatan Laut.”
Beliau Pak Menteri senang sekali dan sampailah akhirnya obrolan kami dengan pertanyaan tak terduga pak Menteri kepada saya.
“Gimana Sampeyan sudah haji belum?”
“Belum Pak, mana mungkin Pak orang seperti saya bisa haji, golongan rendah, gaji pas-pasan, tidak punya kerja sampingan dan anak-anak juga perlu biaya sekolah semua.”
Pak Menteri tanya lagi:
“Lha Sampeyan muslim kan?”
“Muslim, Pak.”
“Sampeyan kepingin pergi haji nggak?”
“Yaa jelas kepingin dong Pak.”
“Sebagai muslim pasti kepingin bisa haji, meskipun akhirnya yaa harus tahu diri seperti saya ini tak mungkin-lah.”
Tiba-tiba ketika mobil sudah sampai di halaman Kepatihan Yogyakarta, Pak Menteri berkata:
“Mas Marzuki, Sampeyan pingin naik haji beneran to?”
“Iyaa Pak, saya saestu kepingin !!”
Pak menteri melanjutkan perkataannya :
“Begini Mas, nanti sore saya balik ke Jakarta, tolong sampeyan yang ngantar saya lagi ke Bandara yaa dan jangan lupa tolong foto cophy KTP sampeyan rangkap dua yaa, kasih-kan ke saya nanti !”
“Nggih Pak, siabbb,” jawab Pak Marzuki dengan tegas dan meskipun sebenarnya belum begitu nyambung maksud tentang perintah itu.
Sore hari……………….
Benar Pak Marzuki mengantar Pak Menteri dari Kepatihan Yogyakarta ke Bandara Adisucipto Yogyakarta. Ketika sampai di bandara, sebelum Pak Menteri turun dari mobil meminta foto cophy KTP Pak Marzuki sesuai dengan pesannya tadi pagi.
Ketika Pak Marzuki menyerahkan Foto cophy KTP itu-lah Pak Menteri baru menjelaskan sambil tersenyum:
“Begini Mas Marzuki, tahun ini Sampeyan berangkat haji bareng saya yaa, nanti di sana bantu-bantu saya yaa. Nggak usah kuatir, semua biaya dan yang ngurus administrasi yang nanggung saya dan bahkan nanti pulang dapat sangu juga loch.”
Pak Marzuki kaget, gembira, bingung, antara percaya dan tidak percaya campur aduk perasaannya, sampai rumah nggak bisa berkata hanya menangis dan menangis terharu.
Coba kalau Pak Marzuki ketika ditanya pak menteri tadi jawabnya : “tidak pingin pak”, maka hampir dapat dipastikan beliau tidak akan pernah bisa berhaji ke al Haromain Makkah dan Madinah.
Untung Pak Marzuki menjawab “kepingin saestu pak”, maka jadilah beliau itu bisa pergi berhaji meskipun akhirnya sering dipanggil “Pak Kaji Ka-Te-Pe”.
Hmmm……
Memang kewajiban kita adalah kepingin artinya ada kemauan dari dalam diri yang besar dan kuat, kemudian niyat dengan dibarengi ikhtiyar agar mampu (istitho’ah) untuk kesana dan jangan ragu karena Alloh-lah yang akan memberikan jalan kemudahan untuk itu semua.
Sebagaimana keraguan Nabi Ibrohim AS ketika dahulu diperintah oleh Alloh untuk memanggil seluruh umat manusia dengan naik Jabal Qubaisy, Nabi Ibrohim AS itu tugasnya hanya melaksanakan perintah Alloh yakni “memanggil seluruh umat manusia” dan Alloh-lah yang menyampaikan panggilan itu sehingga bisa sampai terdengar orang Banguntapan, orang Bantul, orang Yogya, orang Indonesia bahkan seluruh umat manusia di bumi ini.
لبُيك اللّٰهمّ لبّيك ،،،
لبّيك لاشريك لك لبّيك ،،،
انّ الحمد والنعمة لك والملك ،،،
لاشريك لك ،،،
Penulis: KH Moch Sobir Hatimy, wakil Ketua PCNU Bantul, tinggal di Banguntapan.