Anjing dan Kisah Kearifan Para Kiai Pesantren

anjing di jalan

Viral potongan video seorang wanita yang membawa anjingnya masuk ke Masjid Al-Munawaroh, Kawasan Sentul City, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Minggu, 30 Juni 2019, mendapat banyak tanggapan warganet. Ekspressi mereka pun beragam, ada yang marah ada pula yang biasa-biasa saja.

Bagi yang marah besar dengan kehadiran anjing ke dalam masjid, barangkali faktor utamanya adalah karena anjing termasuk binatang pembawa najis, sehingga haram hukumnya (membawanya) masuk ke dalam masjid.

Yang menarik, jika kita mencermati maka bisa kita simpulkan bahwa kalangan pesantren khususnya dan NU pada umumnya, sulit kita menemukan respon marah dari mereka. Barangkali di mata kalangan pesantren hal itu dipandang sebagai bukan hal yang harus di-perkarakan, terkecuali jika di balik peristiwa itu ada motif-motif tertentu.

Salah satu sebab kenapa dunia Pesantren tidak memberikan respon ‘marah’ adalah, bisa jadi karena anjing merupakan hal yang biasa-biasa saja, mereka sangat akrab dengan anjing. Setidaknya setiap malam Jum’at, kaum santri terbiasa menyebut kalb (anjing) saat bersama-sama membaca surat Al-Kahfi. Begitu pun ketika mengkaji kitab-kitab fiqih, mereka akan banyak bersinggungan dengan anjing, terutama saat masuk bahasan tentang Thaharah.

Banyak kejadian menarik terkait dengan anjing dan dunia Pesantren. Dari cerita beberapa teman sepondok beliau, Al-Maghfurlah KH A Mudjab Mahalli saat masih menjadi lurah pondok di Pesantren Salafiyah Banjarsari, konon pernah memerintahkan pada yuniornya untuk mencarikan anak anjing.

Singkat cerita, setelah anak anjing ini didapatkan, beliau memerintahkan pada sesama pengurus Pesantren yaitu KH Asrori (Alm), agar membawa anak anjing itu ke majlis pengajian para santri. Tak urung, para santri pun menjadi heboh dengan kehadiran anak anjing di tengah-tengah majlis pengajian mereka. Tidak cukup sampai di sini. Setelah majlis pengajian usai, para santri diminta tetap bertahan, tidak boleh meninggalkan tempat pengajian. Lalu, oleh kang Asrori, anak anjing tersebut dijulurkan lidahnya dan dijilatkan pada pakaian seluruh santri yang mengikluti pengajian tersebut.

Sembari terkekeh tanpa beban Kang Asrori bertutur, “Opo gunane duwe ngelmu ora diamalke. Santri kudu iso nyuceni najis, klebu najise kirik. Ora mung iso teori. (Apa gunanya punya ilmu tak diamalkan. Santri harus bisa mencuci najis, termasuk najis anjing. Tidak hanya bisa berteori).”

*

Ada lagi cerita terkait anjing dan dunia Pesantren. Semasa hayat, Al-Maghfurlah KH A Mudjab Mahalli pernah memesan lukisan pada ulama pelukis Jawa Barat, KH. Muhammad Munawwir (Alm). Menariknya, beliau tidak meminta agar dilukiskan masjid, atau pun santri yang sedang mengaji, akan tetapi minta dilukiskan anjing. Gayung pun bersambut, dengan suka cita Al-Maghfurlah KH Muhammad Munawwir pun menyanggupinya. Dan, lukisan anjing ini sampai sekarang masih bisa kita saksikan di salah dinding ruang tamu Ndalem Pengasuh Pesantren, di mana di samping lukisan anjing tersebut terukir kaligrafi indah: “Khudzil hikmah min ayyi wi’ain kharajat, wa la yadhurruka walau kana min famil kalb (Ambillah kearifan dari mana pun asalnya. Dan tidak ada kerugian bagimu walau ia keluar dari mulut seekor anjing).”

Penulis: A. Choiran Marzuki

Pengurus Yayasan Al-Mahalli

Penulis dan Editor Pustaka Pelajar

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *