Bersabar Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Menjadi pengetahuan umum di kalangan pelajar tasawuf dan pelakunya bahwa tujuan terbesar bertasawuf, bertarekat, adalah menggapai derajat makrifatulLah. Ia adalah mengenali Allah Swt dalam segala kemahaanNya, lalu leburnya diri-rohani-manusia ke dalam WajahNya, sehingga kemudian yang senantiasa terpandang dan terpancar darinya-manusia adalah semata kemahaan Allah Swt.

Ada yang mengistilahkan kondisi tersebut sebagai Wahdlatul Wujud, Ittihad, atau Manunggaling Kawula Gusti, dan selainnya. Apa pun istilahnya, sepanjang mampu menghantar kita yang ‘abdulLah mendekat, intim, dan lebur denganNya Swt, dengan bersendikan syariat yang haq, al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw., itu adalah jalan kemuliaan.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya, Jala’ al-Khatir fi al-Bathin wa al-Dzahir, memberikan “tolak ukur” yang bisa kita jadikan parameter dalam menakar diri sedang berada di derajat mana di hadapan samudera makrifatulLah tersebut. Beliau menyatakan: “Hati yang layak menghadap Allah Swt adalah hati yang tak ternodai oleh setitik dunia dan ketergantungan kepada makhluk.”

Di manakah posisi rohani kita di hadapan nasihat “tolak ukur” tersebut di tengah derasnya relasi kita dengan makhluk-makhluk dan dunia seisinya?

Kita nampaknya hanya bisa mengelus dada sembari bergumam dalam hati kini: astaghfirulLahal ‘adhim, astaghfirulLahal ‘adhim, astaghfirulLahal ‘adhim….

Baik, kita lanjutkan saja sembari terus berdoa memohon pertolongan Allah Swt semoga makin bertambah umur kita semakin dekat kepadaNya.

Salah satu pilar penyanggah kegempalan rohani para hamba Allah Swt cum sufi atau ahlu tasawuf ialah kesabaran yang luar biasa. Maqam kesabaran yang bukan lagi berurusan dengan hal-hal keduniawian –seperti omset yang menurun, karyawan yang bermasalah, atau relasi yang ingkjar janji—melainkan telah melompat jauh dan tinggi kepada semata qadar Allah Swt.

Itu artinya, tiada lagi peristiwa, bahkan insiden, serta seseorang atau sesuatu yang tidak lagi ditawajjuhkannya semata kepada qadar Allah Swt untuk menterjadikannya kepada hidupnya. Tidak ada lagi satu hal atau kejadian pun yang tidak bermakna selain tajalli (manifestasi, ejawantah) Allah Swt. Semuanya kebak Allah Swt Yang Maha Jagat Gede, Yang Maha Makrokosmos, dengan beragam ejawantah apa saja yang sangat banyak dan luas (muta’addidah), bahkan tak terbatas.

Allah Swt adalah mutajalli bagi segala hal, sesuatu, dan orang (segala makhlukNya).

Pilar kesabaran yang tiada batasnya tadi menjadi wadah raksasa rohaninya untuk menampung semuanya dengan semata ber-la haula wala quwwata illa billah.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan: “Bersabarlah menghadapi takdir, agar kesengsaraan berubah menjadi nikmat.”

Boleh jadi, pada suatu masa, rumah rohani sabar kita tergores oleh suatu peristiwa atau ulah seseorang, yang otomatis memuntahkan ketidaknyamanan (kesengsaraan) bagi diri kita sendiri. Obatnya tiada lain adalah “bersabarlah”. Obat mujarab ini jika diruahkan untuk kembali menguasai semesta batin kita ke tahtaNya sebagai Sang Maha Penentu, ia akan mengubah segera ketidaknyamanan (kesengsaraan) tersebut menjadi nikmat. Maka kita tak lagi heran bila pernah mendengar ungkapan “alhamduliLah” dari lisan seseorang yang jelas-jelas sedang didera musibah, yang dalam bayangan kita tergolong berat. Itu isyarat bagi kembalinya tahta Allah Swt di hatinya, sehingga sengsara tadi telah berubah jadi kesadaran rohani atas nikmatNya, sehingga tiada kepantasan baginya kecuali beralhamdulilLah.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani melanjutkan: “Sabar merupakan dasar bagi segala kebaikan.”

Nasihat ini bisa kita mafhumi karena kita sungguh telah mengerti bahwa meletusnya ketidaksabaran di dalam hati terhadap suatu peristiwa, yang kemudian menginfeksi pikiran dan bahkan melimpasi tindakan kita merupakan kobaranapi hawa nafsu yang menjegalkan kita kepada keburukan (innan nafsa la-ammaratun bis-su’). Bila kita gagal sabar, otomatis kita terjauhkan dari kebaikan –dan dekat kepada kemadharatan atau masalah baru lainnya.

Nasihat tersebut sahih sekali!

Untuk itulah, bagaimanapun situasi yang dihadapi, kita mesti eling untuk bersegera menyalakan lilin kesabaran demi merengkuh kembali potensi kebaikan-kebaikan nikmatNya yang menjadi asasnya dengan menundukkan hawa nafsu yang berasas keburukan. Inilah yang dimaksud ucapan Nabi Yusuf dalam al-Qur’an: “Illa ma rahima Rabbi, kecuali hawa nafsu yang telah dirahmati Tuhanku, Allah Swt.” Yakni, situasi rohani yang telah ditahtai kembali oleh cahaya cemerlang kesabaran.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani lalu mengambarkan dengan lebih detail: “Para malaikat diuji, kemudian mereka bersabar. Para nabi diuji, lalu mereka bersabar. Orang-orang yang saleh juga diuji, mereka tetap bersabar. Dan, kalian adalah peninggalan (penerus) mereka, maka berbuatlah seperti perbuatan mereka (sabar). Sebab hati yang sehat telah dipenuhi dengan tauhid, tawakkal, yakin, taufik, ilmu, iman, dan dekat kepadaNya.”

Semoga kita semua semakin tahun semakin diberiNya kekuatan untuk mengekarkan kesabaran di hati kita. Ini adalah sebenar-benarnya isyarat bagi bertambah tingginya derajat rohani kita dalam menggapai Kasih Sayang WajahNya Azza wa Jalla.

Amin.

Jogja, 19 Juli 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *