Oleh: KH Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati 2 orang Gus – kyai kita, guru kita. Meski lahir dari satu ibu, tetapi ada beberapa perbedaan yang menonjol. Sedang yang satu perempuan Bu Hasyimah – tidak begitu kelihatan. Yang tampak di ibu sifat keibuannya dan kedermawanannya.
Saya ingat, kalau datang pagi ke dapur dan bertemu ibu, tentu ibu tanya – sudah sarapan Wing? Kalau saya jawab belum, tentu suruh ambil nasi goreng. Memang kesukaan ibu jika nasi malam sisa, paginya digoreng… Mbah Ali juga sering sarapan nasi itu juga.
Sedang Gus Sun (panggilan muda Kyai kita Ahmad Warson) ia suka bicara politik. Wow…, kalau bicara politik bisa berjam-jam. Beliau juga suka olahraga, aktif sebagai wartawan. Dulu di Jogja orang-orang NU punya koran DUTA MASYARAKAT. Lumayan kualitasnya, namun lagi-lagi ciri kegiatan NU – adalah masalah “klasik” – dana pendukung.
Berbeda dengan Gus Zainal, beliau disamping punya hobi “nukang” (tulisan kemarin_red), beliau tekun sekali bergelut dengan kitab-kitab kuning. Sampai-sampai Mbah Ali menjulukinya “Kyai ampeg”. Saking “ampeg-nya”, Gus Mus (Kyai Mustofa Bisri) waktu akan berangkat ke Mesir minta Syahadah, beliau menjawab “syahadah-syahadah opo…?” Gus Mus kembali ke Mbah Ali dan semua persoalan selesai.
Waktu itu Gus Zainal ngurusi madrasah Aliyah. Aliyah masuknya sore, kadang sampai malam. Dan Gus Zainal guru pokoknya, dengan dibantu guru-guru senior. Seakan siang malam bergelut dengan kitab teristimewa, kitab-kitab Fiqih Syafi’i. Dari Safinah, Taqrib, Inganah, Muhadzdzab, dan seterusnya. Insya Allah sudah dijelajahinya. Semua.
Lha yang dianggap aneh oleh orang-orang, istri Gus Zainal (Ibu Ida) diijinkan menjadi anggota DPRD. Sedang Ibu Warson tidak.
Kata beliau ketika ditanya: “perjuangan, perjuangan, di DPR juga penting dan harus ada.”
Allahu yarhamuhum,
Krapyak, 16-03-2015