Oleh: Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran, Yogyakarta.
Gus Dur melanjutkan tulisannya, begini: “Satu contoh, pesantren-pesantren di Malaysia tidak mau menerima nilai-nilai baru yang datang dari luar, seperti sistem sekolahan atau sistem jadwal. Pesantren di sana, tetap mempertahankan pola-pola lama di dalam mengolah pendidikannya. Akhirnya, pesantren di sana ditinggalkan arus kehidupan masyarakat sekelilingnya. Orang mau masuk ke pesantren, pada umumnya jika telah mengalami kejenuhan dan kejemuan kehidupan kota yang urban. Pesantren dengan demikian, lalu menjadi tempat pelarian bagi mereka yang frustasi dengan kehidupan kota.”
PENJELASAN:
Gus Dur menyebutkan satu contoh tentang pondok-pondok di Malaysia, untuk menggambarkan pentingnya sikap eklektik yang merupakan watak dari Islam dan sejarah umat Islam itu, untuk kemashlahatan umat Islam sendiri, yang perlu dimiliki pondok dan Islam tradisi. Di Malaysia kata Gus Dur, pondok-pondok “tidak mau menerima nilai-nilai baru yang datang dari luar, seperti sistem sekolahan atau sistem jadwal. Pesantren di sana, tetap mempertahankan pola-pola lama di dalam mengolah pendidikannya.”
Ini adalah fenomena ketika Gus Dur melihat dan mengamati pada tahun 80-an, dan tengah terjadi demam retorika kebangkitan Islam di seantero jagad Muslim, termasuk di Malaysia, seperti ditunjukkan dalam buku Zainah Anwar berjudul Kebangkitan Islam di Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1987). Malaysia, dulu salah satunya terdapat Kerajaan Malaka, adalah salah satu dari pusat peradaban Islam Nusantara yang kemudian menumbuhkan Islam tradisi. Hubungannya dengan Melayu di Indonesia dan Pattani di Thailand, dulu Malaysia merupakan jaringan islamisasi para penyebar Islam awal yang menghasilkan Islam tradisi, dengan kekentalan Aswaja madzhab Syafi`i dan teologi Asy`ari, seperti terlihat dalam berbagai kajian tentang masuknya Islam di Nusantara. Basis pendidikan agama di Malaysia, dinamakan dengan istilah pondok, sementara di Indonesia kadang disebut pesantren dan pondok pesantren.
Rosnani Hashim, Saheed Ahmad, Rufai dan Mohd Roslan Mohd Nor, dalam tulisan Traditional Islamic Education in Asia and Africa: A Comparative Study of Malaysia’s Pondok, Indonesia’s Pesantren and Nigeria’s Traditional Madrasah (World Journal of Islamic History and Civilization, 1 (2): 94-107, 2011), menjelaskan tentang pendidikan pondok di Malaysia yang dibandingkan dengan Kuttab di Nigeria. Sistem pondok di Malaysia disebut begini: “It is employed in referring to the traditional Islamic schools typical of Java, which are religious boarding schools for male students.” Sistem yang digunakan seperti di Jawa, karena memang hubungan kental Islamisasi di zaman awal Islam berhubungan erat: Malaka dan sekitarnya, Aceh, dan Nusantara secara umum.
Prototipe dari pondok-pondok di Malaysia, ada seorang guru yang mengajar di rumah tentang Al-Qur’an dan cara-cara beribadah yang elementer, dengan sistem lama, dan ini terus berjalan, tanpa ada madrasah dan sekolahan. Penekanan pada cara membaca dan menulis Al-Qur’an sangat kuat. Setelah itu diperkenalkan huruf Jawi, dan beberapa pelajaran kitab di rumah guru. Bila pesertanya semakin banyak bertempat di surau atau masjid. Pondok pertama berdiri di Kelantan, pada tahun 1820, adalah Pondok Thok Pulai Chondong, yang didirikan oleh Haji Abdul Samad bin Faqih Haji Abdullah.
Menurut Dr. Jazilus Sakho’ (2018, wawancara khusus), seorang Doktor lulusan Malaysia yang mengambil spesifikasi kajian-kajian keislaman, pondok-pondok di Malaysia itu banyak terdapat di bagian Utara, di Trengganu dan Kelantan (tepatnya di bagian Pantai Timur Semenanjung Malaysia, dan dua kota itu di bagian utaranya). Di dua kota itu juga menjadi basis PAS (Partai Islam se-Malayisa), yang masyarakat muslimnya bertradisi Syafi’i-Asy`ari. Sementara mereka yang lebih menerima nilai-nilai baru, meskipun banyak juga dari kalangan Syafi`i-Asya`ri banyak bergabung dan memilih UMNO.
PAS ini, menurutnya, di awal berdirinya justru ingin ada hubungan Melayu, Islam dan nasionalisme, tetapi sekarang mengalami pergeseran seiring dengan pergeseran basis masyarakatnya. Dulu bahkan ada keinginan agar Malaysia menjadi bagian dari Indonesia Raya. Pondok-pondok yang berbasis tradisi, tetap dengan pola lama dan tidak mau menerima nilai-nilai baru, sementara tidak ada organisasi yang menopang itu, yang mengonsolidasikannya dan menyelesaikan gagasan Melayu, Islam, dan nasionalisme, seperti NU di Indonesia. Pada saat yang sama, PAS, sebagai partai politik, juga mengalami pergeseran seiring dengan pergeseran di kalangan masyarakat Islam, pergeseran yang semakin menjauhkan Melayu, Islam dan nasionalisme, menjadi Islam dan Melayu, yang lebih kental kearabannya.
Gus Dur kemudian menambahkan, akhirnya “pesantren di sana ditinggalkan arus kehidupan masyarakat sekelilingnya. Orang mau masuk ke pesantren, pada umumnya jika telah mengalami kejenuhan dan kejemuan kehidupan kota yang urban. Pesantren dengan demikian, lalu menjadi tempat pelarian bagi mereka yang frustasi dengan kehidupan kota.”
Menurut Dr.Jazilus Sakho’ (2018, wawancara khusus), perubahan itu dilakukan dalam dua hal: adanya madrasah dan sekolah yang dibangun pemerintah; dan adanya trend masyarakat muslim yang berorientasi pada Islam, menyekolahkan anak ke Timur tengah, Pakistan dan Arab Saudi. Madrasah dan sekolah Negri yang didirikan pemerintah, menumbuhkan alternatif baru model pendidikan, dan pendidikan pondok model lama semakin tidak diminati, ketika mereka sendiri tidak melakukan reorganisasi. Sementara, orang-orang yang kembali dari Timur Tengah, yang terjadi pada tahun 80-an dan 90-an, sama seperti di Indonesia. Mereka ini seperti di Indonesia, yang kemudian ada yang membangun gerakan Tarbiyah, HTI, salafi, dan sejenisnya. Akhirnya, mau tidak mau, pondok-pondok yang awalnya basis Aswaja Syafi`i dan Asy`ari itu, masyarakat muslimnya bersentuhan dengan para pendatang baru dalam arus Islam itu, tanpa ada penyeimbang dari sudut Islam, seperti NU (dan yang sealiran) di Indonesia.
Menurutnya, di Malaysia, mereka yang kembali dari Timur tengah itu, membawa ide-ide baru dan mengadopsi nilai-nilai baru, ada sekolahan dan penjadwalan kelas, akan tetapi orientasi mereka sudah bersentuhan dengan gelombang baru yang dibawa dari Timur tengah. Mereka yang berorientasi Syafi`i-Asya`ri secara kuat dan berusaha membendung arus baru, tetap ada, tetapi kecil. Yang terbanyak adalah pertemuan antara tradisi Syafi’i dan Asy`ari, bersamaan dan beriringan dengan salafi dan gerakan-gerakan dengan orientasi baru. Hal ini membawa implikasi terhadapa perkembangan PAS, sehingga lebih berorientasi pada Islam dan Arab, yang sebelumnya ingin Melayu, Islam, dan nasionalisme.
Apa yang dikemukakan Dr. Jazilus Sakho’ itu, dapat juga dikonfirmasi melalui buku karangan Abdul Hadi Awang, presiden PAS, yang mendokumentasikan perkembangan Islam di Malaysia ini, dalam judul buku Mukhtashor Tarîkul Harokah al-Islâmiyah fî Malaysia/Sejarah Gerakan Islam di Malaysia; dan satu buku yang sudah terbit di Indonesia, seperti telah disebutkan di atas (Zainah Anwar, Kebangkitan Islam di Malaysia, Jakarta: LP3ES, 1987)
Hubungan Malaysia Indonesia juga menguat, dalam wacana arus baru mengntalkan islam dan Arab itu, seperti ditunjukkan oleh buku yang ditulis Zainah Anwar dalam bukunya itu, di antaranya menyebutkan bahwa sosok Imaduddin Abdul Rahim yang membuat pelatihan PMD (Pelatihan Mujahid Dakwah), dan membangun tarbiyah di kampus-kampus umum, telah mengilhami ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), untuk membuat hal serupa di kampus-kampus di Malaysia; ditambah arus baru mahasiswa yang baru pulang dari LN, seperti Pakistan, Mesir, dan Arab Saudi, diperkenalkanlah apa yang disebut pemikiran-pemikiran Islam ideologis dan Islam politik, dari tokoh-tokoh ideolog Para Islamis: al-Maududi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Qutub. Mau tidak mau, PAS dan masyarakat muslim yang mendukungnya, menjanjikan menyalurkan aspirasi kalangan baru itu. Akan tetapi, setelah tokoh ABIM masuk ke pemeirntahan (Anwar Ibrahim), peran ABIM digantikan oleh kelompok-kelompok mahasiswa yang lebih kental Islam Arab-nya, dan mendominasi di kampus-kampus Malaysia.
Retorika Islam di tengah publik dari orang-orang baru ini, dan pada saat yang sama tidak ada organisasi yang menjaga kekuatan kultural tradisi lama seperti NU di sana, akhirnya juga mengubah pondok-pondok di Malaysia; dan sekaligus juga mengubah orientasi para pemilih PAS dan masyarakat Islam di Malaysia. Pesantren-pesantren yang mengadopsi nilai-nilai baru kemudian banyak dipengaruhi oleh orang-orang di dalam arus tahun 80-an 90-an itu. Memang masih ada Nik Aziz Nik Mat, orang Islam tradisi, yang ketika berceramah, banyak sekali yang hadir, tetapi dia tidak menggunakan basis pondok. Nik Aziz menggunakan, kalau sekarang ini, adalah seperti Majlis Ta’lim; dan dalam kerja-kerja politiknya, tetap bersama-sama dengan mereka yang justru menginginkan Islam dan Melayu, sebagai Islam Arab dan Islam politik
Realitas demikian ini membawa implikasi, ketika orang-orang kota yang mengalami kejenuhan, menemukan keinginan untuk menempatkan anaknya di pondok, tetapi pada saat yang sama di pondok-pondok itu sudah mengalami perkawinan dengan arus baru Timur tengah yang mengentalkan Islam dan Arab. Karenanya pondok-pondok yang masih banyak dimiliki indidvidu-individu itu, di tengah tekanan kuat artikulasi retorika dari Islam-Islam baru yang datang dari Timur Tengah, dipaksa secara sosial untuk menarasikan hal yang sama, atau paling tidak hanya diam; atau kemudian menjadi pendukung Barisan Nasional atau UMNO.
Perkembangan ini memberikan pengertian, keterlambatan pondok dalam menyerap perkembangan zaman, untuk bersifat eklektik, membawa implikasi-implikasi yang tidak sederhana dan mengkhawatirkan. Pola dan arus Islam yang datang dari para alumni Timur Tengah dan ingin mempengaruhinya, memberikan tekanan kuat mengentalkan keislaman-kearaban. Arus ini, menjadi semakin tidak terlokalisir, karena tidak ada organisasi semacam NU di Malaysia, yang mengonsolidasikan kekuatan Islam tradisi; atau kekuatan berbasis Islam di tingkat jam`iyah yang berusaha menjembatani Islam, Melayu, dan Nasionalisme, dan yang ada adalah PAS, yang akhirnya juga terkena dampak dari arus baru itu. Orang-orang yang mencintai Islam, Melayu, dan nasionalisme, dengan tidak membawa Islam politik, akhirnya lebih memilih partai yang berorientasi nasional. Wallohu a’lam.