Apa Itu Cahaya Allah SWT? Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Oleh Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY
Allah Swt mengilustrasikan DiriNya sendiri sebagai Cahaya. Mari lihat surat An-Nur ayat 35 ini:
“Allah Swt adalah Cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah Swt seperti sebuah lubang yang tidak tembus (misykat) yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita besar itu ada di dalam kaca. Dan kaca itu bagaikan bintang yang bersinar bagai cemerlang mutiara yang dinyalakan dari (minyak) pohon yang penuh berkah, yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebalah timur maupun di sebelah barat, dan minyak tersebut hampir dapat menerangi (timur dan barat) walaupun tidak disentuh api. (Itulah) Cahaya di atas Cahaya. Allah Swt membimbing siapa pun yang dikehendakiNya kepada Cahaya-Nya. Dan Allah Swt membuat perumpamaan-perumpamaan kepada manusia (agar mereka mengerti) dan Allah Swt Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah dalam kitab Adab al-Suluk wa at-Tawashshul Ila Manazil al-Muluk menerangkan maksud ayat tersebut (sekaligus arti Cahaya Allah Swt): “Lubang yang tidak tembus (misykat) tersebut adalah hati, yaitu dzat hati itu sendiri.”
Yang dimaksud dengan “dzat hati” adalah hakikat hati, bukan hati dalam wujud lahiriahnya yang bisa kita lihat dengan mata fisik.
Mari kita pahami titik pertama ini dulu. Dapat dinyatakan bahwa Cahaya Allah Swt pada hakikatnya telah tersemat di dalam hati manusia. Ketika Cahaya Allah Swt itu digambarkan bagaikan “sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar yang dikelilingi kaca yang cemerlang”, tentulah ia bersifat metaforis, simbolis, “sekadar” untuk memudahkan pemahaman kita sebagai manusia.
Penyematan Cahaya Allah Swt di dalam dzat hati manusia ini bisa dikaitkan dengan dialogNya Swt dengan ruh manusia ketika pertama kali ditiupkan di alam rahim: “Alastu birabbikum, bala syahidna, Bukankah Aku (Allah Swt) ini adalah Tuhan kalian? Mereka menjawab: ‘Betul, kami menjadi saksinya….’”
Di surat Shad ayat 72 juga dituturkan bahwa Allah Swt meniupkan sebagian RuhNya kepada manusia (faidza sawwaituhu wa nafakhtu fihi min Ruhi, maka apabila telah Kusempurnakan ciptaanKu dan telah Kutiupkan kepadanya sebagian dari RuhKu).
Berdasar ayat tersebut, kiranya dapat dimafhumi adanya pernyataan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan “bagian dari Allah Swt” –dalam artian rohaninya atau hatinya.
Hati itu berada di dalam kaca (pahami secara rohaniah), yang di dalamnya disinari oleh Pelita yang Besar. Bila hati bersinar cemerlang, rohaninya jernih, amaliahnya saleh, dan kepatuhan syariatnya luar biasa, digambarkan oleh beliau qaddasahuLlah: “Dan cahaya yang bersinar keluar (dari hati yang cemerlang) adalah rahasia Ketuhanan, yakni (dalam sebutan) jiwa yang tinggi dan suci.”
Hatilah sau-satunya bagian dari entitas kita yang mampu menerima makrifatuLlah –sesuai yang dkehendaki Allah Swt. Hati yang telah berada di derajat begitu, akan memantulkan CahayaNya dalam rupa “keluhungan dan kesucian jiwa” ke luarnya –sebutlah keluhungan akhlak karimah.
Penerimaan “ilmu Allah Swt” di dalam hati oleh beliau qaddasahuLlah dinyatakan bagaikan “kaca yang dapat ditembus oleh Cahaya; ia tidak menghalangi masuknya Cahaya tersebut; dan kaca tersebut akan memelihara Cahaya yang datang berlimpah ruah.”
Kiranya, kita bisa memahami kini bahwa datangnya ilmu dan karunia Allah Swt ke dalam hati yang dipilihNya menembus “kaca-kaca” yang melindungi hati itu, menguarkan pantulan-pantulan jernih cahayaNya di dalamnya, dan kemudian menguarkannya ke luar sebagai “jiwa yang tinggi dan suci” tadi.
Hati yang telah bermaqam demikian disimbolkan “bintang yang bersinar bagai cemerlang mutiara yang dinyalakan dari (minyak) pohon yang penuh berkah, yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur maupun di sebelah barat, dan minyak tersebut hampir apat menerangi (timur dan barat) walaupun tidak disentuh api.”
Bayangkan!
Kejernihan dan kecemerlangan hati seorang manusia yang telah dikaruniai kemakrifatan oleh Allah Swt akan memancar ke segenap penjuru dunia tanpa terhalangi lagi. Sinarnya bukan karena dikobarkan “api”, tetapi bersumber dari “pohon berkah yang tidak tumbuh di sisi timur dan barat”, yakni Sumber Cahaya alias Allah Swt.
Maka beliau qaddasahuLlah mengatakan: “Sumber cahaya itu adalah Pokok Ketuhanan. Ketuhanan tersebut mengandung maksud keadaan yang esa (tauhid); suatu keadaan (pohon) yang dahan dan daunnya sangat rindang, sedangkan akarnya menjalar luas dan dalam; suatu keadaan yang mengandung prinsip keimanan yang berhubungan langsung dengan Tuhan.”
“(Itulah) Cahaya di atas Cahaya. Allah Swt membimbing siapa pun yang dikehendakiNya kepada Cahaya-Nya….”
Beliau qaddasahuLlah juga berkali-kali mengabarkan kepada kita bahwa kemakrifatan (atau dalam konteks ini: untuk menjadi hati yang bisa menerima Cahaya di atas CahayaNya) adalah sebuah karunia dariNya semata; bukanlah suatu keadaan yang bisa dimetodologikan, diilmukan, diempiriskan begitu rupa layaknya kita makan lalu kenyang.
Tidak.
Akan tetapi, tentu saja, dalam perjalanan kita untuk menujuNya –lepas dari takdirNya kelak apakah kita dipilihNya untuk hal tersebut atau tidak—kepatuhan syariat, tafakur yang mendalam kepada KemahakuasaanNya, dan menguarkan akhlak karimah kepada sesama seluas-luasnya menjadi keniscayaan yang tidak boleh dipinggirkan.
Jika merujuk kepada tuturan di atas, pada sisi “cahaya yang diterima hati dari CahayaNya akan makin bersinar cemerlang melalui pantulan-pantulan kaca yang membingkai hati” itu, nampaknya simbol “kaca” bisa kita pahami sebagai keimanan dan amaliah-amaliah salehah kita. Bila amaliah salehah semakin taat, dalam, dan menyublim hikmahnya ke dalam hati, masuk akal sekali bila kemudian ia (sebagai kaca) memancarkan “cahaya ke luar” dirinya dalam bentuk (misal) kesalehan ibadah dan akhlak karimah.
Jelaslah sampai di sini bahwa di antara indikasi kejernihan hati yang disinari Cahaya Allah Swt ialah kejernihan akhlak sosialnya. Inilah yang mesti kita perjuangkan, ikhtiarkan, selagi umur masih diberikanNya….
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 3 September 2019
_____________________
Semoga artikel Apa Itu Cahaya Allah SWT? Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Apa Itu Cahaya Allah SWT? Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di sini
simak video terkait di sini