Apa Itu Ruh Suci, Jawaban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Hakikat Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (4)

Apa Itu Ruh Suci, Jawaban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Penggambaran surat An-Nur ayat 35 dalam ungkapan “Allah Swt adalah Cahaya bagi langit dan bumi” bisa kita pahami lebih jauh sebagai, berdasar tuturan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah dalam Sirr al-Asrar Fima Yahtaj ilaihi al-Abrar, “penzahiran Ruh Suci (Ruh al-Quds) yang diciptakanNya” ke tingkatan-tingkatan perjalanan yang memungkinkan bagi manusia untuk menjangkau dengan rohani dan pemahamannya. Tujuan utama penzahiran ini adalah “untuk memberi pelajaran kepada Ruh Suci itu dan untuk mengetahui pengalamannya dalam mencari jalan kembali kepada Allah Swt.”

Tingkatan pertama, paling dekat sumberNya, dari penciptaan penzahiran Ruh Suci tersebut ialah “Akal Semesta atau disebut juga Nama dan Sifat Allah Swt atau (di kalangan sufi disebut) Hakikat Muhammad (Haqiqah Muhammadiyah)”.

Ini kiranya bisa kita pahami sebagai “ruh hakiki, asali, murni” yang secara otomatis di dalam dirinya telah mengandung benih-benih keesaan (tauhid) hingga selalu mengenali dan tersambungkan dengan Penciptanya Yang Suci. Masuk akal sekali pelbagai nasihat para ulama kepada kita bahwa ittiba’ kepada akhlak karimah Rasulullah Saw merupakan “jalan tol” bagi akselerasi rohani (bisa dipahami dalam konteks ini sebagai “ruh suci pada hati kita”) menuju hadiratNya, sebab nyatanya Ruh Suci itu muasalnya diletakkan paling dekat denganNya, yakni di alam Haqiqah Muhammadiyah.

Dalam keterangan berikutnya, beliau qaddasahuLlah mengatakan bahwa “Allah Swt menghembuskan Ruh Suci ini ke dalam diri para rasul, nabi, wali, dan kekasih-kekasihNya.”

Kita mungkin saja memahami lebih konkret bahwa ruh yang ditiupkanNya di alam rahim ke dalam diri kita dulu, yang di dalamnya terjadi ikrar tauhid kita kepadaNya (ingat ayat “Alastu birabbikum, qalu bala….”), adalah ruh yang (masih) suci. Ruh ini secara otomatis mengandung benih-benih tauhid tersebut –belum terkontaminasi apa-apa.

Ketika kita dilahirkan ke dunia ini, tumbuh, dan mengalami pelbagai bentuk hidup, tentunya begitu banyak kepejalan perjalanan yang kita masuki. Semakin jauh perjalanan ruh itu, maka semakin beraneka ragam lah kondisinya. Ia tak lagi bisa dikatakan sebagai ruh hakiki, asali, dan murni, apalagi suci, dikarenakan noda-noda duniawi yang begitu hebatnya melimpasi. Semakin tenggelam ruh seseorang ke dalam kelamnya keburukan dan kemaksiatan, maupun kecongkakan, misal, semakin terempaslah cahaya kekudusan ruh tersebut darinya.

Dikatakan dalam surat al-Hasyr ayat 19: “Dan janganlah kalian menjadi seperti golongan orang-orang yang lupa kepada Allah Swt, hingga Allah Swt pun menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik (berbuat kerusakan).”

Perhatikan bunyi “lupa kepada Allah Swt”. Secara filosofis, ia bisa dipahami sebagai meninggalkan “ikrar tauhid ruh dengan Allah Swt di alam rahim” dulu, misal dalam bentuk perbuatan mungkar dan maksiat. Pelaku semacam itu dikatakan “lupa pada Allah Swt”, yakni lupa pada kekudusan ruh hakiki, asali, dan murninya.

Akibatnya, Allah Swt pun melupakannya, mengabaikannya, dan menjadikan diri mereka pun lupa kepada kekudusan dirinya. Ada ayat lain yang mengatakan bahwa kepada jenis mereka, Allah Swt tak berkenan lagi memandangnya. Mereka juga tepat untuk disebut golongan yang lupa pada sangkan paraning dumadi-nya. Buktinya, semakin seseorang tenggelam dalam korupsi, misal, maka semakin serakahlah ia hingga sampai pada derajat tak lagi punya rasa malu seolah ia tak lagi punya harga diri dan martabat sebagai mausia –penerima amanat ruh suci itu.  Begitulah kondisi tragisnya….

Bunyi “mereka itulah orang-orang yang fasik”, yakni siapa yang mengotori ruh kudusnya, ingkar kepada perjanjian tauhid dengan Allah Swt di alam rahim, otomatis dekat dengan perilaku-perilaku yang merusak dan dilarang oleh Allah Swt. Dan sebaliknya. Ini bisa sekaligus kita jadikan parameter rohani bahwa jika kita ternyata dalam hidup di dunia ini dekat dengan kefasikan, berarti ruh kita telah sedemikian kotor dan kelamnya. Siapa yang menjalankan hidupnya dalam kondisi demikian, berarti ia telah ingkar kepada amanat ruh suci amanat Allah Swt–maka masuk akal sekali bila ia mesti bertanggung jawab kelak di pengadilanNya.

Kecuali, ruh orang-orang yang diberkati oleh Allah Swt, maka dikatakan “diangkat derajatnya oleh Allah Swt”, yakni disucikanNya kembali ruh tersebut dari kontaminasi ghairuLlah, hingga menggapai kembali rahasia-rahasia keagungan yang “pernah” dikandungnya di masa kesucian dulu.

Ruh orang yang disucikan kembali oleh Allah Swt, dalam penggambaran surat an-Nur ayat 35 dikatakan, “Allah Swt membimbing siapa pun yang dikehendakiNya kepada CahayaNya.

simak artikel terkait Apa Itu Ruh Suci, Jawaban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini

Perjalanan kedua penzahiran Ruh Suci itu ialah Alam Malakut, Alam Malaikat. Beliau qaddasahuLlah mengatakan “pada peringkat ini, Ruh Suci disebut Ruh Bergerak atau Ruh Berpindah. Mimpi yang benar termasuk dalam alam ini.”

Kita sering mendengar istilah “ilham” yang dikaruniakanNya kepada hamba-hambaNya yang dikehendakiNya. Kita pun mendengar istilah weruh sakdurunge winarah. Sering pula dikatakan karamah. Atau secara rasional disebut takwin, keterjadian.

Yang dimaksudkannya “Mimpi yang benar” dapat pula meliputi “ilham” tersebut. Yakni segala petunjuk ilham dariNya yang niscaya benar dan bersih, yang dikatakannya berasal dari Alam Malakutyang berpindah ke Alam Insan. Tentulah mereka yang bisa menerima ilham dari Alam Malakut ini adalah mereka yang rohaninya telah jernih sejernihnya, atau diangkat derajat ruhnya kembali oleh Allah Swt ke tingkatan yang tersambung dengan Alam Malakut tersebut. Maka terjadilah ketersambungan frekuensi itu yang memungkinkan Alam Malakut berpindah ke Alam Insan.

Sangat penting bagi kita untuk senantiasa eling lan waspada bahwa iblis pun memungkinkan untuk mengecoh kita dengan selubung ilham-ilham ini. Seolah-olah itu adalah ilham dari Alam Malakut, tetapi nyatanya hanyalah tipu daya iblis untuk menyesatkan kita. Seolah itu adalah keluhungan, kebenaran, tetapi nyatanya ia adalah pengelabuan iblis.

Kita acap mendengar ungkapan-ungkapan prediktif tentang sesuatu di masa yang datang, dengan menyandarkan kepada ilham Alam Malakut ini. Ada yang benar terjadi, dan lebih banyak lagi yang meleset. Jika meleset, tentu saja ia bukan dari Alam Malakut. Entah sekadar bualan sang pengucap yang penuh spekulatif untuk tujuan syahwati, maupun bajakan iblis itu.

Bahkan umpama itu pun benar terjadi, tetaplah waspada selalu betapa boleh jadi di dalamnya ada kecohan iblis untuk mengguncang iman tauhid kita, dengan cara bukan lagi menawajjuhkan (menghadapkan secara mutlak) hal tersebut kepada kehendak Allah Swt, melainkan kepada kekuatan diri. Jika yang kedua yang terjadi, dapat dipastikan itu;ah bagian dari tipu daya iblis. Mari berhati-hatilan selalu kepada segala bentuk ramalan.

Ingat pula selalu nasihat beliau qaddasahuLlah bahwa seyogianya segala sesuatu yang terjadi atau akan terjadi hanya wajib diyakini sebagai iradah Allah Swt. Bukan diri, manusia, siapa pun. Sesuai maupun tak sesuai dengan sebuah ungkapan, ia tetaplah iradah Allah Swt.

Tingkatan perjalanan terakhri ialah Alam Jism atau Alam Jasad atau Alam Lahiriah. Ruh itu lalu bertahta di dalam hati manusia. Mengarungi perjalanan hidup di dunia ini dalam pelbagai fenomenanya, dari yang bersih sampai kotor.

Inilah yang disebut pula dengan Ruh Insan atau Ruh Manusia.

Tersebab disematkanNya ruh suci ke dalam diri kita, hati kita, pada derajatnya yang hakiki, asali, dan murni masuk akal untuk dikatakan bahwa “Rahasia Manusia adalah RahasiaKu dan RahasiaKu adalah Rahasia Manusia”. Dalam derajat kesucian ruh yang hakiki, tentulah Allah Swt beserta segala mutajalliNyasenantiasa terpandang oleh mata batin kita. Dengan kata lain, memahami dan mengenali Ruh Insan dapat menjadi jalan bagi memahami dan mengenali Ruh Kudus yang Hakiki, sumber pertamanya.

Maka kita diajarkan olehNya untuk “tidak melupakan diri sendiri”, yakni “melupakan Allah Swt sebagai sumber pertama Ruh Suci” itu, sebagaimana diterakan surat al-Hasyr ayat 19 di atas.

Beliau qaddasahuLlah mengatakan bahwa “Ruh Suci itu dihantarkan ke tempat yang paling rendah agar ia mencari jalan kembali ke asalnya, yakni “berpadu” dengan Allah Swt. Melalui hati yang berada dalam badan kasar (jasad, lahiriah) ini, ia menanam benih rasa kesatuan dan keesaan dan berusaha menyuburkan rasa “berpadu” dengan Allah Swt, Tuhan yang menciptakannya.”

Hati yang berada di dalam misykat itulah yang memungkinkan bagi meruahnya “rasa berpadu” atau manunggal dengan Allah Swt. Umpama kita benar-benar menyerap ruh tauhid yang haq, misal, yang hakikatnya adalah negasi kepada segala apa pun (gahiruLlah) san yang tegak semata adalah Allah Swt, logis bila yang kemudian menyala di dalam hati hanyalah kemahaan Allah Swt. Segala sesuatu, keterjadian hingga diri, semata terpandang sebagai kemahaan Allah Swt –begitulah gambaran terdekat kepada maksud “rasa berpadu dengan Allah Swt”. Dan ini adalah kerja rohani di dalam hati yang bersih.

Beliau qaddasahullah memungkasi, “Dalam ‘bumi hati’, Ruh Suci itu menanam benih agama yang telah dibekalkan kepadanya oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dan benih itu tumbuh menjadi pokok agama yang menghasilkan buah-buahan yang rasa lezatnya kelak akan membawa Ruh Suci itu kembali naik tingkat demi tingkat hingga sampai ke hadirat Allah Swt.”

Agama, syariat, sekaligus semburat ruhani, menjadi “bumi hati” bagi singgasana Ruh Suci itu di dalam diri, yang terejawantah dalam kepatuhan dan kesalehan. Semakin patuh dan saleh kepada agamaNya, ittiba’ RasulNya, menandakan semakin terbersihkan dan terangkatnya ruh itu ke tingkatan yang makin bersih dan suci. Dan terus bergerak begitu, kembali kepadaNya, hingga sampai ke sebuah maqamHadratul Quds, Majelis Suci.

Bagi kita yang awam begini, kiranya menjadi kunci betul untuk menjadikan sikap patuh dan taat kepada syariatNya, bertakwa kepadaNya, lalu menguarkan akhlak karimah sebesar dan seluasnya, sebagai jalan bagi pembersihan kembali ruh yang telah diamanatkanNya ke dalam hati kita agar bisa kembali bersih dan suci. Kita acap menyebutnya riyadhah untuk tazkiyatun nafs. Bak secara amaliah maupun tafakur dan refleksi.

Pada pokoknya, marwah perjalanan-perjalanan Ruh Suci yang diciptakanNya hingga sampai ke kehidupan duniawi kita kini merupakan amanat yang kita pikul tanggung jawabnya untuk menjaga dan berpulang kembali ke hadiratNya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan ajaran syariatNya. Maka menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya menjadi keniscayaan lahiriah yang mutlak untuk kita pikul selalu. Selebihnya, Allah Swt lah yang akan memutuskan, mengatur, dan mengkehendaki segala gapaian ruh tiap kita masing-masing akan berlabuh ke derajat yang mana.

Semoga Allah Swt senantiasa mencahayai ruh kita, membimbing hidup kita, hingga kita bisa menggapai Kasih dan SayangNya, RahmatNya, dan pengampunanNya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Jogja, 20 September 2019

_______________________

Semoga artikel Apa Itu Ruh Suci, Jawaban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin,,

simak artikel terkait Apa Itu Ruh Suci, Jawaban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini

simak juga video terkait Apa Itu Ruh Suci, Jawaban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini

Karena berbagai wilayah banyak terjadi kekeringan dan kebakaran, maka marilah kita senantiasa berdoa meminta hujan kepada Allah. Berikut video doa minta hujan ijazah dari Abah Guru Sekumpul;

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *