Islam mengatur segala lini kehidupan, termasuk di dalamnya terkait pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan yang salah tidak hanya membuat hidup tidak efisien, tapi juga berpotensi masuk dalam bahaya.
Masalah uang bisa berdampak pada masalah ekonomi. Sementara masalah ekonomi bisa menjadi pintu masuk ke potensi banyak perkara buruk, dari pertengkaran, pencurian, hingga pembunuhan. Dalam Islam, banyak pandangan tentang cara pengelolaan uang.
Islam memandang pengelolaan harta sebagai amanah besar yang menuntut kecakapan dan kebijaksanaan. Allah berfirman:
فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: “Jika kamu mengetahui mereka telah cakap (dalam mengelola harta), maka serahkanlah harta kepada mereka.” (QS An-Nisa: 6).
Ayat ini menjadi landasan bahwa kecakapan (rusyd) adalah syarat penting dalam menyerahkan pengelolaan harta. Prinsip ini menunjukkan pentingnya memahami kecakapan finansial, baik dari sisi agama maupun kemaslahatan hidup.
Dikutip dari laman NU Online, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep, Ahmad Maimun Nafis, berbagi dua perspektif pengelolaan uang Mazhab Syafi’i dan Hanbali.
Cakap Finansial Perspektif Mazhab Syafi’i
Imam Al-Mawardi menjelaskan tiga pendapat tentang makna rusyd:
- Akal sehat, sebagaimana pendapat Mujahid dan Sya’bi.
- Akal sehat disertai kebaikan dalam agama, seperti yang dinyatakan oleh As-Suddi.
- Kebaikan agama dan pengelolaan harta yang baik, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, dan Imam As-Syafi’i.
Al-Mawardi menjelaskan:
فِي الرُّشْدِ ثَلَاثَةُ تَأْوِيلَاتٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهُ الْعَقْلُ، وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ وَالشَّعْبِيِّ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ الْعَقْلُ وَالصَّلَاحُ فِي الدِّينِ، وَهُوَ قَوْلُ السُّدِّيِّ. وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ وَالصَّلَاحُ فِي الْمَالِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ
Artinya, “Terdapat tiga penafsiran tentang makna rusyd. Pertama, rusyd berarti akal sehat, sebagaimana pendapat Mujahid dan As-Sya’bi. Kedua, rusyd berarti akal sehat dan kebaikan dalam agama, sebagaimana pendapat As-Suddi. Ketiga, rusyd berarti kebaikan dalam agama dan pengelolaan harta yang baik, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, dan Imam As-Syafi’i.” (Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1999], juz VI, halaman 339).
Sayyid Bakri Syatha memberikan rincian lebih detail tentang standar kecakapan finansial yang diakui oleh Imam As-Syafi’i:
- Dalam agama: ditunjukkan dengan melaksanakan kewajiban, menjauhi hal yang dilarang, dan menghindari perkara syubhat.
- Dalam pengelolaan harta: mampu menjalankan transaksi sederhana dengan hati-hati, tidak menyia-nyiakan harta atau terjebak dalam kerugian besar, dan tidak menggunakan harta untuk perkara haram, bahkan sekecil apapun.
Sayyid Bakri menjelaskan:
أَمَّا فِي الدِّينِ: فَبِمُشَاهَدَةِ حَالِهِ فِي الْعِبَادَاتِ بِقِيَامِهِ بِالْوَاجِبَاتِ، وَاجْتِنَابِهِ الْمَحْظُورَاتِ وَالشُّبُهَاتِ. وَأَمَّا فِي الْمَالِ: فَيَخْتَلِفُ بِمَرَاتِبِ النَّاسِ، فَيُخْتَبَرُ وَلَدُ تَاجِرٍ بِمُشَاحَّةٍ فِي مُعَامَلَةٍ، وَيُسَلَّمُ لَهُ الْمَالُ لِيُمَاكِسَ لَا لِيَعْقِدَ، ثُمَّ إِنْ أُرِيدَ الْعَقْدُ عَقَدَ وَلِيُّهُ. وَبِأَنْ لَا يُبَذِّرَ بِتَضْيِيعِ الْمَالِ بِاحْتِمَالِ غَبْنٍ فَاحِشٍ فِي الْمُعَامَلَةِ، وَإِنْفَاقِهِ، وَلَوْ فَلْسًا فِي مُحَرَّمٍ
Artinya, “Adapun rusyd dalam agama, hal itu terlihat dari pelaksanaan ibadahnya, seperti melaksanakan kewajiban, menjauhi larangan, dan menghindari syubhat. Adapun dalam pengelolaan harta, kriterianya berbeda sesuai dengan status seseorang.
Anak seorang pedagang, misalnya, diuji dengan transaksi yang melibatkan tawar-menawar, tetapi ia hanya diberi wewenang menawar, bukan membuat akad. Jika diinginkan akad, maka akad itu dilakukan oleh walinya. Selain itu, ia tidak boleh memboroskan harta dengan kemungkinan kerugian besar, serta tidak boleh menggunakan uang meski sekecil apa pun untuk hal yang haram.” (I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1997], juz III, halaman 84).
Cakap Finansial Perspektif Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali memandang kecakapan finansial tidak mensyaratkan keadilan dalam agama. Menurut Al-Buhuti, seseorang dapat dinilai cakap meskipun melakukan maksiat, seperti meninggalkan shalat atau tidak membayar zakat, asalkan ia mampu mengelola hartanya dengan baik.
وَلِأَنَّ الْعَدَالَةَ لَا تُعْتَبَرُ فِي الرُّشْدِ فِي الدَّوَامِ، فَلَا تُعْتَبَرُ فِي الِابْتِدَاءِ، كَالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، فَعَلَى هَذَا يُدْفَعُ إِلَيْهِ مَالُهُ وَإِنْ كَانَ مُفْسِدًا لِدِينِهِ، كَمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ، وَمَنَعَ الزَّكَاةَ، وَنَحْوِ ذَلِكَ
Artinya, “Karena keadilan tidak dianggap sebagai syarat kecakapan secara berkelanjutan, maka ia juga tidak dianggap sebagai syarat awal kecakapan, sebagaimana halnya zuhud dalam dunia. Karena itu, harta dapat diberikan kepada seseorang meskipun ia merusak agamanya, seperti meninggalkan shalat atau tidak membayar zakat.” (Kassyaful Qina’, juz VIII, halaman 380).
Walhasil, kecakapan finansial (rusyd) dalam fiqh adalah kemampuan seseorang untuk mengelola harta dengan baik, ditambah dengan kebaikan dalam agama menurut mazhab Syafi’i. Meskipun terdapat perbedaan pandangan, semua mazhab sepakat bahwa kecakapan adalah syarat penting sebelum memberikan harta kepada seseorang yang berada di bawah pengawasan wali. Wallahu a’lam.
–
Penulis: Antariksa Bumiswara