Bagaimana Kaderisasi Ulama’ Pasca Mbah Maimoen Zubair?

Kisah Mbah Maemun Menebak Marga Keturunan Rasulullah

Jawa Tengah dulu dikenal sebagai lumbung ulama kharismatik yang diakui secara nasional. KH Abdullah Zain Salam dan KH MA Sahal Mahfudh dikenal sebagai kombinasi ideal ulama tasawuf dan fiqh yang kharismatik.

KH Maimoen Zubair dan KH A Mustafa Bisri dikenal sebagai kombinasi ulama tafsir dan fiqh yang juga kharismatik. Dari keempat ulama tersebut, yang tersisa hanya KH A Mustafa Bisri, sosok ulama komplit, karena diterima semua kalangan.

Pasca KH Maimoen Zubair

Kematian adalah keniscayaan. Ironisnya, kematian orang alim sekaligus membawa ilmu yang ada dalam dirinya. Ilmu yang sangat langka karena kedalamannya, keunikannya, keluasaannya, dan pengaruh besarnya.

Mereka mencapai derajat tinggi setelah melalui ujian dan tantangan hidup yang panjang dan mereka berhasil melaluinya dengan sukses.

Wafatnya KH Maimoen Zubair yang masih terasa sampai sekarang adalah hilangnya ilmu dalam diri beliau yang hampir meliputi seluruh khazanah Islam klasik, mulai tafsir, hadis, nahwu, sharaf, fiqh, ushul fiqh, qawaid fiqh, sejarah, dan tasawuf.

Kiai-Kiai Muda Berbakat

Pasca Kiai Maimoen Zubair harapan masih terbesit dengan tampilnya ulama-ulama muda Jawa Tengah yang berbakat dan penuh talenta.

Putra-putra KH Maimoen Zubair tampil sebagai tokoh ulama muda. KH. Najih Maimoen, KH Dr. Abdul Ghofur, KH Wafi Maimoen, KH. Abdurrouf Maimoen, dan lain-lain tampil sebagai ulama-ulama muda berbakat untuk meneruskan perjuangan Kiai Maimoen Zubair.

KH Abdul Qayyum Manshur, KH Bahauddin Nursalim, KH Abdullah Umar Fayumi, KH Abdul Ghafar Razin, KH Faishol Muzammil dan KH Habibul Huda tampil sebagai ulama-ulama muda cemerlang.

Masing-masing mereka punya keunggulan yang akan terus terasah dan berkibar seiring dengan perjalanan waktu.

3 Langkah Kaderisasi Ulama

Meskipun demikian, kaderisasi ulama menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ulama-ulama muda seharusnya mampu mengungguli ulama seniornya seperti inspirasi Imam Ibnu Malik yang mengungguli Imam Ibnu Mu’thi.

Langkah yang dilakukan dalam kaderisasi ulama ini adalah:

1. Pemantapan kitab Kuning

Syarat utama menjadi ulama adalah menguasai kitab kuning. Dalam hal ini, nahwu-sharaf adalah tugas utama. Tanpa nahwu-sharaf, penguasaan seseorang terhadap kitab kuning nihil, diragukan, dan jauh dari standard ilmiah.

Baru setelah itu merambah tauhid, ilmu fiqh, ushul fiqh, balaghah, qawaid fiqh, arudl, manthiq, tasawuf, Tafsir, hadis, tarikh, dan lain-lain.

Pondok pesantren berada di darda depan dalam hal ini. Pesantren terbukti dalam sejarah mampu melahirkan ulama-ulama yang mampu menguasai kitab kuning secara mendalam yang sangat bermanfaat di tengah masyarakat.

2. Kemampuan membimbing dan memimpin masyarakat

Ulama di Indonesia tidak hanya diukur secara teoritis, tapi juga praktis. Yakni, kemampuannya beradaptasi dan bermasyarakat dengan keteladanan tinggi. Dalam membimbing ini, aspek akhlak sangat dominan.

Akhlak yang dimaksud di sini tidak hanya sopan santun, tapi juga kemampuan memperhatikan orang lain seperti memperhatikan dirinya sendiri.

Ingat sabda Nabi:

لا يؤمن احدكم حتي يحب لاخيه ما يحب لنفسه

Tidak dianggap sempurna Iman seseorang sampai ia mampu mencintai sanudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

Setelah ia mampu membimbing orang lain, maka ia harus mampu memimpin dengan baik. Jiwa kepemimpinan ini diasah sejak dini dalam organisasi di level kecil sampai besar. Memimpin orang lain yang karakter dan tabiat atau perangainya tidak sama membutuhkan keahlian dan keterampilan yang tinggi.

Ia memahami karakter masing-masing, cara mengatasi masing-masing karakter, dan memberikan solusi terbaik dari persoalan yang ada.

Kiai di Indonesia adalah gelar yang diberikan masyarakat setelah melihat akhlak, keteladanan dan kemampuan seseorang dalam memimpin orang lain dengan bijaksana.

3. Kemampuan mengembangkan jaringan

Kiai atau ulama mempunyai pengaruh besar tidak lepas ilmu dan jaringan yang dimilikinya. Ilmunya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, akhlaknya menjadi teladan, dan jaringannya digunakan untuk menebarkan kemanfaatan sebesar-besarnya di tengah masyarakat.

Semakin luas jaringan, baik dalam maupun luar negeri, maka semakin berpengalaman seseorang dan semakin kuat pengaruhnya di tengah masyarakat.

Semakin tinggi jam terbang seseorang, semakin luas relasi dan wawasannya sehingga dalam memutuskan segala sesuatu mempertimbangkan banyak aspek.

Lahir dari kemampuan ini Kearifan dan kebijaksanaan baik dalam ucapan, lebih-lebih dalam perbuatan dan pengambilan keputusan untuk kepentingan banyak orang.

Semoga 3 langkah ini menjadi solusi krisis ulama dan lahirlah ulama-ulama yang punya otoritas keilmuan, moral, dan sosial untuk menggerakkan perubahan positif di tengah masyarakat dan bangsa. Amiin.

Wonokerto Pati, 7 Dzulhijjah 1441 /

6 September 2019

Penulis: Dr Jamal Ma’mur Asmani, dosen IPMAFA Pati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *