Arti Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (2)

Arti Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (2)

Arti Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (2).

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Mungkin saja di suatu masa kita begitu dalam dan hunjam menyadari dan menginsafi dosa-dosa yang telah kita lakukan, lalu kita melakukan pertaubatan. Dulu, enam bulan lalu, kita hidup di dunia yang sarat kemaksiatan. Sebutlah begitu contohnya. Berhura-hura, tenggelam dalam kemewahan yang melenakan, hingga meninggalkan perintah-perintah syariatNya dengan enteng.

Lalu, di suatu titik, kita berhijrah –istilah taubat yang kini sangat populer. Kita berbalik arah dengan telak, hingga terpancar jelas dalam lahiriah kita, dari pakaian hingga ucapan dan perbuatan.

Kita pun lalu tanpa ragu menggerakkan diri untuk melakukan dakwah melalui panggung-panggung sosmed kita. Menukil ayat, hadis, sirah, qaul ulama, hingga mengkritisi apa-apa yang kita pandang tidak sesuai dengan ajaran Allah Swt dan sunnah RasulNya Saw.

Sampai di sini, ini adalah laku kebaikan. Taubat, yang kita sebut hijrah,telah berhasil mengubah diri kita sedemikian tajamnya.

Namun, mari kita teliti lagi diri ini, benarkah kita telah bertaubat dengan taubatan nashuhah? Apakah taubat kita telah menjadikan kita sebenjarnya hamba Allah Swt yang haqqa tuqatih?

Kita simak nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Sirrul Asrar Fima Yahtaj Ilaihi al-Abrar ini. Beliau qaddasahulLah membagi taubat dalam dua bentuk: taubat awam dan taubat mukmin (hakiki).

Taubat awam adalah taubat dengan berusaha meninggalkan perbuatan dosa dan masuk ke dunia yang penuh dengan amal saleh, melalui dzikrulLah dan amal ibadah, meninggalkan godaan hawa nafsu, dan memaksa diri untuk melakukan amal-amal saleh. Ia berusaha meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt dan melakukan apa yang diperintahkanNya.

Taubat mukmin, tutur Syekh Abdul Qadir al-Jailani, berada di derajat yang lebih tinggi dan hakiki dibanding ‘sekadar’ lelaku lahiriah ala taubat awam tersebut.

Menghidmati perjalanan kita di masa lalu, menjadikannya titik balik bagi perbaikan amal-amal diri, dan yang paling utama adalah taqarrub ilalLah, ‘berdekat dengan Allah Swt’ secara hakiki, seyogianya menjadi jalan yang kita masuki kemudian. Alias tidak berhenti hanya di ranah amal lahiriah.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menukil surat Muhammad ayat 19: “Dan mohon ampunlah atas dosa-dosamu dan dosa-dosa orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan….

Beliau memaksudkan takwil ayat tersebut sebagai pengingat rohani buat kita tentang rawannya “dosa yang tersembunyi yang kita sangka sebagai amal saleh”.

Segala amal saleh orang-orang yang bertaubat di fase pertama tadi (awam, pemula) secara ilmu syariat adalah benar. Itu semua adalah kebaikan. Teruskanlah mengistiqamahinya. Hanya saja, marijangan berhenti di situ. Ada tangga berikutnya yang mestinya dimasuki secara rohani, yakni tangga hikmah dan makrifat Keilahian.

Apa itu?

Yakni tatkala kita menaubati dengan istiqamah bukan lagi segala amal buruk kita (di masa lalu), melainkan pula amal-amal saleh kita di masa kini. Sebab di dalam amal-amal kesalehan beginianlah bersarang risiko-risiko “dosa halus” yang sulit terdeteksi. Makanya ia selalu ditaubati, dimohonkan ampunan kepadaNya, dimohonkan perlindungan dan pertolonganNya.

Inilah taubatnya mukmin, taubat rohani yang haq.

Bukankah Rasulullah Saw telah mengajarkan agar kita setidaknya beristighfar kepada Allah Swt, memohon ampunanNya, seratus kali dalam sehari?

Bila Rasul Saw yang ma’shum saja mengajarkan demikian, bagaimana lagi dengan kita yang penuh hawa nafsu ini, termasuk terbajak tipu daya halus iblis?

Kiranya dapat kita lihat dengan terang kini, umapama kita telah bertaubat, telah berhijrah, telah mengubah pergaulan, lingkungan, dan sandangan lahiriah kita, dan pula melengkapinya dengan amal-amal saleh sesuai syariatNya dan sunnah RasulNya, tetapi kita tak menyadari untuk terus beristighfar kepadaNya atas perubahan kondisi dan amal-amal saleh tersebut, sejatinya kita tak beranjak jauh ke mana-mana secara rohani, tetap berada dalam kerawanan jebakan hawa nafsu diri belaka. Dan itu artinya rohani kita masihlah terbekap oleh noda-noda duniawi alias ghairulLah, selain Allah Swt. Dan, itu jelas hijab mendalam bagi kejernihan rohani untuk mengenal diri, apalagi mengenal Allah Swt.

Para waliyulLah bahkan dengan tegas memfatwakan: “…banyak perbuatan baik yang dilakukan oleh orang-orang baik, tetapi mereka belum sampai ke peringat ‘dekat dengan Allah Swt’, sehingga nilai dan kualitas amalan mereka masihlah lebih rendah bahkan dibandingkan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.”

Tentu, yang dimaksudkan para auliya’ itu bukanlah pembenaran maupun pengkultusan pada para pelaku rohani, salik. Para salik yang haq mustahil tidak melanggar syariat Allah, niscaya pelaku yang taat –sebutlah secara amaliah syariat serupa dengan para pelaku taubat golongan pertama tadi.

Akan tetapi, yang lalu berbeda, para salik telah menganggap sebagai suatu kesalahan, kelalaian, dan ketercelaan bukan hanya bila mereka dekat dengan sifat-sifat kehewanan dalam dirinya, seperti tamak, rakus, tidur yang berlebihan, makan dan minum yang berlebihan, melakukan pekerjaan yang sia-sia (secara syariat dan hakikat). Mereka pun telah menyatakan salah bila terlibat dalam sifat marah, suka membuat kegaduhan, suka bertengkar, bersikap kasar kepada orang lain, menghina orang lain (lahir dan batin), dan segala sifat tercela lainnya, seperti cemburu, dengki, riya’, tabakabur, ujub, dan sebagainya.

Anda bisa bayangkan di sini: dzikirannya seorang salik akan diratapinya sebagai dosa dan karena itu senantiasa diistighfarinya tanpa henti bila di hatinya berdenyar perasaan ‘lebih baik’, misal, dibanding orang lain yang tak berdzikir selama dirinya.

Inilah uraian terang mengapa ‘melakukan kesalahan’ bagi para salik tak bisa disamakan dengan kesalahan yang dilakukan orang-orang awam.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menukil surat al-Baqarah ayat 222 di bagian ini: “Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Taubat mukmin bukan lagi sekadar istighafrnya orang awam terhadap dusta-dustanya siang tadi, misal, tetapi menanjak jauh, yakni terhadap hal-hal yang berbau ‘wujud diri’, seperti perasaan tentang dalamnya ilmu agama diri ini, rajinnya diri ini beribadah, hingga dekatnya diri ini kepada ajaran Allah Swt dan RasulNya.

Mari catat besar: segala yang bersandarkan kepada ghairulLah, selain Allah Swt, adalah cela yang mendzalimi diri secara rohani –walau secara laku syariat terlihat sahih. Untuk alasan inilah, para salik dan ahli hikmah, tiada henti beristighfar kepada Allah Swt.

Di mana derajat taubat kita berada?

Jogja, 3 Agustus 2019

_____________________

Semoga artikel Arti Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (2) ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait Arti Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (2) di sini

simak video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *