Buya Ahmad Syafi’ie Maarif dan Masalah Teladan

buya syafi'i ma'arif

Kalau lah kitab-kitab lama dan baru dibuka, dibaca dengan teliti, maka kitab-kitab akan bercakap kepada para penelaahnya, bahwa masa krisis itu terjadi sepanjang sejarah umat manusia, dan yang mampu memperingan beban umat manusia karena dampak krisis itu adalah para suri teladan, para examplary moral.

Siapa para contoh moral itu? Mereka yang tenggelam dalam lautan ilmu sampai melampui batasan sempit formalitas pengetahuan. Lisensi formal telah terlampui. Mereka menjadi manusia dewasa dan matang, tapi mereka tidak menegaskan diri, justeru mereka semakin merunduk dan tunduk, bahkan mencoba meniadakan dirinya. Semakin meningkatnya kapasitas pikiran mereka mengantar mereka pada batasan diri, dan dalam kesadaran seperti itu mereka semakin banyak belajar dan lebih menghargai perbedaan. Tentu saja, mereka lebih kritis karena mereka sudah nir kepentingan pribadi dan antara perkataan dan tindakan mereka tidak berjarak.

Gambaran di atas adalah tentang para humanis dalam pengertianya yang luas dan mendalam. Mereka adalah para guru yang tindakannya adalah cerminan dari kedalaman intelektualitas dan tingginya ruhaniyah sekaligus.

Para humanis itu punya dua langgam yang sebenarnya tidak terpisah satu dengan lainnya, yakni estetis dan etis.

Dalam Islam, kalau yang langgam etis saya teringat sosok Imam al Ghazali (salah satunya saja), dan yang langgam estetis, saya teringat sosok Maulana Rumi sampai Eyang Kali Jaga.

Di luar Islam kita bisa menemukan banyak eksemplar lainnya.

Oh, ya, salah satu ciri pokok para teladan itu adalah mereka tidak membuat anda merasa terancam ketika berhadapan dengan mereka, ketika bercakap dengan mereka.

Kembali kepada Islam di Indonesia, kepada para ulama yang kedalaman ilmunya sudah menjelma etika inilah kita disuruh berteladan. Kepada para ahli fikih dan kalam saja diminta untuk milih-milih, apalagi kepada para ahli agama karbitan hasil google dan televisi.

Sayangnya, jumlah para teladan sudah sangat jarang di Indonesia. Bisa dihitung dengan sebelah jari tangan.

Buya Syafi’ie salah satu di antara yang sedikit itu. Dan saya kira Buya adalah salah seorang matarantai golongan zuhud dalam sejarah Muhammadiyah. Bisa saja hai ini, di Muhammadiyah sendiri sudah jarang teladan seperti Buya.

Cerita para zahid dari kalangan Muhammadiyah bukan lah hal asing bagi saya yang tumbuh dalam tradisi NU. Karena kezuhudan itu bukan monopoli ormas tertentu.

Guru yang sudah saya anggap orang tua sendiri, seorang kiai NU di Jogja, bercerita kepada saya bahwa beberapa dekade lalu, di Kotagede, pernah ada sosok non-kiai NU yang level kezuhudan melebihi siapapun dan kalangan manapun saat itu.

Buya Syafi’ie adalah sosok yang tidak asing bagi saya.

Waktu kuliah es satu saya biasa naik bis Kobutri jalur 14 dengan Buya. Seorang Guru Besar Sejarah menenteng tas tanpa beban menaiki bis dan ramah semua penumpang.

Waktu kerja di Jakarta, saya sering diminta oleh kantor untuk mengundang Buya. Kalau saya tawari penginapan, beliau selalu menolak dan mengatakan akan tidur di kantor Muhamadiyah saja.

Catatan ini hanya kegelisahan tentang banyak orang terpelajar di sekitar kita tapi levelnya belum sampai pada tahap layak sebagai teladan.

Penulis: Hasan Basri, budayawan di Yogya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *