Bagaimana Mungkin Nabi Adam Melegalkan Perkawinan Sedarah?

Yang keliru dari kisah Nabi Adam adalah cerita tentang kehalalan inses (inggris: incest) atau perkawinan sedarah. Paling tidak, demikianlah pendapat yang dipeluk erat oleh Imam Ja’far Al-Shaddiq.

Sebagaimana disebut dalam Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, karya Nizham al-Din al-Naisaburi, sang Imam menggugat, “Bagaimana mungkin Nabi Adam melegalkan perkawinan sedarah, sementara cucunya kelak (Nabi Muhammad Saw) sangat membencinya (raghiba ‘anhu)!?”

Pertanyaan semacam itu akan dijawab oleh mayoritas ulama dengan, “Li al-dharurah, sebab tidak ada yang lain, kecuali Qabil dan Habil serta saudari-saudari kandungnya (Ikrimah dan Labudza).”

Barangkali karena tidak puas dengan argumen yang begini, Imam Ja’far pun lantas menyuguhkan kisah alternatif.

Menurut beliau, pada mulanya Nabi Adam memiliki seorang putri bernama ‘Anaq. Anak ini kemudian bertindak kurang ajar (baghat), hingga belum lama ia menikmati keindahan bumi, Allah pun mencabut nyawanya. Lalu lahirlah Qabil, disusul Habil. Mereka lahir sendiri-sendiri, tidak membawa saudari kembar.

Beranjak dewasa, dengan izin Allah, Qabil berkenalan dengan sosok jin perempuan. Namanya Jammalah. Nabi Adam, berbekal wahyu dari Allah, kemudian menikahkan dua sejoli tersebut.

Beda Qabil, beda pula kisah Habil. Si bungsu ini ndilalah dipertemukan dengan bidarari (haura’), dalam wujud manusia yang telah dipasang rahim, bernama Bazlah. Seperti sebelumnya, berdasarkan perintah Tuhan, Nabi Adam menjodohkan Habil dan Bazlah, yang kemudian ditentang dengan amat keras oleh Qabil.

“Bukankah aku lebih tua dari Habil?” teriak Qabil dengan muka geram.

“Betul,” jawab Nabi Adam.

“Kalau begitu mestinya aku lebih berhak atas bidadari itu!” seru Qabil bersungut-sungut.

Maka yang harus terjadi pun terjadilah. Alur berjalan seperti kisah ini pada umumnya, yang berujung pada pembantaian Qabil terhadap Habil; alegori tentang dosa pembunuhan pertama yang dilakukan oleh manusia.

Ini cerita yang aneh, tentu saja. Tapi bagi Imam Ja’far al-Shadiq, cerita tentang perkawinan sedarah lebih musykil lagi. Anda lalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang lelaki dapat menikahi peri, makhluk halus laiknya jin dan bidadari?

Berkaca pada khazanah keilmiahan Islam, model pernikahan “cross platform” macam ini sebetulnya bukan sesuatu yang asing, meski bukan tidak menjadi perdebatan.

Imam Al-Suyuthi, umpamanya, dalam al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil, menyatakan kemungkinan pernikahan (atau, maaf, hubungan seksual) antara manusia dan jin. Gagasan ini digali dari Al-Quran Surat Al-Rahman ayat 74, yang berbunyi, “lam yathmitshunna insun qoblahum wa laa jan, mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelumnya, dan tidak pula oleh jin”.

Imam Al-Tsa’alabi, seperti dicatat dalam Akam al-Marjan fi Ahkam al-Jan, menyatakan, “Anna al-tanakuha wa al-talaquha qad yaqa’ani baina al-insi wa al-jin, pernikahan dan atau perkawinan kadang terjadi antara manusia dan jin”.

Itulah sebabnya dalam Mafatih al-Ghaib, Imam Al-Razi menyebut bahwa meskipun terdapat perdebatan mengenai soal ini, gagasan tentang jin dapat menggauli manusia merupakan pendapat yang masyhur. Sementara satu dari sejumlah ulama yang menolak kemungkinan ini adalah Imam Al-Mawardi, seperti ditunjukkan dalam Asna al-Mathalib karya Syeikh Zakariya Al-Anshari.

Penulis: Lukman Hakim Husnan, Dosen STIQ Al-Lathifiyyah Palembang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *