Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Dalam kitabnya, Jala’ al-Khatir fi al-Bathin wa al-Dzahir, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyatakan bahwa taubat adalah akar dan sekaligus cabang dari seluruh kebaikan.
Mari renungkan.
Umpama hari ini kita merasa istiqamah menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya (ahli syariat, jauh dari maksiat), tentulah kita berusaha untuk terus mempertahankan derajat tersebut, bahkan meningkatkannya. Umpama hari ini setiap hari kita mengaji al-Qur’an minimal 100 ayat ataupun dua juz, tentulah kita menginginkan bisa lebih baik dan banyak lagi.
Apakah sikap begini tercela secara rohani?
Jika dilihat dari nasihat emas Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang “at-tabarrau minal haul wal quwwah” (terbebasnya diri dari merasa mampu dan kuat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya), sikap rohani tersebut nampak “bermasalah”. Akan tetapi, beliau sang sultahnul auliya’ juga menasihatkan perihal “hati yang senang kepadaNya dan dekat kepadaNya”.
Kita menjalankan segala bentuk ibadah kepadaNya, wajib dan sunnah, tentulah pada dasarnya adalah kebaikan. Dan produksi kebaikan-kebaikan secara rohani berakar kepada ketakwaan kepadaNya. Minim-minimnya, secara syariat. Pada posisi begini, tentulah perkara keimanan tak lagi perlu digunjingkan.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani lebih lanjut menasihatkan bahwa kunci ketakwaan adalah taubat.
Mari kita genggam kata kunci “taubat” di sini.
Lazimnya kita memahami taubat sebagai “jalan pulang” kepadaNya setelah kita terperosok ke mana-mana –dari melalaikan perintah syariatNya hingga bergumul dengan maksiat-maksiat yang dibenciNya.
Pandangan umum ini tak salah, tentunya. Hanya memang apa yang dimaksudkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan “taubat sebagai kunci ketakwaan” bukan hanya menunjuk pada aktivitas lahir dan batin memohon ampunanNya dari dosa-dosa dan maksiat-maksiat yang telah dilakukan, tetapi beranjak tinggi menempati tahta rohani dalam amal-amal kebaikan.
“Kunci ketakwaan adalah taubat. Dan konsisten bertaubat merupakan kunci kedekatan kepadaNya. Taubat adalah akar dan cabang segala kebaikan. Oleh karena itu,orang-orang saleh tidak meninggalkan taubat dalam segala keadaan,” tutur beliau.
Nampak jelas kini bahwa nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang taubat sebagai amaliah istiqamah semestinya berjalan seiring dengan amaliah-amaliah syariat legal-formal itu sendiri. Lepasnya amaliah-amaliah syariat dan segala kebaikan yang kita jalankan selama ini dari bingkai pertaubatan sebagai master of spirituality dengan sendirinya berisiko besar mencerabut rohani kita dari derajat “kedekatan kepadaNya”.
Jika demikian situasinya, pertanyaannya kini: kita beribadah selama ini sejatinya hanya dekat dengan apa atau siapa?
Boleh jadi jawabannya adalah hawa nafsu. Ya, rupanya ibadah kita selama ini bukan menjadikan kita makin dekat dan senang kepada Allah Swt, melainkan kepada golakan hawa nafsu kita. Walhasil, kita menjadi kehilangan ruh dari amaliah-amaliah kita, yang secara lahiriah nampak baik tetapi secara rohani tak mengubah apa-apa kepada gejolak hawa nafsu diri.
Kunci solusinya, dalam nasihat beliau, kita mesti bertaubat. Terus bertaubat. Dan terus menjadikan taubat sebagai amaliah istiqamah itu sendiri beriring dengan amaliah-amaliah syariat dan kebaikan lainnya yang telah dijalankan selama ini.
Dalam aras begini, niscaya selalu tersambungkan hati kita hanya kepadaNya, dan berikutnya menjelma keikhlasan yang mendalam atas segala karuniaNya yang memampukan kita bisa istiqamah beribadah kepadaNya selama ini. Peribadatan pun berjalan dalam koridor nasihat emasnya “at-tabarrau minal haul wal quwwah” (terbebasnya diri dari merasa mampu dan kuat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya).
Pada derajat puncak ini, dalam bentuk dan intensitas ibadah apa pun, insya Allah kita takkan lagi terebelenggu oleh “kalkulasi hitam-putih” –baik kepada diri maupun kepada orang lain.
Mari kini kita bayangkan: di manakah derajat rohani kita dalam segala laku peribadatan dan kebaikan yang telah kita lakukan selama ini….
Semoga Allah Swt senantiasa menolong dan menghidayahi Kita. Amin ya rabbal ‘alamin.
Jogja, 16 Juli 2019